Pengkhianatan yang Manis
ILLUSTRATED BY THOMAS KNARVIK
PADA sebuah episode dalam sastra klasik Cina, tersebutlah si licik T’sao T’sao tengah mengepung sebuah kota. Seorang perwira logistik datang kepadanya untuk meminta petunjuk.
“Tuan T’sao yang agung, persediaan makanan kita tinggal sedikit. Apa yang harus kita lakukan?”
“Kurangi jatah ransum serdadu,” perintah T’sao T’sao.
“Mmm … mereka pasti tidak terima,” kata si perwira logistik mengingatkan.
“Kerjakan saja. Nanti aku yang membereskannya,” T’sao T’sao meyakinkan.
Perintah dijalankan sesuai petunjuk. Saat para serdadu mengeluh, T’sao T’sao memanggil sang perwira logistik. Kata T’sao T’sao, ”Aku sudah tahu apa yang terjadi. Sekarang aku ingin meminjam milikmu untuk menenangkan mereka. Kuharap kau tidak keberatan. Kehidupan keluargamu kujamin.”
Beberapa algojo segera menyeret keluar si perwira yang tak berdaya dan memenggalnya, desss! Kepalanya dipancang di sebuah tiang dan dipertontonkan kepada seluruh serdadu. Di tiang itu pula dipasang papan bertuliskan: Perwira logistik Wang Hou dihukum karena mencuri persediaan makanan dan mengurangi jatah ransum pasukan.
Anda boleh saja bilang (itu) masa lampau adalah buku pelajaran para penguasa yang zalim dan masa depan adalah kitab suci orang bebas. Tapi percayalah, di masa sekarang pengkhianatan semacam itu lebih merupakan kelaziman tinimbang kekecualian (sekurangnya di mata para korbannya). Seluruh cerita tentang pengkhianatan sesungguhnya bermula dari perseteruan lama antara uang dan kekuasaan, dan dari pengorbanan oleh rezim-rezim yang mengatasnamakan kearifan surgawi untuk menyembunyikan korupsi duniawi.
Di kantor-kantor, cerita tentang pengkhianatan atasan terhadap bawahan merupakan cerita jamak yang berlangsung pada jam-jam makan siang. Bawahan sering dikorbankan atas kekalahan suatu tender, atas hujaman complain dari klien, atas kinerja buruk suatu bagian, atas kegagalan target penjualan, atas kesalahan proyeksi keuangan, atas segalanya yang telah diperintahkan atau disetujui atasan sebelumnya, bahkan atas sesuatu yang tidak dimengerti. Kalau pengkhianatan dilakukan oleh bawahan terhadap atasan disebut makar atau kudeta, lalu disebut apakah pengkhianatan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan?
Pada level berbeda, pengkhianatan tidak menyebabkan banyak adrenalin mengaliri kebencian. Pengkhianatan jenis ini bisa terasa manis atau tidak seperti yang kita kira. Di sebuah negara kaya yang jadi miskin akibat salah urus seperti Indonesia, para penguasa biasa menista pengusaha lewat pernyataan yang menyudutkan di media massa. Kekayaan yang diperoleh susah-payah tetap menjadikan pengusaha incaran para menteri yang tamak, birokrat dan jenderal-jenderal maling. Para pengusaha ― karena alasan-alasan tertentu ― tidak membalas (kecuali mereka siap kehilangan kesempatan semacam release and discharge). Ini bukan soal politik. Apa bedanya dijarah oleh militer atau politisi? Setiap orang bicara tentang Indonesia sebagai satu bangsa, tanpa memahami maknanya. Satu-satunya kebangsaan adalah kepentingan kelompok. Satu-satunya paspor adalah uang.
Ada seorang sripanggung politik di Senayan yang tiba-tiba menyalib di tikungan, tempat dan saat ribuan massa berbaris menentang kebijakan pemerintah. Kata orang, ”Dia itu kan MPR, atasan pemerintah, pasti sudah tahu sebelum kebijakan pemerintah diputuskan. Kok, baru sekarang ikut berteriak?!” Seperti menonton pergelaran wayang kulit semalam suntuk, dia baru hadir hanya ketika babak goro-goro ― saat aksi kuartet punakawan: Semar, Gareng, Petruk, Bagong ― dimulai. Tapi bagi saya, dia setengah penonton, setengah pemain, setengah dalang, sehingga jenderal-jenderal pun deg-degan di hadapannya. Dia pandai melambungkan bola-bola ke udara, serta membiarkannya jatuh sendiri ke tanah. Dia gemar menyinggung sasaran, bukan menjangkaunya terlebih dahulu.
Pemerintah yang dipimpin oleh PDIP ― karena alasan-alasan tertentu pula ― tak membalas dengan cara yang sama. Mereka percaya, dalam politik juga berlaku Hukum Archimedes: jumlah desakan yang dilancarkan, senilai jumlah simpati yang akan didapat. Jadi, baik pihak penguasa maupun pihak oposan hanya saling mengepung dengan perasaan takut-takut seperti pegulat-pegulat pemula; masing-masing yakin bahwa pihak lain berencana menjatuhkannya. Bukankah ini pengkhianatan yang manis?
Jakarta, 24 Januari 2003
PADA sebuah episode dalam sastra klasik Cina, tersebutlah si licik T’sao T’sao tengah mengepung sebuah kota. Seorang perwira logistik datang kepadanya untuk meminta petunjuk.
“Tuan T’sao yang agung, persediaan makanan kita tinggal sedikit. Apa yang harus kita lakukan?”
“Kurangi jatah ransum serdadu,” perintah T’sao T’sao.
“Mmm … mereka pasti tidak terima,” kata si perwira logistik mengingatkan.
“Kerjakan saja. Nanti aku yang membereskannya,” T’sao T’sao meyakinkan.
Perintah dijalankan sesuai petunjuk. Saat para serdadu mengeluh, T’sao T’sao memanggil sang perwira logistik. Kata T’sao T’sao, ”Aku sudah tahu apa yang terjadi. Sekarang aku ingin meminjam milikmu untuk menenangkan mereka. Kuharap kau tidak keberatan. Kehidupan keluargamu kujamin.”
Beberapa algojo segera menyeret keluar si perwira yang tak berdaya dan memenggalnya, desss! Kepalanya dipancang di sebuah tiang dan dipertontonkan kepada seluruh serdadu. Di tiang itu pula dipasang papan bertuliskan: Perwira logistik Wang Hou dihukum karena mencuri persediaan makanan dan mengurangi jatah ransum pasukan.
Anda boleh saja bilang (itu) masa lampau adalah buku pelajaran para penguasa yang zalim dan masa depan adalah kitab suci orang bebas. Tapi percayalah, di masa sekarang pengkhianatan semacam itu lebih merupakan kelaziman tinimbang kekecualian (sekurangnya di mata para korbannya). Seluruh cerita tentang pengkhianatan sesungguhnya bermula dari perseteruan lama antara uang dan kekuasaan, dan dari pengorbanan oleh rezim-rezim yang mengatasnamakan kearifan surgawi untuk menyembunyikan korupsi duniawi.
Di kantor-kantor, cerita tentang pengkhianatan atasan terhadap bawahan merupakan cerita jamak yang berlangsung pada jam-jam makan siang. Bawahan sering dikorbankan atas kekalahan suatu tender, atas hujaman complain dari klien, atas kinerja buruk suatu bagian, atas kegagalan target penjualan, atas kesalahan proyeksi keuangan, atas segalanya yang telah diperintahkan atau disetujui atasan sebelumnya, bahkan atas sesuatu yang tidak dimengerti. Kalau pengkhianatan dilakukan oleh bawahan terhadap atasan disebut makar atau kudeta, lalu disebut apakah pengkhianatan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan?
Pada level berbeda, pengkhianatan tidak menyebabkan banyak adrenalin mengaliri kebencian. Pengkhianatan jenis ini bisa terasa manis atau tidak seperti yang kita kira. Di sebuah negara kaya yang jadi miskin akibat salah urus seperti Indonesia, para penguasa biasa menista pengusaha lewat pernyataan yang menyudutkan di media massa. Kekayaan yang diperoleh susah-payah tetap menjadikan pengusaha incaran para menteri yang tamak, birokrat dan jenderal-jenderal maling. Para pengusaha ― karena alasan-alasan tertentu ― tidak membalas (kecuali mereka siap kehilangan kesempatan semacam release and discharge). Ini bukan soal politik. Apa bedanya dijarah oleh militer atau politisi? Setiap orang bicara tentang Indonesia sebagai satu bangsa, tanpa memahami maknanya. Satu-satunya kebangsaan adalah kepentingan kelompok. Satu-satunya paspor adalah uang.
Ada seorang sripanggung politik di Senayan yang tiba-tiba menyalib di tikungan, tempat dan saat ribuan massa berbaris menentang kebijakan pemerintah. Kata orang, ”Dia itu kan MPR, atasan pemerintah, pasti sudah tahu sebelum kebijakan pemerintah diputuskan. Kok, baru sekarang ikut berteriak?!” Seperti menonton pergelaran wayang kulit semalam suntuk, dia baru hadir hanya ketika babak goro-goro ― saat aksi kuartet punakawan: Semar, Gareng, Petruk, Bagong ― dimulai. Tapi bagi saya, dia setengah penonton, setengah pemain, setengah dalang, sehingga jenderal-jenderal pun deg-degan di hadapannya. Dia pandai melambungkan bola-bola ke udara, serta membiarkannya jatuh sendiri ke tanah. Dia gemar menyinggung sasaran, bukan menjangkaunya terlebih dahulu.
Pemerintah yang dipimpin oleh PDIP ― karena alasan-alasan tertentu pula ― tak membalas dengan cara yang sama. Mereka percaya, dalam politik juga berlaku Hukum Archimedes: jumlah desakan yang dilancarkan, senilai jumlah simpati yang akan didapat. Jadi, baik pihak penguasa maupun pihak oposan hanya saling mengepung dengan perasaan takut-takut seperti pegulat-pegulat pemula; masing-masing yakin bahwa pihak lain berencana menjatuhkannya. Bukankah ini pengkhianatan yang manis?
Jakarta, 24 Januari 2003
<< Home