Menatap Bali dari Puing dari Reruntuhannya
ILLUSTRATED BY PETER EGLINGTON
BALI, Anda sudah maklum mengapa belakangan ini ia dibicarakan.
Ketika gedung WTC di New York runtuh 11 September 2001, kita tidak mampu mengukur trauma pascatragedi yang dialami bangsa Amerika. Kita hanya melihat potongan-potongan beritanya sambil mengunyah popcorn. Setahun kemudian, 12 Oktober 2002, ketika Paddy’s dan Sari Club di Legian-Kuta, Bali dibom, kita terhenyak. Apakah kita masih bisa makan popcorn? Bohong kalau saya katakan “tidak bisa”. Hanya kali ini berbeda. Sekarang, kitalah gambar-gambar dalam potret kepedihan sebuah tragedi (dan giliran bangsa lain makan enaknya popcorn).
Jujur saja, dalam batas-batas logika seperti itulah saya bertolak ke Bali pada 31 Desember silam. Logika ini sama, misalnya, ketika saya hendak berziarah ke Lubang Buaya. Atau, bahkan ketika saya hendak plesir ke Lapangan Tiananmen di jantung kota Beijing. Sungguh keterlaluan jika saya berfoto-foto di Lapangan Tiananmen dengan perasaan sukacita, sambil menggendong boneka panda. Lalu, saat kamera siap saya berseru, ”Cheers!”
Namun, logika akal tidak selalu sama dengan logika hati. Bandara Ngurah Rai siang itu sangat ramai, hampir menyerupai keramaian Terminal Kalideres pada Lebaran lalu. Dengan keramahannya yang sudah terkenal itu, dari pramugari sampai petugas di bandara mengesankan saya bahwa Tragedi Bali perkara kecil belaka. Ucapan diplomatis – seperti, ”Sari and Paddy’s were just buildings,” kata pemandu tur kepada turis asing, ”the spirit, the culture and the beauty of the island remain the same.” ― biasa saya dengar sejak di bandara. Atau ucapan seperti, ”Because we are Hindu, we Balinese blame ourselves for what happened. We think that we have done something wrong, perhaps because we allowed these dens of vice to operate openly.”
Toh, rasa curiga terhadap banyak hal yang dianggap “perkara kecil” ― hal yang hingga hari ini hendak dibereskan oleh Made Mangku Pastika dan tim ― itu masih tersisa dalam diri saya. Keramahan ini barangkali “kutukan” bagi sebuah pulau yang terlanjur diandalkan sebagai daerah tujuan wisata utama. Hari ini ia harus memperlihatkan “kewajarannya”, betapa pun kemarin babak belur.
Pemandangan yang sama diperlihatkan oleh para pendatang (banyak di antaranya sering kita lihat di layar kaca). Air muka mereka bening, sikap dipasang wajar, seperti tahu benar bagaimana seharusnya melakukan perjalanan wisata dan bersenang-senang. Tapi, mengapa harus Bali? (tiba-tiba saja pertanyaan itu melintas di pikiran saya) Tiga kali saya ke Bali, tak mudah juga menjawabnya. Saya pikir, hanya ada tiga kelompok orang yang datang ke Bali hari-hari ini: orang kaya, seniman, dan orang gila.
“Selameth dathang di Pulau Dewathe.”
Seorang lelaki yang entah dari mana muncul di belakang saya. Pakaiannya khas Bali, plus sekuntum bunga kamboja disisipkan di telinga kiri. Posturnya tergolong irit dibanding kebanyakan orang Bali yang pernah saya kenal. Senyumnya mengembang. Jabat tangannya mantap seperti seorang politikus. Budi bahasanya santun, sesantun namanya, Nyoman. Tampaknya anak istri saya cukup terhibur dengan aksen dan penampilan Nyoman di tengah lautan orang yang menanti jemputan.
Selama perjalanan menuju hotel, tak henti-hentinya Nyoman bercerita apa saja yang menurut dia perlu diceritakan. Bagai pemandu tur kawakan, Nyoman mengemban bakat besar terutama menyenangkan hati orang. Di Bali, bakat dan keramahan semacam ini tentu ada harganya, minimal berupa tips senilai segelas draught beer.
Nyoman terkesan hati-hati, lebih tepatnya enggan berpendapat tentang Tragedi Bali. Dia lebih antusias bercerita tentang Sangeh, Bedugul, Tenganan, Besakih, Klungkun, Bangli, Goa Lawah, atau legenda Danau Batur. Saya tak merasa bersalah menanyakan hal itu kepadanya. Sebaliknya, dalam hati saya membatin: roh keriangan wisata Bali sesungguhnya telah pergi bersama ratusan arwah korban pengeboman. Tak gampang mengembalikannya, bahkan seandainya otak pelaku pengeboman dihukum mati.
* * *
SAM Radja adalah seorang pelukis abstrak di Ubud yang tinggal di Renon, Denpasar. Anda bisa mengenal dia lewat situsnya di www.theabstractpainting.com. Sam memang tidak seharum nama perupa Nyoman Gunarsa atau Nyoman Nuarta. Tapi, bukan karena itu dia tidak punya kreativitas. Tahun 2000, namanya tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Ceritanya bermula di Hotel Hilton Nusa Dua. Pada tanggal 22 bulan 2 tahun 2000 pukul 22.22, dia melukis di atas 22 kanvas berukuran 2 x 2 (m), dengan menggunakan 22 warna cat minyak, 22 kuas, selama 22 jam 22 menit 22 detik non-stop. Demo dan pameran lukisannya ini diberi titel The 2222222222222222222222 (angka 2 ditulis sebanyak 22 karakter). “Gue pengen memperingati akan berakhirnya milenium kedua,” kata Sam kepada saya waktu itu.
Gagasan Sam seringkali konyol, liar, bahkan terkadang absurd bagi orang-orang seperti saya yang konon dipenuhi oleh pikiran-pikiran “orang sekolahan”. Tapi dengan absurditas itu Sam bisa melawat ke pelbagai belahan dunia. Pernah, saat merayakan ulang tahunnya yang ke 33, dia mengundang sejumlah pejabat pemerintah daerah Denpasar dan 85 pelacur di sebuah restoran. “Acara ulang tahun malam ini sebetulnya cuma basa-basi. Tapi saya serius mengundang mbak-mbak dan bapak-bapak ke sini untuk bertemu, untuk mengingat kembali bahwa di mata Tuhan kita adalah sama,” ucap Sam dalam sambutannya.
Debut Sam sebagai pelukis sebetulnya mengejutkan. Di Yogya, saat kami sama-sama menggelandang tahun 1990-an, dia lebih dikenal sebagai penyanyi pub dan klab malam. Aksinya di panggung sering membikin perempuan-perempuan kesengsem, apalagi saat dia melantunkan To Love Somebody dari Michael Bolton. Memang dulu beberapa kali saya melihat dia sedang melukis di kamar kostnya, tapi mengira sebatas hobi.
Pilihan menetap di Bali sejak 1998 merupakan keputusan terpenting yang mengubah masa depan Sam. Di Bali, atas nama seni budaya, semua bisa dijual. Ratna, istri merangkap manajernya, bisa membandrol sebuah lukisan Sam seharga 2.500 dolar AS. Laku? “Yaaa, ada aja yang laku,” ujar Sam.
Biasa melakukan transaksi dalam dolar, tidak membuat perasaan Sam tumpul terhadap lingkungan sekitar. Beberapa jam setelah bom meledak, Sam bergabung bersama tim relawan pencari jenazah korban. Di tengah hiruk-pikuk sirene ambulan, mobil pemadam kebakaran, dan mobil patroli polisi, Sam menyisir jalan dan atap bangunan di belakang Sari Club. Di sana dia mengumpulkan organ-organ tubuh seperti potongan jari, telinga, alat kelamin lelaki, serpihan kulit kepala dan rambut yang menempel di balik helm. Sesekali dia mengusir kawanan anjing yang seperti burung condor sedang berebut robekan daging.
Tak kurang dari 40 kantung plastik kresek yang berisi potongan jenazah dia kumpulkan untuk diserahkan ke RSU Sanglah di Denpasar. Enam jam “bekerja” membuat dia limbung. “Tiga hari gue nggak bisa makan. Baru makan satu suap, udah muntah,” kenang Sam.
* * *
SEKITAR pukul 16.00, Sam menjemput saya di Hotel Sheraton Nusa Indah, Nusa Dua. Usai berjanji kepada istri untuk tidak mabuk dan kembali sebelum makan malam, berdua kami bergegas ke luar hotel. Yesss!
Rencana melihat-lihat galeri Sam di Ubud terlebih dahulu berubah. Dibelokkannya mobil ke arah Kuta, ke tempat Tragedi Bali bermula.
Memasuki kawasan Kuta, Sam memarkir mobilnya di halaman sebuah restoran. Tak jauh dari kami berhenti, ada spanduk bertuliskan: “Bali means peace”, “We love Bali”, dan “We will start again”. Dari sini, kami berjalan kaki hingga ke ujung jalan sepanjang 2 km. Banyak keramaian saya temui di sini. Semuanya berlabel menyambut tahun baru 2003. Inilah satu ciri khas warisan zaman rinascimento atau renaissance yaitu antroposentris: manusia menjadi pusat perhatian. Manusia mulai berpikir secara baru, antara lain mengenai dirinya. Manusia menganggap dirinya sendiri tidak lagi sebagai viator mundi atau orang yang berziarah di dunia ini, melainkan faber mundi alias orang yang menciptakan dunianya. Manusia sendiri mulai dianggap sebagai pusat kenyataan.
Jalanan Legian-Kuta mengundang orang keluyuran. Tak perlu ada tujuan, karena selalu akan ada sesuatu yang menarik, yang indah dipandang, yang mengharukan, yang menggelikan. Menurut Sam, jalanan Legian-Kuta yang setiap hari dilalui pun dapat membawa kejutan, memperlihatkan sesuatu yang baru, yang aneh. Jarak Nusa Dua – Kuta yang dipisahkan hanya enam lampu merah, begitu terasa perbedaan atmosfirnya. Ada satu dua kafe di Kuta yang mewarisi spirit kafe dari kota asalnya, di tepi jalan raya Montparnasse, Paris. Dengan secangkir kopi, di situ kita dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk “mengubah dunia” atau sekadar ngobrol ngalor ngidul. Tapi di Nusa Dua yang banyak hotel berbintang lima menjulang, tidak. Di situ, Anda tidak boleh kentut.
Sam mencatat perubahan sikap masyarakat Bali pascatragedi. Terhadap warga penduduk yang bukan asli Bali, masyarakat setempat mengambil jarak, persisnya menaruh curiga dan dendam. Sam menyebut pemeluk salah satu agama yang oleh orang Bali jadi tidak disukai. Tapi orang Bali, lanjut Sam, untungnya bukan seperti orang Ambon yang terbukti mudah dibakar angkara murkanya dengan simbol-simbol agama.
Masyarakat Bali bukan cuma sedih, tapi juga terhina martabat kemanusiaannya. Sam melukiskan, ”Bagaimana seandainya periuk nasi elu ditendang, dicampakkan di rumah elu sendiri tanpa sebab-sebab yang elu sendiri nggak ngerti?”
Hingga hari ini setiap malam petugas yang dimobilisasi oleh Ketua RW melakukan sweeping dari rumah ke rumah di pelosok kampung-kampung. Warga pendatang yang ketahuan tidak memiliki KTP Bali, apa boleh buat, mesti angkat koper selekasnya. Sam tidak tahu efektivitas aksi tersebut. Tapi dia tahu, sekarang ini banyak warga Bali pendatang yang mengantungi “KTP kaget” alias KTP aspal (asli tapi palsu) di dalam dompetnya. KTP jenis ini bisa diperoleh peminat di Banyuwangi.
Kami berhenti persis di depan puing reruntuhan Sari Club, kurang lebih 50 m dari restoran Kopi Pot. Di situ ada sejumlah buket disertai ucapan belasungkawa, lilin, dan canang. Bau dupa menyergap hidung kami. Saya menatap ke puing bangunan yang porak-poranda.
Enam turis bule tampak bercakap-cakap, 3-4 m dari kami berdiri. Dua orang menunjuk-nunjuk ke arah puing, tiga orang lainnya asyik mengambil gambar dengan kamera digitalnya. Sam menghampiri mereka dan bertegur sapa beberapa saat. Tidak jelas apa yang dia ucapkan. Saya hanya mendengar kalimat pertama dan kalimat terakhir. Saya hanya mendengar Sam berkata sambil melambaikan tangan kepada mereka, ”See you pale! Tell your friends Bali is safe. Tell them to come back.”
Nusa Dua - Jakarta, 1 – 9 Januari 2003
BALI, Anda sudah maklum mengapa belakangan ini ia dibicarakan.
Ketika gedung WTC di New York runtuh 11 September 2001, kita tidak mampu mengukur trauma pascatragedi yang dialami bangsa Amerika. Kita hanya melihat potongan-potongan beritanya sambil mengunyah popcorn. Setahun kemudian, 12 Oktober 2002, ketika Paddy’s dan Sari Club di Legian-Kuta, Bali dibom, kita terhenyak. Apakah kita masih bisa makan popcorn? Bohong kalau saya katakan “tidak bisa”. Hanya kali ini berbeda. Sekarang, kitalah gambar-gambar dalam potret kepedihan sebuah tragedi (dan giliran bangsa lain makan enaknya popcorn).
Jujur saja, dalam batas-batas logika seperti itulah saya bertolak ke Bali pada 31 Desember silam. Logika ini sama, misalnya, ketika saya hendak berziarah ke Lubang Buaya. Atau, bahkan ketika saya hendak plesir ke Lapangan Tiananmen di jantung kota Beijing. Sungguh keterlaluan jika saya berfoto-foto di Lapangan Tiananmen dengan perasaan sukacita, sambil menggendong boneka panda. Lalu, saat kamera siap saya berseru, ”Cheers!”
Namun, logika akal tidak selalu sama dengan logika hati. Bandara Ngurah Rai siang itu sangat ramai, hampir menyerupai keramaian Terminal Kalideres pada Lebaran lalu. Dengan keramahannya yang sudah terkenal itu, dari pramugari sampai petugas di bandara mengesankan saya bahwa Tragedi Bali perkara kecil belaka. Ucapan diplomatis – seperti, ”Sari and Paddy’s were just buildings,” kata pemandu tur kepada turis asing, ”the spirit, the culture and the beauty of the island remain the same.” ― biasa saya dengar sejak di bandara. Atau ucapan seperti, ”Because we are Hindu, we Balinese blame ourselves for what happened. We think that we have done something wrong, perhaps because we allowed these dens of vice to operate openly.”
Toh, rasa curiga terhadap banyak hal yang dianggap “perkara kecil” ― hal yang hingga hari ini hendak dibereskan oleh Made Mangku Pastika dan tim ― itu masih tersisa dalam diri saya. Keramahan ini barangkali “kutukan” bagi sebuah pulau yang terlanjur diandalkan sebagai daerah tujuan wisata utama. Hari ini ia harus memperlihatkan “kewajarannya”, betapa pun kemarin babak belur.
Pemandangan yang sama diperlihatkan oleh para pendatang (banyak di antaranya sering kita lihat di layar kaca). Air muka mereka bening, sikap dipasang wajar, seperti tahu benar bagaimana seharusnya melakukan perjalanan wisata dan bersenang-senang. Tapi, mengapa harus Bali? (tiba-tiba saja pertanyaan itu melintas di pikiran saya) Tiga kali saya ke Bali, tak mudah juga menjawabnya. Saya pikir, hanya ada tiga kelompok orang yang datang ke Bali hari-hari ini: orang kaya, seniman, dan orang gila.
“Selameth dathang di Pulau Dewathe.”
Seorang lelaki yang entah dari mana muncul di belakang saya. Pakaiannya khas Bali, plus sekuntum bunga kamboja disisipkan di telinga kiri. Posturnya tergolong irit dibanding kebanyakan orang Bali yang pernah saya kenal. Senyumnya mengembang. Jabat tangannya mantap seperti seorang politikus. Budi bahasanya santun, sesantun namanya, Nyoman. Tampaknya anak istri saya cukup terhibur dengan aksen dan penampilan Nyoman di tengah lautan orang yang menanti jemputan.
Selama perjalanan menuju hotel, tak henti-hentinya Nyoman bercerita apa saja yang menurut dia perlu diceritakan. Bagai pemandu tur kawakan, Nyoman mengemban bakat besar terutama menyenangkan hati orang. Di Bali, bakat dan keramahan semacam ini tentu ada harganya, minimal berupa tips senilai segelas draught beer.
Nyoman terkesan hati-hati, lebih tepatnya enggan berpendapat tentang Tragedi Bali. Dia lebih antusias bercerita tentang Sangeh, Bedugul, Tenganan, Besakih, Klungkun, Bangli, Goa Lawah, atau legenda Danau Batur. Saya tak merasa bersalah menanyakan hal itu kepadanya. Sebaliknya, dalam hati saya membatin: roh keriangan wisata Bali sesungguhnya telah pergi bersama ratusan arwah korban pengeboman. Tak gampang mengembalikannya, bahkan seandainya otak pelaku pengeboman dihukum mati.
* * *
SAM Radja adalah seorang pelukis abstrak di Ubud yang tinggal di Renon, Denpasar. Anda bisa mengenal dia lewat situsnya di www.theabstractpainting.com. Sam memang tidak seharum nama perupa Nyoman Gunarsa atau Nyoman Nuarta. Tapi, bukan karena itu dia tidak punya kreativitas. Tahun 2000, namanya tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Ceritanya bermula di Hotel Hilton Nusa Dua. Pada tanggal 22 bulan 2 tahun 2000 pukul 22.22, dia melukis di atas 22 kanvas berukuran 2 x 2 (m), dengan menggunakan 22 warna cat minyak, 22 kuas, selama 22 jam 22 menit 22 detik non-stop. Demo dan pameran lukisannya ini diberi titel The 2222222222222222222222 (angka 2 ditulis sebanyak 22 karakter). “Gue pengen memperingati akan berakhirnya milenium kedua,” kata Sam kepada saya waktu itu.
Gagasan Sam seringkali konyol, liar, bahkan terkadang absurd bagi orang-orang seperti saya yang konon dipenuhi oleh pikiran-pikiran “orang sekolahan”. Tapi dengan absurditas itu Sam bisa melawat ke pelbagai belahan dunia. Pernah, saat merayakan ulang tahunnya yang ke 33, dia mengundang sejumlah pejabat pemerintah daerah Denpasar dan 85 pelacur di sebuah restoran. “Acara ulang tahun malam ini sebetulnya cuma basa-basi. Tapi saya serius mengundang mbak-mbak dan bapak-bapak ke sini untuk bertemu, untuk mengingat kembali bahwa di mata Tuhan kita adalah sama,” ucap Sam dalam sambutannya.
Debut Sam sebagai pelukis sebetulnya mengejutkan. Di Yogya, saat kami sama-sama menggelandang tahun 1990-an, dia lebih dikenal sebagai penyanyi pub dan klab malam. Aksinya di panggung sering membikin perempuan-perempuan kesengsem, apalagi saat dia melantunkan To Love Somebody dari Michael Bolton. Memang dulu beberapa kali saya melihat dia sedang melukis di kamar kostnya, tapi mengira sebatas hobi.
Pilihan menetap di Bali sejak 1998 merupakan keputusan terpenting yang mengubah masa depan Sam. Di Bali, atas nama seni budaya, semua bisa dijual. Ratna, istri merangkap manajernya, bisa membandrol sebuah lukisan Sam seharga 2.500 dolar AS. Laku? “Yaaa, ada aja yang laku,” ujar Sam.
Biasa melakukan transaksi dalam dolar, tidak membuat perasaan Sam tumpul terhadap lingkungan sekitar. Beberapa jam setelah bom meledak, Sam bergabung bersama tim relawan pencari jenazah korban. Di tengah hiruk-pikuk sirene ambulan, mobil pemadam kebakaran, dan mobil patroli polisi, Sam menyisir jalan dan atap bangunan di belakang Sari Club. Di sana dia mengumpulkan organ-organ tubuh seperti potongan jari, telinga, alat kelamin lelaki, serpihan kulit kepala dan rambut yang menempel di balik helm. Sesekali dia mengusir kawanan anjing yang seperti burung condor sedang berebut robekan daging.
Tak kurang dari 40 kantung plastik kresek yang berisi potongan jenazah dia kumpulkan untuk diserahkan ke RSU Sanglah di Denpasar. Enam jam “bekerja” membuat dia limbung. “Tiga hari gue nggak bisa makan. Baru makan satu suap, udah muntah,” kenang Sam.
* * *
SEKITAR pukul 16.00, Sam menjemput saya di Hotel Sheraton Nusa Indah, Nusa Dua. Usai berjanji kepada istri untuk tidak mabuk dan kembali sebelum makan malam, berdua kami bergegas ke luar hotel. Yesss!
Rencana melihat-lihat galeri Sam di Ubud terlebih dahulu berubah. Dibelokkannya mobil ke arah Kuta, ke tempat Tragedi Bali bermula.
Memasuki kawasan Kuta, Sam memarkir mobilnya di halaman sebuah restoran. Tak jauh dari kami berhenti, ada spanduk bertuliskan: “Bali means peace”, “We love Bali”, dan “We will start again”. Dari sini, kami berjalan kaki hingga ke ujung jalan sepanjang 2 km. Banyak keramaian saya temui di sini. Semuanya berlabel menyambut tahun baru 2003. Inilah satu ciri khas warisan zaman rinascimento atau renaissance yaitu antroposentris: manusia menjadi pusat perhatian. Manusia mulai berpikir secara baru, antara lain mengenai dirinya. Manusia menganggap dirinya sendiri tidak lagi sebagai viator mundi atau orang yang berziarah di dunia ini, melainkan faber mundi alias orang yang menciptakan dunianya. Manusia sendiri mulai dianggap sebagai pusat kenyataan.
Jalanan Legian-Kuta mengundang orang keluyuran. Tak perlu ada tujuan, karena selalu akan ada sesuatu yang menarik, yang indah dipandang, yang mengharukan, yang menggelikan. Menurut Sam, jalanan Legian-Kuta yang setiap hari dilalui pun dapat membawa kejutan, memperlihatkan sesuatu yang baru, yang aneh. Jarak Nusa Dua – Kuta yang dipisahkan hanya enam lampu merah, begitu terasa perbedaan atmosfirnya. Ada satu dua kafe di Kuta yang mewarisi spirit kafe dari kota asalnya, di tepi jalan raya Montparnasse, Paris. Dengan secangkir kopi, di situ kita dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk “mengubah dunia” atau sekadar ngobrol ngalor ngidul. Tapi di Nusa Dua yang banyak hotel berbintang lima menjulang, tidak. Di situ, Anda tidak boleh kentut.
Sam mencatat perubahan sikap masyarakat Bali pascatragedi. Terhadap warga penduduk yang bukan asli Bali, masyarakat setempat mengambil jarak, persisnya menaruh curiga dan dendam. Sam menyebut pemeluk salah satu agama yang oleh orang Bali jadi tidak disukai. Tapi orang Bali, lanjut Sam, untungnya bukan seperti orang Ambon yang terbukti mudah dibakar angkara murkanya dengan simbol-simbol agama.
Masyarakat Bali bukan cuma sedih, tapi juga terhina martabat kemanusiaannya. Sam melukiskan, ”Bagaimana seandainya periuk nasi elu ditendang, dicampakkan di rumah elu sendiri tanpa sebab-sebab yang elu sendiri nggak ngerti?”
Hingga hari ini setiap malam petugas yang dimobilisasi oleh Ketua RW melakukan sweeping dari rumah ke rumah di pelosok kampung-kampung. Warga pendatang yang ketahuan tidak memiliki KTP Bali, apa boleh buat, mesti angkat koper selekasnya. Sam tidak tahu efektivitas aksi tersebut. Tapi dia tahu, sekarang ini banyak warga Bali pendatang yang mengantungi “KTP kaget” alias KTP aspal (asli tapi palsu) di dalam dompetnya. KTP jenis ini bisa diperoleh peminat di Banyuwangi.
Kami berhenti persis di depan puing reruntuhan Sari Club, kurang lebih 50 m dari restoran Kopi Pot. Di situ ada sejumlah buket disertai ucapan belasungkawa, lilin, dan canang. Bau dupa menyergap hidung kami. Saya menatap ke puing bangunan yang porak-poranda.
Enam turis bule tampak bercakap-cakap, 3-4 m dari kami berdiri. Dua orang menunjuk-nunjuk ke arah puing, tiga orang lainnya asyik mengambil gambar dengan kamera digitalnya. Sam menghampiri mereka dan bertegur sapa beberapa saat. Tidak jelas apa yang dia ucapkan. Saya hanya mendengar kalimat pertama dan kalimat terakhir. Saya hanya mendengar Sam berkata sambil melambaikan tangan kepada mereka, ”See you pale! Tell your friends Bali is safe. Tell them to come back.”
Nusa Dua - Jakarta, 1 – 9 Januari 2003
<< Home