Yesus-yesusan
JANGAN pernah remehkan pertanyaan dari anak-anak. Apalagi tentang konsep keimanan. Pertanyaan yang terlihat bodoh merupakan pertanyaan serius bagi anak. Belum lama ini, pada hari Minggu pagi yang berawan, saya sedang membaca suratkabar untuk mengikuti pergolakan dunia. Datang anak lelaki saya yang berumur empat tahun menghampiri.
“Pa, Natal itu ulang tahunnya Sinterklas, ya?” tanya dia sambil membanggakan kado Natal yang diterimanya pada perayaan menyambut kelahiran Yesus di sekolah kemarin. Pada perayaan itu, ada Sinterklas yang membagikan hadiah kepada setiap murid nol kecil.
“Siapa yang bilang seperti itu?” (Ketahuilah, ini cuma siasat mengulur waktu sambil mencari-cari jawaban yang memuaskan).
“Iya, ya?” (Wah wah wah, dari mana dia belajar menginterogasi?)
“Eeeh … Hari Natal itu hari kelahiran Yesus. Setiap 25 Desember, kita merayakan kelahiran bayi Yesus yang membawa kabar baik. Sinterklas yang suka bilang ho ho ho ho, itu orang baik yang suka membagi-bagi hadiah pada waktu Hari Natal, buat anak yang baik.”
“Yesus baik, nggak?”
“Baik, dong. Makanya kita selalu berdoa kepada Yesus.”
“Yesus sama Sinterklas, baik mana?” (Kenapa ya anak-anak selalu berharap adu hebat antara Batman dan Ksatria Baja Hitam?)
Itu belum seberapa. Kakaknya (juga lelaki) yang lebih tua dua tahun, acapkali mengejutkan. Dari kalimat yang dilontarkannya, memaksa saya mawas diri. Pernah dia bertanya, ”Kenapa kita harus berdoa kalau Tuhan sudah tahu apa yang mau kita doakan?”
Menjawab pertanyaan ‘mematikan’ semacam itu, samasekali berbeda dengan menjawab pertanyaan dari mana datangnya adik bayi. Para orangtua bisa mengarang cerita apa saja untuk menjawab asal-usul jabang bayi. Dari kisah si burung bangau pengirim bayi, hingga analogi kumbang dan kembang. Atau, berkelit dengan jawaban, ”Nantilah nak, kalau kamu sudah besar, kamu akan mengerti.”
Mengajarkan konsep keimanan kepada anak – sebagai salah satu tanggungjawab terbesar orangtua – berarti memperkenalkan sosok baru dalam kehidupannya yang disebut Allah. Melebihi pengetahuan tentang siapa Allah dan cara berdoa, anak berhak mengetahui segala sesuatu yang kita sebut iman.
* * *
INILAH preseden historis yang ditanggung umat Nasrani kontemporer sedunia setiap Natal. Para orangtua dari Yerusalem sampai ke Tel Aviv, dari New York sampai ke Milan, dari Praha sampai ke Cape Town, dari Dusun Brosot di kaki Gunung Merbabu sampai ke Melbourne, selalu menghadapi gagap iman dari anak-anak mereka. Mereka baru mengenal Yesus dalam taraf yesus-yesusan.
Ketika saya mulai meronta dalam kebodohan, Sinterklas dinanti-nanti penuh sukacita. Anak-anak yang biasanya bengal, mendadak luruh beberapa hari menjelang Natal. Mereka sangat takut pada si Piet Hitam, tokoh pendamping Sinterklas yang digambarkan menggenggam sapu lidi. Entah siapa saja dan berapa anak yang telah dihukum, saya tidak tahu. Yang jelas, mendengar namanya anak-anak sudah gentar waktu itu.
Malam menjelang Natal, sejak sore hari saya mempersiapkan kaus kaki dan kobokan. Ke dalam kaus kaki, saya masukkan sejumput rumput. Ke dalam kobokan, saya tuangkan air. Keduanya – masing-masing untuk makan dan minum rusa Sinterklas – saya letakkan di bawah Pohon Natal. Semuanya saya lakukan dengan satu harapan: Sinterklas mampir ke rumah dan – ini yang penting – meninggalkan hadiah Natal.
Saat Natal tiba keesokan harinya, selalu saya bangun lebih pagi daripada orangtua. Menahan rasa kebelet pipis, saya bergegas menuju ruang tamu, tempat Pohon Natal berada. Aha! Ada sebuah kotak berbungkus kertas kado di situ. Ada coretan spidol bertuliskan nama saya di atasnya. Rasa-rasanya, tulisan itu tidak asing buat saya. Tapi, siapa peduli! Hei, lihat! Rumput itu tercecer. Air di kobokan pun berkurang.
Meski belakangan cerita Sinterklas atau Santa Claus itu tipuan mentah-mentah, samasekali saya tak menaruh dendam kepada kedua orangtua. Seperti belajar menulis, beriman juga melalui proses alfabetis. Seiring dengan usianya, anak-anak belajar grammar dalam beragama. Di dalam proses tersebut, mereka membutuhkan sekadar medium nilai universal tentang segi-segi kehidupan. Sungguh manis mengenang Santa Claus pernah ada di dalam relung hati saya.
Apakah anak-anak sekarang merasakan kenangan yang sama kelak? Mungkin tidak. Santa Claus sudah berubah sekarang. Buka mata lebar-lebar. Dia sekarang sudah bekerja untuk sekolah-sekolah. Pada saat yang sama, dia juga bekerja untuk department store dan mal-mal. Malam Natal bukan malam yang menyibukkan lagi bagi Santa Claus, yang dulu terbang dengan kereta rusa (salah satunya bernama Rudolph) dari rumah ke rumah, yang menyelinap dari cerobong asap, dan yang meletakkan hadiah Natal di bawah Pohon Natal.
Jakarta, 24 Desember 2002
<< Home