Membayangkan Rusa di Kawasan Monas
ILLUSTRATED BY www.utepassvacationguide.com
MEMBAYANGKAN kawanan rusa di kawasan Monas, hmmm … boleh juga. Maunya tentu seperti pemandangan di Istana Bogor. Ada pepohonan yang rindang, rumput yang tebal, kolam air mancur, ada pula bangku kayu. Bisa jadi tempat alternatif rendevouz, selain kafe yang itu-itu juga pengunjungnya. Boleh juga dibikin tempat bermain anak-anak, seperti ayunan, prosotan, jungkit-jungkit. Ini akan menjadi selling point baru bagi Monas yang selama ini image-nya sudah jelek. Saya tidak tahu sudah berapa lama, tapi sejak awal 1980-an ada istilah prokem gresimon (plesetan dari nama penyanyi Grace Simon). Tidak lain tidak bukan kependekan dari “grepe silang monas” alias pereks silang monas.
Meski terkesan improvisasi, ide Pemprov DKI ini sebetulnya cukup segar. Alih-alih memagari kawasan seluas tiga hektar (sepertiganya luas Pulau Sipadan yang sudah sah dimiliki Malaysia), berkembang menjadi memelihara binatang. Jika semula demi mengamankan akses masuk terhadap pencoleng, pedagang kakilima dan grepe, maka sekarang pagar setinggi tiga meter itu jadi kerangkeng yang terbesar di pusat kota.
Apa betul ide itu baik? Bukan baik bagi Megawati, warga Jakarta, turis, apalagi Sutiyoso. Atas nama perikebinatangan, apakah ide itu baik bagi rusa yang akan menempati kurungan barunya di kawasan Monas? Jangan-jangan para rusa itu malah stres. Siapa pun tahu, dibanding Istana Bogor yang lengang, kawasan Monas selalu bising oleh desing kendaraan bermotor. Belum lagi yel-yel pendemo. Jangan lupa pepatah “seperti rusa masuk kampung”.
Apakah tidak sebaiknya burung merpati? Ditambah burung merak juga boleh. Tak usah banyak-banyak, 1.000 – 2.000 ekor saja cukup. Tak perlu khawatir ia akan kabur dari kawasan Monas. Banyak orang bisa menyetel sistem navigasi merpati. Saya punya beberapa teman yang bisa melatih ratusan merpati supaya patuh. Lagipula, masih ingat kan pepatah “sejauh-jauh merpati terbang, ia pasti pulang ke sarangnya”?
Saya membayangkan, gemuruh kepak sayap kawanan merpati pasti lebih enak didengar ketimbang deru bajaj. Kita juga bisa memberi makan merpati dengan biji-bijian, remah-remah roti sambil membayangkan duduk di taman kota di Budapest, Roma atau Moskow. Sambil duduk di bawah pohon, kita bisa menikmati kawanan merak mengembangkan bulu ekornya pertanda sedang birahi. Di situ pula kita bisa memperbincangkan artikel mutakhir Noam Chomsky, karya sastra Leo Tolstoy atau riwayat Amrozy. Anda tahu, Taman Ismail Marzuki sudah pengap sekarang.
Kalau keberatan dengan merpati dan merak, siapa setuju monyet? Jika tidak setuju, apa salahnya sang monyet sampai Anda begitu membencinya? Menurut hikayat, ia mewarisi banyak sifat manusia (atau manusia yang mewarisi sifat-sifatnya). Ini akan menjadi terapi psikis efektif di akhir pekan bagi mereka yang menyebut dirinya politikus dan pebisnis (tapi tak lebih dari “pedagang sapi” dan pencari rente yang korup). Tak perlu buru-buru menjebloskan para koruptor ke dalam penjara atau ke Nusakambangan seperti Bob Hasan dan Tommy Soeharto. Kawasan Monas bisa jadi tempat singgah yang berkesan sepanjang hayat mereka.
Tapi, kalau memang maunya mengamankan kawasan Monas, kenapa tidak memelihara macan tutul saja? Dijamin, bukan cuma pencoleng dan teman-temannya yang gentar, tapi para hidung belang pun mikir.
Jakarta, 18 Desember 2002
MEMBAYANGKAN kawanan rusa di kawasan Monas, hmmm … boleh juga. Maunya tentu seperti pemandangan di Istana Bogor. Ada pepohonan yang rindang, rumput yang tebal, kolam air mancur, ada pula bangku kayu. Bisa jadi tempat alternatif rendevouz, selain kafe yang itu-itu juga pengunjungnya. Boleh juga dibikin tempat bermain anak-anak, seperti ayunan, prosotan, jungkit-jungkit. Ini akan menjadi selling point baru bagi Monas yang selama ini image-nya sudah jelek. Saya tidak tahu sudah berapa lama, tapi sejak awal 1980-an ada istilah prokem gresimon (plesetan dari nama penyanyi Grace Simon). Tidak lain tidak bukan kependekan dari “grepe silang monas” alias pereks silang monas.
Meski terkesan improvisasi, ide Pemprov DKI ini sebetulnya cukup segar. Alih-alih memagari kawasan seluas tiga hektar (sepertiganya luas Pulau Sipadan yang sudah sah dimiliki Malaysia), berkembang menjadi memelihara binatang. Jika semula demi mengamankan akses masuk terhadap pencoleng, pedagang kakilima dan grepe, maka sekarang pagar setinggi tiga meter itu jadi kerangkeng yang terbesar di pusat kota.
Apa betul ide itu baik? Bukan baik bagi Megawati, warga Jakarta, turis, apalagi Sutiyoso. Atas nama perikebinatangan, apakah ide itu baik bagi rusa yang akan menempati kurungan barunya di kawasan Monas? Jangan-jangan para rusa itu malah stres. Siapa pun tahu, dibanding Istana Bogor yang lengang, kawasan Monas selalu bising oleh desing kendaraan bermotor. Belum lagi yel-yel pendemo. Jangan lupa pepatah “seperti rusa masuk kampung”.
Apakah tidak sebaiknya burung merpati? Ditambah burung merak juga boleh. Tak usah banyak-banyak, 1.000 – 2.000 ekor saja cukup. Tak perlu khawatir ia akan kabur dari kawasan Monas. Banyak orang bisa menyetel sistem navigasi merpati. Saya punya beberapa teman yang bisa melatih ratusan merpati supaya patuh. Lagipula, masih ingat kan pepatah “sejauh-jauh merpati terbang, ia pasti pulang ke sarangnya”?
Saya membayangkan, gemuruh kepak sayap kawanan merpati pasti lebih enak didengar ketimbang deru bajaj. Kita juga bisa memberi makan merpati dengan biji-bijian, remah-remah roti sambil membayangkan duduk di taman kota di Budapest, Roma atau Moskow. Sambil duduk di bawah pohon, kita bisa menikmati kawanan merak mengembangkan bulu ekornya pertanda sedang birahi. Di situ pula kita bisa memperbincangkan artikel mutakhir Noam Chomsky, karya sastra Leo Tolstoy atau riwayat Amrozy. Anda tahu, Taman Ismail Marzuki sudah pengap sekarang.
Kalau keberatan dengan merpati dan merak, siapa setuju monyet? Jika tidak setuju, apa salahnya sang monyet sampai Anda begitu membencinya? Menurut hikayat, ia mewarisi banyak sifat manusia (atau manusia yang mewarisi sifat-sifatnya). Ini akan menjadi terapi psikis efektif di akhir pekan bagi mereka yang menyebut dirinya politikus dan pebisnis (tapi tak lebih dari “pedagang sapi” dan pencari rente yang korup). Tak perlu buru-buru menjebloskan para koruptor ke dalam penjara atau ke Nusakambangan seperti Bob Hasan dan Tommy Soeharto. Kawasan Monas bisa jadi tempat singgah yang berkesan sepanjang hayat mereka.
Tapi, kalau memang maunya mengamankan kawasan Monas, kenapa tidak memelihara macan tutul saja? Dijamin, bukan cuma pencoleng dan teman-temannya yang gentar, tapi para hidung belang pun mikir.
Jakarta, 18 Desember 2002
<< Home