MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Sunday, February 19, 2006

Romantisme Vampir

ILLUSTRATED BY SHEILA GILL
LELAKI Indonesia terlanjur ditandai oleh lawan jenisnya sebagai makhluk yang tidak romantis. Mereka yang, merasa beruntung, pernah atau sedang menjalin asmara dengan lelaki bule biasanya merupakan kelompok pertama yang blak-blakan. “Lelaki Melayu payah. Kasar, nggak romantis, nggak peka, selfish ...” protes seseorang dari mereka.

Diam-diam, istriku masuk ke dalam kelompok kedua yang mendukung protes itu. Yang lebih keterlaluan, ia bahkan menjulukiku “papa gorila.”

Biar kuluruskan faktanya. Aku tidak semirip gorila yang pernah Anda temui. Ini tak berarti aku sejenis gorila Kongo yang ganas dan langka. Julukan provokatif itu lebih menekankan temperamen ketimbang spesimen gorila. Tak banyak cingcong, cool, tapi gampang meletup-letup kalau ketenangannya terusik. Satu-satunya kemiripan kami barangkali warna kulitku yang gelap. Itu pun tidak sehitam-pekat gorila. Kopi rasa moka barangkali lebih mendekati. Maksudku, ada manisnya gitu loh.

Bagi istriku, julukan “papa gorila” melebihi hiburan domestik. Ia menganggapnya katarsis setelah menelan kekesalan – ngeselin adalah kata favoritnya akhir-akhir ini – terhadap sikapku yang berubah. Menurut dia, aku memperlakukannya sebagai sekadar teman. Teman tidur. Bukan kekasih. Sikapku sekarang disamakannya dengan burung bul-bul, yang hanya berkicau beberapa bulan selama musim semi. Selebihnya, setelah menetaskan telur-telurnya, mereka akan bungkam. Nyaris tak peduli dan membiarkan pasangannya mengambil keputusan sendiri.

Itu salah. Salah besar. Aku mencintainya, tapi tidak seperti cara ia mencintaiku. Ia membutuhkan banyak cinta. Ia menginginkannya 24 jam sehari. Ia telah membutakan dirinya dengan terlalu berharap pada romantisme perkawinan.

Di masa pacaran hingga tahun pertama perkawinan kami atau sebelum melahirkan, ia mengenang aku seorang lelaki yang penuh perhatian, lembut, dan bisa mengatakan hal yang paling pahit dengan cara yang paling manis. Aku tak pernah mengeluh apalagi mengkritik masakannya, meski steak buatannya sealot sendal jepit. “Lumayan,” komentarku saat ia bertanya, “dagingnya benar-benar terasa.” Dengan begitu, lain hari ia akan memasak lagi dan berusaha agar steak-nya selezat Sizzler. Aku juga tak merengut apalagi bersungut-sungut sewaktu berjam-jam mengantarkannya shopping, menggandengnya ke luar masuk toko di Pasar Baru yang sumpek, hanya untuk menyelamatkan beberapa ribu perak. Kalau ia bertanya, “Capek?”, dengan senyum pengertian aku menjawab, “Nggak terlalu.”

Setelah menikah pun, konon (aku sendiri lupa), aku masih suka membuat kejutan-kejutan kecil. Di hari ulang tahun, aku memberinya bunga mawar sebanyak umurnya saat itu. Buket yang diantar kurir ke kantornya, itu disertai ucapan: cinta adalah apa yang dimiliki oleh bunga mawar dan tidak dimiliki bunga apa pun. Di hari lain, pada jam kerja di akhir pekan aku menelepon, melancarkan rayuan maut untuk meruntuhkan benteng terakhir pertahanan dirinya. Pura-puranya jadi pasangan gelap yang mabuk kepayang, kami bertemu di sebuah hotel di Jakarta untuk memadu hasrat.

Aku tersipu bercampur malu saat menemukan (kelihatannya, istriku yang membiarkan aku menemukannya) kartu-kartu ucapan dan surat-surat lama yang dikumpulkannya di laci lemari. Aku membatin, bagaimana si gorila bisa mengarang kata-kata cinta? Kuat, indah, sekaligus konyol (ia menyebutnya romantis). Kini, untuk mengatakannya saja aku harus diminta terlebih dahulu.

“Cintakah kau padaku?” godanya belum lama ini.

“Pasti,” sahutku mantap, kembali menutup wajah dengan suratkabar.

“Katakan.”

Kucondongkan kepala ke arahnya, “Di sini?”

Ia mengangguk, menanti.

“Di restoran bakmi A Boen yang pengap dan berminyak babi ini?” kataku, melirik kiri-kanan,” oh, romantis sekali.” Aku tertawa mengejek.

Ngeselin. Terakhir kita dinner di TGIF yang nyaman, kau malah sibuk dengan iga panggang.”

“Begitu, ya?”

“Kau hanya beraksi di ruang yang sepi ... dan gelap.”

Kerongkonganku mendadak tercekat. Sepi dan gelap. Itukah persepsiku tentang romantisme selama ini? Romantisme kedengarannya seperti vampir, yang takut pada ramai dan terang. Sekiranya memang demikian, aku tak takut pada vampir. Dengan cara yang tak kumengerti, keberanianku muncul.

“Kau yakin aku takkan berani di sini?” Kuraih telapak tangannya, berulang-ulang mengusapnya lembut.

“Tadinya iya. Sekarang kau malah membuatku takut.”

Aku tertawa. “Pssstt ..” ia tersenyum simpul.

“Kau masih ingat pertanyaanku pertama tadi?” tanyanya.

Aku menerawang, “Ingat. Dan aku menjawab, ‘Pasti.’”

“Seberapa banyak?”

“Sebanyak yang kau rasakan,” sahutku, asal-asalan.

“Berarti sedikit. Huh, ngeselin.”

Socrates, saat ditanya manakah yang lebih baik: menikah atau tidak, menjawab, “Apa pun yang kau pilih, kau akan menyesalinya.” Jadi kupikir, masih untung ia bilang ngeselin, bukan menyesali perkawinan. Seburuk-buruknya perubahan yang ada, ia – baiklah, aku juga – masih mengerang mesra di tempat tidur sambil mendesis, “Mon Dieu.”*
Cimanggis, 20 Februari 2006
*bahasa Prancis: Ya Tuhan.