Uang Receh Sang Pemimpin
ILLUSTRATED BY ANONYMOUS
HAKUL yakin, keputusan Mama Mega menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik dan telepon akan mempercepat masa kekuasaannya. Keputusan itu mungkin the best among the worst, tapi mekanisme dan momentum yang diambil buruk. Pesan pernyataan ini sudah sangat jelas: keputusan yang buruk menimbulkan ketidakpercayaan.
Ini mirip dengan mendapatkan dan membelanjakan uang receh. Setiap kali seorang pemimpin mengambil keputusan yang baik, sakunya mendapatkan uang receh dari rakyat. Setiap kali seorang pemimpin mengambil keputusan yang buruk, dia harus membayarkan uang recehnya kepada rakyat. Jika seorang pemimpin mengambil keputusan yang buruk melulu, dia terus mengeluarkan uang receh, sampai dia sadar, bahwa tidak ada lagi uang receh di dalam sakunya. Jika kehabisan uang receh, tamatlah riwayat dia sebagai pemimpin.
Seorang pemimpin yang sedang mengumpulkan uang receh, harus memberikan teladan dalam kualitas kemampuan, koneksi, dan karakter. Rakyat akan memaafkan kekeliruan sesekali berdasarkan pada kemampuan, terutama jika melihat seseorang masih bertumbuh sebagai pemimpin. Namun, mereka takkan percaya kepada seseorang yang telah gagal dalam karakter.
Apa yang terjadi pada Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid, tak jauh dari kisah sang pemimpin yang kehabisan uang receh. Secara medis, Soekarno memang bergelut melawan penyakit batu ginjal, tapi boleh jadi kesendirianlah yang membunuhnya. Soeharto dikabarkan sakit-sakitan, tapi boleh jadi kebohonganlah yang menyelamatkannya. Habibie dikabarkan setia menunggu kesembuhan istrinya di luar negeri, tapi boleh jadi dia malu pulang ke Tanah Air. Abdurrahman Wahid pada akhirnya kembali ke Ciganjur, tapi jelas dia akan menjadi duri beracun bagi lawan-lawan politiknya menuju Istana Merdeka.
Soekarno, sebagaimana sama-sama kita ketahui, pada awalnya berhasil mengumpulkan banyak uang receh dari rakyat. Dia memikat lewat orasi-orasi hebat yang menangkap imajinasi rakyat tentang makna kemerdekaan. Rakyat mencintai dia, menyimak sungguh-sungguh setiap kalimat yang diucapkannya melalui radio transistor. Rasanya, disuruh telanjang bulat pun di Lapangan Banteng, rakyat mau.
Sederet gelar yang diselempangkan ke pundaknya – dari Putera Sang Fajar, Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Amirul Amri, sampai Panglima Tertinggi – sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kebesaran Bung Karno. Tapi, keasyikan berlayar mengikuti angin “revolusi belum selesai” dengan perahu Nasakom, membuat Soekarno lupa daratan. Inflasi ratusan persen, beras sulit, kelaparan meruyak, demonstrasi merebak, membangunkan Soekarno perlahan dari mimpi-mimpinya. Sampai di sini kita tidak tahu pasti, kecuali bahwa kita menduga PKI/G30S merupakan salah satu bangsat terbesar dalam sejarah Indonesia. Wartawan Brian May melukiskan: Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan; dilahirkan kembali dalam usaha kudeta; dan dibaptis dengan darah pembantaian.
Pemimpin baru bernama Soeharto muncul, bagai seorang tokoh epos Mahabarata dalam kemelut di Kerajaan Anumarta. Lewat mantra “atas nama pembangunan”, Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto meraih kejayaannya dengan kecepatan yang mendebarkan; mula-mula kebesaran ekonomi, tapi dengan bobot politik sebagai konsekuensinya. Dunia internasional memandang takzim keberhasilan Soeharto. Di dalam negeri, rakyat sudi memberikan sangat banyak uang receh kepada Soeharto.
Banyak hal tergantung pada cara Soeharto menjalankan hubungannya dengan militer. Hubungan militer dan Soeharto memang “sedekat gigi dan bibir”. Bagi Soeharto, militer adalah bagian penting dari strategi orde baru, salah satu kaki dari tiang pembangunan ekonomi berkaki tiga, dengan kaki lainnya pada orang Cina dan kroni-kroni Cendana. Ekonomi Indonesia yang dibangun oleh Belanda, setelah ditinggalkan oleh Jepang, dengan mudah direbut militer Indonesia, lalu oleh Soeharto disewakan kepada orang Cina.
Pada masa-masa ini, sementara pengusaha menangguk kekayaan guna meraih kekuasaan, pejabat negara meraup kekuasaan untuk menangguk kekayaan. Di antara keduanya, pejabat lebih beruntung lantaran merekalah yang membuat peraturan; mengendalikan polisi dan tentara. Sudah jadi rahasia umum bahwa pengusaha-pengusaha ada hanya untuk ditekan, diperas dan dimangsa. Cendana berada di puncak piramida pencatutan.
KKN yang merajalela di mana-mana, krisis moneter, gelombang demo besar-besaran, penculikan aktifis, kerusuhan diikuti penjarahan, sikap Golkar yang ményé-ményé, susutnya dukungan militer, memperjelas hari-hari Soeharto mulai bisa dihitung. Situasinya seperti akan terjadi gempa bumi, di mana binatang-binatang hutan mulai berperilaku aneh tanpa sebab musabab, berhamburan mendaki perbukitan. Keputusan Pak Harto membongkar pasang susunan kabinet, setelah mengangkat puteri sulungnya sebagai Menteri Sosial, tak juga memadamkan amarah rakyat yang sudah di ubun-ubun. Pada Mei 1998, tak sepeser pun dia mengantungi uang receh. Dia pulang ke Menteng meninggalkan Habibie yang ketiban sampur di Istana Merdeka dengan perasaan tak terbilang.
Dengan cepat Habibie memperoleh uang receh dari rakyat terutama kalangan pers. Sekali seumur hidup, rakyat terhibur oleh lagak dan mimik pemimpinnya yang lucu, cair, tidak angker seperti raja-raja Jawa. Kaum politik elit juga respek kepadanya, terlebih saat Habibie mengemukakan kesadaran bahwa pemerintahan yang dipimpinnya sebatas mengantarkan rakyat pada Pemilu 1999. Toh, dia sempat tergoda untuk menerbangkan pesawat kekuasaannya lebih lama lagi, sebelum akhirnya laporan pertanggungjawaban Bung Rudy “diterima dengan catatan” (dalam komunikasi politik berarti “ditolak”) oleh parlemen. Dalam pada itu, keputusannya menyangkut Timor Timur (yang berakibat lepasnya provinsi tersebut dari klaim RI) dinilai menyakiti hati kalangan tua militer.
“It’s okay,” desis Habibie, ”die reinste freude is die schandenfreude.”
Habibie dikenang bukan karena kemenangan-kemenangan operasi militer ― yang didambakan oleh pemimpin egosentris dan pandir ― tapi karena kepandaiannya dalam menekankan pentingnya kebebasan berpendapat dan akal sehat di tengah konflik manusia, sebagai lawan dari kuasa brutal.
Pemilu 1999 menghasilkan PDIP yang mabuk kemenangan dan partai pecundang yang siap dengan konspirasi jahat. KH Abdurrahman Wahid yang baru saja menguap, didudukkan begitu saja di kursi RI-1. Rakyat menanti dengan harap-harap cemas.
Kekuasaan dibagi-bagi. Si merah dapat anu, si biru jadi anu, si kuning dapat anu, si hijau jadi anu. Mereka tidak peduli siapa yang memegang sapi, yang penting mereka bisa memerah susunya. Pada masa ini, orang-orang ambisius dan cenderung bejat keluyuran dari satu partai ke partai lain, mencari jabatan resmi sebagai penasihat atau ahli strategi. Banyak yang pintar omong, memukau para penguasa dengan rancangan konspirasi mereka. Kalau rancangan mereka sukses, mereka dapat pekerjaan. Kalau gagal, ya tidak apa-apa. Di masa reformasi, tak ada kesantunan, tak ada kebajikan. Yang ada hanya pembolak-balikan kesetiaan, pengkhianatan berbulu kebajikan. Sukar membedakan antara bajingan dan birokrat. Penampilan dan kelakuan mereka sama. Sama-sama kejam, penjilat, pengkhianat, licik.
Keputusan Gus Dur meniadakan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial memicu keresahan. Konflik antarelit berlangsung gamblang, menyusul ucapan Sang Kiai ― “seperti taman kanak-kanak” ― kepada wakil-wakil rakyat yang terhormat di Senayan. Keputusan Gus Dur memecat dua menteri semakin memperuncing situasi.
Rakyat kian tak mengerti perilaku para pemimpinnya. Yang satu kasak-kusuk, yang lain jalan-jalan ke luar negeri. Isu skandal demi skandal diembuskan untuk menjatuhkan lawan, tak terkecuali skandal keuangan yang melibatkan taipan-taipan Cina. Cina? Bagai barongsai yang pincang terkena petasan Tahun Baru Imlek, harapan mereka surut bersama kemungkinan menghadapi kehilangan segala-galanya setelah 14 Mei 1998.
Gus Dur kehabisan uang receh sejak awal. Debutnya sebagai RI-1 laksana ― mengutip Chairil Anwar dalam puisinya ― “sekali berarti, sudah itu mati”.
Kalau boleh memilih, parlemen lebih senang. Sebab, sejujurnya parlemen tak menghendaki Megawati Soekarnoputri duduk di kursi RI-1 (jangan lupa itu). Namun, bagi pengikut setia “banteng mendengus”, inilah pesta kemenangan yang tertunda. Bagi mereka, Mama Mega mengemban mandat ilahiah, terlepas apakah orang lain senang atau tidak.
Begitulah. Pada awalnya, hubungan cinta rakyat dan Mama Mega, seperti hubungan cinta lain, melibatkan banyak khayalan dan harapan yang indah-indah. Satu-satunya mimpi buruk hanyalah Taufiq Kiemas (TK), suaminya, yang lasak dan calak. Sepak terjang TK yang suka foya-foya, mengundang semut-semut di tempat piknik. Kepemimpinan Mama Mega yang dimitoskan “diliputi roh kebesaran Bung Karno” menarik orang-orang baru ke lingkaran partai, seperti kalong-kalong menuju pohon mangga. Paralel dengan itu ― ironisnya ― orang-orang lama ke luar partai, menunggu kesempatan. Tapi di atas segalanya, sikap dia pasif ― tidak baik bagi seseorang yang menulis buku Bendera Sudah Saya Kibarkan!
Sejenak, di mata rakyat itu cuma faktor. Kini, para pejabat setiap hari gemetaran menyaksikan daftar kekayaannya dipampang di media massa. Wajah mereka senantiasa terancam (untunglah, jantung mereka tetap pada tempatnya). Meski begitu, suap dan korupsi tak berhenti. Mereka tetap membeli rumah di kawasan elit, punya mansion di luar negeri, mengawinkan anak dengan biaya miliaran rupiah, merayakan ulang tahun di hotel mentereng, menginvestasikan uang mereka melalui private banking dan sindikat-sindikat kriminal, serta terus bikin statement.
Sebagai reaksi terhadap aksi pejabat periode sebelumnya, mereka membalas dengan sama rakusnya. Jadi sulit memisahkan orang terhormat dari bejat, seperti susahnya memisahkan putih dari kuning telur yang sudah terkocok. Di mana-mana, penjualan saham ― baik perusahaan BUMN maupun swasta yang dikuasai BPPN ― selalu berakhir ribut. Ada orang di Senayan yang bicara nasionalisme ketika saham Indosat dijual ke negara tetangga. Tapi di Indonesia ada lebih banyak orang yang tidak meneteskan air mata untuk nasionalisme. Uang adalah segala-galanya. Bagi mereka, nasionalisme adalah kecongkakan dan prasangka, sesuatu ― seperti rasisme ― yang tak sanggup mereka tanggung.
Bagi Mama Mega sendiri, tumbuhnya politik multipartai di Jakarta belakangan ini mengharuskan dia menyuapi lebih banyak jenderal dan politisi. Bagi pemerintahan Mama Mega, gerakan antiKKN hanyalah penyakit kulit, sementara kaum jenderal dan politisi adalah penyakit jantung. Mereka termasuk warga negara paling rasional di saat mereka tenang. Tapi mereka benar-benar irasional dalam soal balas dendam.
Mama Mega samasekali tak merasa bersalah atas nasib ribuan TKI di kamp-kamp pengungsian di Nunukan, sekali pun pada saat hampir bersamaan Presiden Gloria Arroyo menjamah tenaga kerja Filipina yang mengenaskan di Bongao, Tawi-tawi. Bagi Mama Mega, itu “nasib buruk biasa” belaka. Kini, ribuan orang yang kehilangan pekerjaan ― menyusul merger antarperusahaan, hengkangnya perusahaan PMA, perusahaan yang dilikuidasi, atau gulung tikar dililit krisis ― bertambah banyak. Frustrasi mulai menghinggapi pikiran rakyat: jika saja Indonesia dilahirkan kembali dalam model Singapura, bagus; jika tidak, model pemerintahan Pak Harto pun tidak jelek. Orang-orang di lingkaran kekuasaan Mama Mega juga menikmati fantasi sebanyak orang lain, tapi mereka lebih suka bermimpi di ruang-ruang deposit bank.
Tidak ada yang salah atau dipersalahkan sebelum demo menentang kenaikan BBM dkk digelar. Yang ada sekarang, Mama Mega di atas kursi RI-1 mulai menghitung-hitung kembali sisa uang receh di sakunya. Di bagian belakang panggung, ada sekolompok orang berbulat niat untuk mengambil alih kekuasaan dengan bermodalkan kelicikan dan aroma uang. Dan, di lorong-lorong gelap penjuru kota dekat bangunan tua yang membisu, ada rakyat berdendang dangdut sambil berjoget, ”Cukup sekali aku merasa kegagalan cinta. Takkan terulang kedua kali di dalam hidupku. Oooh … ya nasib ya nasib, mengapa begini …”
Jakarta, 17 Januari 2003
HAKUL yakin, keputusan Mama Mega menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik dan telepon akan mempercepat masa kekuasaannya. Keputusan itu mungkin the best among the worst, tapi mekanisme dan momentum yang diambil buruk. Pesan pernyataan ini sudah sangat jelas: keputusan yang buruk menimbulkan ketidakpercayaan.
Ini mirip dengan mendapatkan dan membelanjakan uang receh. Setiap kali seorang pemimpin mengambil keputusan yang baik, sakunya mendapatkan uang receh dari rakyat. Setiap kali seorang pemimpin mengambil keputusan yang buruk, dia harus membayarkan uang recehnya kepada rakyat. Jika seorang pemimpin mengambil keputusan yang buruk melulu, dia terus mengeluarkan uang receh, sampai dia sadar, bahwa tidak ada lagi uang receh di dalam sakunya. Jika kehabisan uang receh, tamatlah riwayat dia sebagai pemimpin.
Seorang pemimpin yang sedang mengumpulkan uang receh, harus memberikan teladan dalam kualitas kemampuan, koneksi, dan karakter. Rakyat akan memaafkan kekeliruan sesekali berdasarkan pada kemampuan, terutama jika melihat seseorang masih bertumbuh sebagai pemimpin. Namun, mereka takkan percaya kepada seseorang yang telah gagal dalam karakter.
Apa yang terjadi pada Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid, tak jauh dari kisah sang pemimpin yang kehabisan uang receh. Secara medis, Soekarno memang bergelut melawan penyakit batu ginjal, tapi boleh jadi kesendirianlah yang membunuhnya. Soeharto dikabarkan sakit-sakitan, tapi boleh jadi kebohonganlah yang menyelamatkannya. Habibie dikabarkan setia menunggu kesembuhan istrinya di luar negeri, tapi boleh jadi dia malu pulang ke Tanah Air. Abdurrahman Wahid pada akhirnya kembali ke Ciganjur, tapi jelas dia akan menjadi duri beracun bagi lawan-lawan politiknya menuju Istana Merdeka.
Soekarno, sebagaimana sama-sama kita ketahui, pada awalnya berhasil mengumpulkan banyak uang receh dari rakyat. Dia memikat lewat orasi-orasi hebat yang menangkap imajinasi rakyat tentang makna kemerdekaan. Rakyat mencintai dia, menyimak sungguh-sungguh setiap kalimat yang diucapkannya melalui radio transistor. Rasanya, disuruh telanjang bulat pun di Lapangan Banteng, rakyat mau.
Sederet gelar yang diselempangkan ke pundaknya – dari Putera Sang Fajar, Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Amirul Amri, sampai Panglima Tertinggi – sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kebesaran Bung Karno. Tapi, keasyikan berlayar mengikuti angin “revolusi belum selesai” dengan perahu Nasakom, membuat Soekarno lupa daratan. Inflasi ratusan persen, beras sulit, kelaparan meruyak, demonstrasi merebak, membangunkan Soekarno perlahan dari mimpi-mimpinya. Sampai di sini kita tidak tahu pasti, kecuali bahwa kita menduga PKI/G30S merupakan salah satu bangsat terbesar dalam sejarah Indonesia. Wartawan Brian May melukiskan: Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan; dilahirkan kembali dalam usaha kudeta; dan dibaptis dengan darah pembantaian.
Pemimpin baru bernama Soeharto muncul, bagai seorang tokoh epos Mahabarata dalam kemelut di Kerajaan Anumarta. Lewat mantra “atas nama pembangunan”, Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto meraih kejayaannya dengan kecepatan yang mendebarkan; mula-mula kebesaran ekonomi, tapi dengan bobot politik sebagai konsekuensinya. Dunia internasional memandang takzim keberhasilan Soeharto. Di dalam negeri, rakyat sudi memberikan sangat banyak uang receh kepada Soeharto.
Banyak hal tergantung pada cara Soeharto menjalankan hubungannya dengan militer. Hubungan militer dan Soeharto memang “sedekat gigi dan bibir”. Bagi Soeharto, militer adalah bagian penting dari strategi orde baru, salah satu kaki dari tiang pembangunan ekonomi berkaki tiga, dengan kaki lainnya pada orang Cina dan kroni-kroni Cendana. Ekonomi Indonesia yang dibangun oleh Belanda, setelah ditinggalkan oleh Jepang, dengan mudah direbut militer Indonesia, lalu oleh Soeharto disewakan kepada orang Cina.
Pada masa-masa ini, sementara pengusaha menangguk kekayaan guna meraih kekuasaan, pejabat negara meraup kekuasaan untuk menangguk kekayaan. Di antara keduanya, pejabat lebih beruntung lantaran merekalah yang membuat peraturan; mengendalikan polisi dan tentara. Sudah jadi rahasia umum bahwa pengusaha-pengusaha ada hanya untuk ditekan, diperas dan dimangsa. Cendana berada di puncak piramida pencatutan.
KKN yang merajalela di mana-mana, krisis moneter, gelombang demo besar-besaran, penculikan aktifis, kerusuhan diikuti penjarahan, sikap Golkar yang ményé-ményé, susutnya dukungan militer, memperjelas hari-hari Soeharto mulai bisa dihitung. Situasinya seperti akan terjadi gempa bumi, di mana binatang-binatang hutan mulai berperilaku aneh tanpa sebab musabab, berhamburan mendaki perbukitan. Keputusan Pak Harto membongkar pasang susunan kabinet, setelah mengangkat puteri sulungnya sebagai Menteri Sosial, tak juga memadamkan amarah rakyat yang sudah di ubun-ubun. Pada Mei 1998, tak sepeser pun dia mengantungi uang receh. Dia pulang ke Menteng meninggalkan Habibie yang ketiban sampur di Istana Merdeka dengan perasaan tak terbilang.
Dengan cepat Habibie memperoleh uang receh dari rakyat terutama kalangan pers. Sekali seumur hidup, rakyat terhibur oleh lagak dan mimik pemimpinnya yang lucu, cair, tidak angker seperti raja-raja Jawa. Kaum politik elit juga respek kepadanya, terlebih saat Habibie mengemukakan kesadaran bahwa pemerintahan yang dipimpinnya sebatas mengantarkan rakyat pada Pemilu 1999. Toh, dia sempat tergoda untuk menerbangkan pesawat kekuasaannya lebih lama lagi, sebelum akhirnya laporan pertanggungjawaban Bung Rudy “diterima dengan catatan” (dalam komunikasi politik berarti “ditolak”) oleh parlemen. Dalam pada itu, keputusannya menyangkut Timor Timur (yang berakibat lepasnya provinsi tersebut dari klaim RI) dinilai menyakiti hati kalangan tua militer.
“It’s okay,” desis Habibie, ”die reinste freude is die schandenfreude.”
Habibie dikenang bukan karena kemenangan-kemenangan operasi militer ― yang didambakan oleh pemimpin egosentris dan pandir ― tapi karena kepandaiannya dalam menekankan pentingnya kebebasan berpendapat dan akal sehat di tengah konflik manusia, sebagai lawan dari kuasa brutal.
Pemilu 1999 menghasilkan PDIP yang mabuk kemenangan dan partai pecundang yang siap dengan konspirasi jahat. KH Abdurrahman Wahid yang baru saja menguap, didudukkan begitu saja di kursi RI-1. Rakyat menanti dengan harap-harap cemas.
Kekuasaan dibagi-bagi. Si merah dapat anu, si biru jadi anu, si kuning dapat anu, si hijau jadi anu. Mereka tidak peduli siapa yang memegang sapi, yang penting mereka bisa memerah susunya. Pada masa ini, orang-orang ambisius dan cenderung bejat keluyuran dari satu partai ke partai lain, mencari jabatan resmi sebagai penasihat atau ahli strategi. Banyak yang pintar omong, memukau para penguasa dengan rancangan konspirasi mereka. Kalau rancangan mereka sukses, mereka dapat pekerjaan. Kalau gagal, ya tidak apa-apa. Di masa reformasi, tak ada kesantunan, tak ada kebajikan. Yang ada hanya pembolak-balikan kesetiaan, pengkhianatan berbulu kebajikan. Sukar membedakan antara bajingan dan birokrat. Penampilan dan kelakuan mereka sama. Sama-sama kejam, penjilat, pengkhianat, licik.
Keputusan Gus Dur meniadakan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial memicu keresahan. Konflik antarelit berlangsung gamblang, menyusul ucapan Sang Kiai ― “seperti taman kanak-kanak” ― kepada wakil-wakil rakyat yang terhormat di Senayan. Keputusan Gus Dur memecat dua menteri semakin memperuncing situasi.
Rakyat kian tak mengerti perilaku para pemimpinnya. Yang satu kasak-kusuk, yang lain jalan-jalan ke luar negeri. Isu skandal demi skandal diembuskan untuk menjatuhkan lawan, tak terkecuali skandal keuangan yang melibatkan taipan-taipan Cina. Cina? Bagai barongsai yang pincang terkena petasan Tahun Baru Imlek, harapan mereka surut bersama kemungkinan menghadapi kehilangan segala-galanya setelah 14 Mei 1998.
Gus Dur kehabisan uang receh sejak awal. Debutnya sebagai RI-1 laksana ― mengutip Chairil Anwar dalam puisinya ― “sekali berarti, sudah itu mati”.
Kalau boleh memilih, parlemen lebih senang. Sebab, sejujurnya parlemen tak menghendaki Megawati Soekarnoputri duduk di kursi RI-1 (jangan lupa itu). Namun, bagi pengikut setia “banteng mendengus”, inilah pesta kemenangan yang tertunda. Bagi mereka, Mama Mega mengemban mandat ilahiah, terlepas apakah orang lain senang atau tidak.
Begitulah. Pada awalnya, hubungan cinta rakyat dan Mama Mega, seperti hubungan cinta lain, melibatkan banyak khayalan dan harapan yang indah-indah. Satu-satunya mimpi buruk hanyalah Taufiq Kiemas (TK), suaminya, yang lasak dan calak. Sepak terjang TK yang suka foya-foya, mengundang semut-semut di tempat piknik. Kepemimpinan Mama Mega yang dimitoskan “diliputi roh kebesaran Bung Karno” menarik orang-orang baru ke lingkaran partai, seperti kalong-kalong menuju pohon mangga. Paralel dengan itu ― ironisnya ― orang-orang lama ke luar partai, menunggu kesempatan. Tapi di atas segalanya, sikap dia pasif ― tidak baik bagi seseorang yang menulis buku Bendera Sudah Saya Kibarkan!
Sejenak, di mata rakyat itu cuma faktor. Kini, para pejabat setiap hari gemetaran menyaksikan daftar kekayaannya dipampang di media massa. Wajah mereka senantiasa terancam (untunglah, jantung mereka tetap pada tempatnya). Meski begitu, suap dan korupsi tak berhenti. Mereka tetap membeli rumah di kawasan elit, punya mansion di luar negeri, mengawinkan anak dengan biaya miliaran rupiah, merayakan ulang tahun di hotel mentereng, menginvestasikan uang mereka melalui private banking dan sindikat-sindikat kriminal, serta terus bikin statement.
Sebagai reaksi terhadap aksi pejabat periode sebelumnya, mereka membalas dengan sama rakusnya. Jadi sulit memisahkan orang terhormat dari bejat, seperti susahnya memisahkan putih dari kuning telur yang sudah terkocok. Di mana-mana, penjualan saham ― baik perusahaan BUMN maupun swasta yang dikuasai BPPN ― selalu berakhir ribut. Ada orang di Senayan yang bicara nasionalisme ketika saham Indosat dijual ke negara tetangga. Tapi di Indonesia ada lebih banyak orang yang tidak meneteskan air mata untuk nasionalisme. Uang adalah segala-galanya. Bagi mereka, nasionalisme adalah kecongkakan dan prasangka, sesuatu ― seperti rasisme ― yang tak sanggup mereka tanggung.
Bagi Mama Mega sendiri, tumbuhnya politik multipartai di Jakarta belakangan ini mengharuskan dia menyuapi lebih banyak jenderal dan politisi. Bagi pemerintahan Mama Mega, gerakan antiKKN hanyalah penyakit kulit, sementara kaum jenderal dan politisi adalah penyakit jantung. Mereka termasuk warga negara paling rasional di saat mereka tenang. Tapi mereka benar-benar irasional dalam soal balas dendam.
Mama Mega samasekali tak merasa bersalah atas nasib ribuan TKI di kamp-kamp pengungsian di Nunukan, sekali pun pada saat hampir bersamaan Presiden Gloria Arroyo menjamah tenaga kerja Filipina yang mengenaskan di Bongao, Tawi-tawi. Bagi Mama Mega, itu “nasib buruk biasa” belaka. Kini, ribuan orang yang kehilangan pekerjaan ― menyusul merger antarperusahaan, hengkangnya perusahaan PMA, perusahaan yang dilikuidasi, atau gulung tikar dililit krisis ― bertambah banyak. Frustrasi mulai menghinggapi pikiran rakyat: jika saja Indonesia dilahirkan kembali dalam model Singapura, bagus; jika tidak, model pemerintahan Pak Harto pun tidak jelek. Orang-orang di lingkaran kekuasaan Mama Mega juga menikmati fantasi sebanyak orang lain, tapi mereka lebih suka bermimpi di ruang-ruang deposit bank.
Tidak ada yang salah atau dipersalahkan sebelum demo menentang kenaikan BBM dkk digelar. Yang ada sekarang, Mama Mega di atas kursi RI-1 mulai menghitung-hitung kembali sisa uang receh di sakunya. Di bagian belakang panggung, ada sekolompok orang berbulat niat untuk mengambil alih kekuasaan dengan bermodalkan kelicikan dan aroma uang. Dan, di lorong-lorong gelap penjuru kota dekat bangunan tua yang membisu, ada rakyat berdendang dangdut sambil berjoget, ”Cukup sekali aku merasa kegagalan cinta. Takkan terulang kedua kali di dalam hidupku. Oooh … ya nasib ya nasib, mengapa begini …”
Jakarta, 17 Januari 2003
<< Home