MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Friday, November 25, 2005

Wartawan Berotak Kiri [3]

ILLUSTRATED BY RUBEN
KARENA bahasa jurnalistik muncul di media dalam dandanan, maka ia tak luput dari kemungkinan salah persepsi. Bahkan, pada dosis maksimal pun, ini tak terhindarkan – hanya mungkin dikurangi ke tingkat minimal – karena menyangkut dua standar yang saling bertentangan antara pers dan publik. Standar pers berasal dari tradisi, pengetahuan, dan kecakapan mereka. Mereka berusaha mengungkapkan apa yang terjadi. Penekanan penilaian pers terhadap penerimaan publik lebih pada terpeliharanya kredibilitas mereka, ketimbang pada kepekaan publik atas pengaruh liputan.

Sedangkan standar publik, lebih menekankan pengaruh kuat atas liputan. Publik berharap, pers seharusnya menenggang perasaan pembaca, terutama dalam suatu kelompok kecil masyarakat di mana pers diharapkan menjadi pendukung masyarakat. Para anggota publik ingin tahu apa yang terjadi, tapi konteks informasi yang mereka inginkan merupakan suatu jalinan interaksi komunitas, interaksi yang lebih kuat ketimbang interaksi mereka dengan pers. Dalam suatu komunitas tempat mereka berada, mereka berharap pers seharusnya mendukung komunitas, sama seperti para pimpinan komunitas mendukungnya.

Standar pers versus standar publik menguatkan hipotesis, bahwa kualitas komunikasi bukanlah terletak pada apa yang ingin disampaikan oleh penyampai pesan, tapi apa yang dimengerti oleh penerima pesan. Kita akan lihat contoh kasus.

Majalah Tempo edisi 1 - 7 Maret 2004 menerima surat keluhan dari seorang pembaca setianya. Ratih Wulandari, si penulis surat, merasa terganggu oleh jokes pada liputan tentang demam berdarah. Di rubrik kesehatan, Tempo antara lain menulis: “Sepuluh gigitan nyamuk kebun pun tak akan berbahaya, kecuali Anda menyopir mobil di jalan tol.”

Ratih berkomentar: “Saya terenyak. Aduh, kenapa hal serius ini dijadikan bahan bercandaan? Hal yang dibicarakan ini menyangkut nyawa manusia!”

Dia melanjutkan: “Kenapa TEMPO dengan santai menjadikannya olok-olokan begitu? Saya tahu majalah ini memang punya kebiasaan menggunakan jokes yang sedikit ‘nakal’ dalam tulisan-tulisannya, tapi menurut saya jokes di tulisan tersebut tidak pada tempatnya.”

Serba salah. Mungkin Jeng Ratih sedikit terhibur, jika tahu betapa sulitnya Bill Clinton memilih kata-kata yang tepat. Wartawan dan kolumnis hebat pun harus dikerahkan. Ini amat sangat penting mengingat Clinton seorang presiden, yang harus memberikan kesaksian perihal sejauh mana hubungannya dengan Monica Lewinsky.

Majalah Newsweek Asia terbitan 17 Agustus 1998 melaporkan, kalimat pengakuan yang diusulkan kepada Clinton terdiri dari tiga kategori. Yaitu “berterus terang” (core confession), “bermanis-manis” (fudge phrase), dan “berkepribadian”(clever touch). Bahasa di sini tidak bermaksud mengubah soal jelek menjadi baik, melainkan sekadar membantu publik, agar kalau pun harus membeberkan skandal seks seseorang yang memalukan, dapat dilakukan dengan kepala tegak. Kata-kata lunak sekali-kali tak dimaksudkan untuk mengaburkan dan memelintir fakta. Yang terpenting bukan apa yang hendak dikatakan, melainkan bagaimana mengatakannya.

Taruhlah benar Clinton berselingkuh dengan Nona Lewinsky. Semestinya bisa saja dia berterus terang: “Saya menjalin hubungan pribadi termasuk seks,” sebagaimana usul Fred Branfman, seorang wartawan. Dick Morris, mantan penasihat Clinton, menyarankan kalimat manis: “Apa yang telah saya lakukan semata-mata urusan pribadi, bukan politik.” Ariana Huffington, seorang kolumnis, menekankan kesan berkepribadian dan terhormat. Dia mengusulkan kalimat: “Demi kepentingan keluarga, saya tak bersedia bertutur dengan rinci.”

Tak seorang pun mengusulkan agar sebaiknya Clinton berkata: “Ya, saya memang tidur dengannya.” Atau: “Ya, saya bersetubuh dengannya.”

Singkatnya, berbahasa menuntut tata krama dan kesantunan. Bukan cuma benar atau salah, tapi pantas atau tidak pantas. Kebenaran, apa boleh buat, terkadang mesti didandani tanpa kehilangan konteks dan substansinya.

Lewat siaran televisi, Clinton akhirnya memilih kata-kata “hubungan yang tidak "pantas” (relationship … that was not appropriate). Clinton juga menuturkan penyesalannya (I deeply regret that).

Bagaimana reaksi warga AS? Berdasarkan jajak suara, sebagian dari mereka tetap kurang puas dan berpendapat, seharusnya Presiden Clinton juga “minta maaf”. Sebab, nuansa antara regret dan sorry berbeda. Kata “menyesal” bersifat eksklusif terhadap diri sendiri. Sementara kata apologia “maaf”, selain mengandung makna semantis (makna batin) menyesal, sekaligus pula menyiratkan perasaan minta dikasihani, berkesan simpatik.

Praktik berbahasa jurnalistik dengan demikian menuntut diksi yang tepat. Redaktur tak selalu menggubahnya menjadi tampak “feminin”. Terkadang bahasa jurnalistik harus berdandan dengan pilihan kata yang “maskulin” agar lebih bertenaga. Perhatikan:

Sederet gelar yang diselempangkan ke pundaknya – dari Putra Sang Fajar, Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Amirul Amri, sampai Panglima Tertinggi – sudah lebih dari cukup untuk memperlihatkan kebesaran Bung Karno. Tapi, keasyikan berlayar mengikuti angin “revolusi belum selesai” dengan perahu Nasakom, membuat Soekarno lupa daratan. Inflasi ratusan persen, beras sulit, kelaparan meruyak, demonstrasi merebak, membangunkan Soekarno perlahan dari mimpi-mimpinya. Sampai di sini kita tidak tahu pasti, kecuali bahwa kita menduga G30S/PKI merupakan salah satu bangsat terbesar dalam sejarah Indonesia.[2]

Pengajaran tentang diksi tidak mudah. Ini menyangkut karakter, kepekaan, nilai-nilai yang dianut, dan kebijakan redaksional media. Seorang redaktur mengira kalimat berikut sudah tepat diksinya:

Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) membuktikan, pasangan SBY-Kalla lebih populer ketimbang Mega-Hasyim.

Namun, seorang redaktur lain dapat menganggapnya kurang tepat, karena kata membuktikan di situ terasa “kasar”. Maka, dia mengganti kata membuktikan dengan menemukan.

Seringkali, para wartawan berusaha menghindari pengulangan kata yang sama dalam tulisannya. Mereka mengira kata, ujar, ucap, tutur, cetus, ungkap, papar, jelas, terang, sergah, tukas, tandas, dan aku adalah kata-kata yang bersinonim. Padahal, frasa tersebut tidak dapat dipertukarkan satu sama lain begitu saja. Akan bertele-tele jika dijelaskan di sini, tapi saya ambil satu contoh saja:

“Saya tidak bisa menerima perlakuan seperti itu,” aku Sarah Azhari.

Diksi aku di atas keliru, karena seolah-olah Sarah Azhari telah membantah pernyataan sebelumnya, sehingga kini dia mengaku. Padahal, si wartawan hanya enggan menulis kata atau ujar. Hanya saja si wartawan tidak tahu bahwa to say (berkata) berbeda dari to admit (mengaku).

Salah kaprah terjadi pula pada penyebutan status pekerjaan sumber berita. Saya mafhum penyebutan status seperti rohaniawan, wartawan, kamerawan, sejarahwan, ilmuwan, dan sastrawan. Tapi, saya bingung untuk memahami status, misalnya, budayawan. Makhluk apa ini? Apakah wartawan sendiri bingung untuk menjelaskan status orang-orang seperti Goenawan Mohamad, Emha Ainun Najib, Mudji Soetrisno, Eros Djarot?

Encik Mahatir boleh surprise baca suratkabar di negeri jiran. Oleh kerena, di Indonesie so many many pakar. Encik punya dictionary di KL, pakar means cerdik pandai and writing a lot of books.

Nah, jangan biarkan si encik sakit perutnya menahan geli. Sebaiknya, tulislah status orang-orang seperti Roy Suryo, Andi Alfian Mallarangeng, Riswandha Imawan sebagai analis. Roy Suryo, analis multimedia. Riswanda Imawan, analis politik.

Kata pengamat lain lagi. Istilah ini sebetulnya muncul selama Perang Dingin, 1951 - 1989, antara dua kekuatan adidaya, AS dan Uni Soviet. Ketegangan yang menyelimuti kedua belah pihak, membuat media massa di sana was-was untuk terjun ke lapangan. Maka, diambillah orang-orang tertentu yang dapat mengisahkan pergolakan politik di Uni Soviet. Juga Cina. Mereka disebut watcher.

Menjelang diruntuhkannya gerbang Brandenburg – pintu utama Tembok Berlin, di Berlin – pada 22 Desember 1989, istilah tersebut tak lagi digunakan. Jadi?

Jadi, sebelum Kamerad Gorbachev (soalnya Mr. Reagan sudah meninggal) mengira kita sedang mengalami perang dingin, tidak glasnost dan perestroika, gantilah istilah pengamat yang menyesatkan itu. Jangan tanggung-tanggung menggantinya dengan pemerhati atau pencermat (apa pula ini?). Saran saya, tulislah analis.

Bahasa Indonesia mengenal kata perkosa. Seolah belum cukup, wartawan menggantinya dengan kata gagah, garap, gilir, dan antre. Hebatnya, kata-kata ini laksana mantra sihir. Kelenjar adrenalin pembaca (terutama lelaki) akan mengalir cepat kalau membaca berita:

1. Setelah berkenalan, Har menggagahi Mawar saat itu juga.
2. Di dalam gudang tebu itulah Cipluk digarap.
3. Seorang SPG ditemukan pingsan di terminal setelah digilir empat lelaki.
4. Pulang kuliah, seorang mahasiswi diantre lima pemuda berandalan.

Apa salah si mahasiswi di mata wartawan sampai dia diantre? Barangkali wartawan merasa tulisannya takkan menarik jika menulis:

Pulang kuliah, seorang mahasiswi diperkosa lima pemuda berandalan.

Tidak perlu ikut gerakan kaum feminis untuk memahami perasaan perempuan. Wartawan perlu memiliki empati, bahwa perempuan teraniaya bukan cuma oleh perbuatan nyata, melainkan juga oleh kata-kata. Pada konteks tertentu, kata-kata seperti digagahi, digarap, digilir, dan diantre sudah bisa dianggap melecehkan perempuan. Karena ia sengaja dipakai untuk mengeksploitasi peristiwa pemerkosaan supaya lebih dapat “dinikmati” oleh pembaca.

[2] Dikutip dari Kursi RI-1 di Panggung Srimulat oleh A. Bakti Tejamulya (Majalah Forum Keadilan, 2002).

9 Previous Page ; Next Page :