MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Wednesday, February 08, 2006

Hantu Kebebasan Pers (Sebenarnya)

ILUUSTRATED BY JOHN KEANE
PERAYAAN Hari Pers Nasional biasanya tak luput dari pernyataan mengasihani diri sendiri. Hampir pasti, menjelang dan beberapa hari setelah 9 Februari petinggi organisasi kewartawanan merasa perlu menyerukan uneg-uneg, bahwa pers masih terancam kebebasannya. Di Indonesia, ancaman itu kebanyakan datang dari pengusaha dan politisi. Mereka dianggap hantu kebebasan pers, karena setiap saat bisa menggugat pers ke meja hijau. Tak pelak, dalam pandangan stereotip para wartawan, mereka merupakan demagog ambisius yang tak punya perasaan dan menggambarkannya demikian.

Dari dulu hingga sekarang, pers mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang tertindas, terutama saat mereka tengah menghadapi teguran, somasi apalagi gugatan. Sebaliknya pengusaha dan politisi dipersepsikan sebagai pihak yang menindas. Seringkali bahkan ia memeras rasa belas kasihan publik atas nasib yang menimpa pers. Di mata pers, masa depan demokrasi bergantung pada kapasitas imajinasi publik memahami kebebasan pers.

Selalu Ada Udang di Balik Batu
Harian The Jakarta Post merupakan satu dari sedikit media massa di Indonesia yang sudi memuat otokritik pers. Awal Juli 2004, ketika musim gugatan terhadap sebagian institusi pers sedang bersemi, ia menurunkan opini Ong Hock Chuan bertitel Threats Against the Press: Media Own Enemy. Ong mengingatkan, “It is not the courts nor the businessman nor the politicians that the media needs to fear in regards its freedom. It is media itself that is its greatest enemy.”

Tujuh puluh tahun silam, wartawan sekaligus kritikus pers George Seldes, dalam bukunya Freedom of the Press, lebih eksplisit menulis, “Bukan pemerintah, pengiklanlah penguasa utama yang menekan kebebasan pers.” Tekanan tersebut biasanya tidak langsung. Pers sendiri yang “menyesuaikan diri” tanpa disuruh, pada keinginan pengiklan.

Enam puluh lima tahun kemudian, pengiklan masih menghantui kebebasan pers. Sebuah survei yang dilakukan terhadap 55 anggota Perkumpulan Redaktur dan Penulis Bisnis Amerika (Society of American Business Editors and Writers/ABEW) tahun 1992 mengungkapkan, tekanan pengiklan semacam itu sudah jamak. Delapan puluh persen menilai tekanan dipicu oleh perkembangan masalah; 45 persen mengakui pemberitaan mereka merupakan hasil kompromi dengan pengiklan.

Survei majalah Advertising Age (1993) menemukan, tekanan kepada pers sering muncul dari dealer mobil. Dealer ingin liputan lengkap yang bisa mendongkrak penjualan dan keluhan atas kesulitan ekonomi tidak ditulis. Toko-toko grosir dan pengacara yang mengiklankan diri lewat teve, termasuk di dalamnya.

Tekanan pengiklan terhadap media siar lebih mencemaskan. Tahun 1996 di Los Angeles, wartawan kawakan KCBS-TV David Horowitz menjadi tumbal, ketika pengiklan mengadukan berkali-kali ke redaksi tentang laporan yang menyoal keselamatan sebuah merk mobil. Horowitz dipecat. Tapi manajemen KCBS-TV berkilah, ”Kami prihatin pada kasus ini bukan karena benar atau salah, tapi karena ini harga dari kontrak iklan.”

Sebagaimana ditulis kolumnis Chicago Sun-Times Robert Feder, Chicago’s WLS-TV juga menyunting bagian naskah berita yang melaporkan risiko bahaya kendaraan Ford. Alasannya, tak ingin melukai hati dealer yang beriklan di stasiun teve tersebut.

Kemesraan pengiklan dan pers terus berlangsung di harian berpengaruh di AS, New York Times. Per 29 April 2003 pada rubrik Metro, di halaman depan harian ini memuat 1.300 kata, dua foto besar, yang isinya memaparkan riwayat pertumbuhan bisnis kopi di Manhattan. Dimunculkan pula anekdot, betapa warga New York sangat menyukai (kopi) Starbucks. Dalam isi cerita, pembaca diyakinkan bahwa Starbucks merupakan bagian dari gaya hidup New York. Nukilannya, ”Kopi menjadi teman Anda menjalankan pekerjaan di rumah, menulis skenario, melakukan rapat bisnis, sosialisasi setelah bekerja atau membaca suratkabar.” Beberapa pekan kemudian harian ini menurunkan feature perayaan Starbucks pada halaman depan. Selain berupa pemuatan kampanye nasional Starbucks, Times juga terikat kontrak promosi penjualan produk kopi di jaringan pertokoan milik harian itu.

Meski orang Eropa jengah melihat budaya ini, Starbucks tetap menuai sukses baru. Di lain pihak, Times juga merasa tak terusik oleh kontrak promosi semacam itu. Pada edisi 9 Juli 2003, seolah tak peduli pada kenyataan sejumlah merk kondang di Jepang, Times menulis, ”Di Jepang, Starbucks adalah merk yang digemari.”

Anda yang intens mengikuti program “60 Minutes II” lewat tevekabel, pasti mengenal Charlie Rose. Selain koresponden CBS, ia juga pembawa acara talkshow di PBS. Empat tahun yang lalu, ia juga memperoleh “job” baru. Rose memperoleh perlakuan istimewa dari pada pertemuan para pemegang saham Coca Cola (MCing) di Madison Square Garden, New York. Padahal, kebijakan CBS selama ini melarang koresponden beritanya terlibat dalam promosi suatu produk komersial. Tapi seorang pejabat resmi jaringan, sebagaimana dikutip oleh Washington Post (23 April 2002) bilang, “Coca Cola merasa oke-oke saja tuh bekerja sama dengan Rose pada pertemuan itu.”

Rose juga menganggap tak ada persoalan etis dalam kasus ini, sebab ia hanya dibayar “sedikit” atas penampilannya di sana. Di pihak lain – seperti dilaporkan oleh Post – bagi Coca Cola jumlah yang menurut Rose “sedikit”, setidaknya berjumlah “enam atau tujuh bilangan dalam dolar”. Ini juga tidak jadi masalah bagi Rose yang bilang kepada Post, ”Saya tak pernah melakukan wawancara dengan seseorang yang mensponsori ’60 Minutes II’ di PBS.”

Bagaimana halnya di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada bagusnya organisasi kewartawanan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melakukan riset lapangan. Siapa tahu hasilnya memperlihatkan pers Indonesia tak seburuk di AS (bisa lebih buruk).

Hantu Sebenarnya
Reformasi yang mendorong liberalisasi pers melimpahkan politik kekuasaan sepenuhnya kepada pengiklan, pemilik perusahaan media, dan segerombolan orang berpengaruh. Merekalah hantu-hantu kebebasan pers sebenarnya. Jadi, jika pemberitaan media dianggap memengaruhi publik, maka hantu-hantu inilah sebetulnya yang memengaruhi media. Para pimpinan redaksi dapat saja mengklaim bahwa kehadiran hantu-hantu ini takkan berpengaruh pada kebijakan redaksional, namun skeptisisme publik tak dapat diabaikan begitu saja.

Ledakan media massa yang memanaskan persaingan antarmedia, di satu sisi dapat mengendurkan self control terhadap bingkai-bingkai kepatutan. Pada saat bersamaan, media dapat menjadi sangat toleran terhadap kesalahan tampak sumber berita yang kebetulan seorang teman. Situasi ini mendorong pengelola media massa mengonsolidasi kekuatannya demi kepentingan pragmatis. Alhasil, ruang redaksi kini bukanlah sebuah tempat untuk berbicara tentang jurnalisme, melainkan presentasi bisnis soal untung rugi.

Sebagian besar jurnalisme bukanlah jasa yang harus dibeli (The Elements of Journalism, 2001). Orang yang bekerja di pemberitaan tak menjajakan produk yang berisi kepentingan pelanggan. Mereka membangun hubungan dengan khalayaknya berdasarkan nilai-nilai yang dianut, kewenangan, keberanian, profesionalisme, dan komitmen kepada komunitas. Dengan ketersediaan ini media menciptakan ikatan dengan publik, yang selanjutnya disewakan kepada para pemasang iklan. Jadi, dari pengiklan, pemilik perusahaan media, tim sukses, pejabat humas hingga segerombolan orang berpengaruh, harus menyadari bahwa publik tetaplah raja yang harus diutamakan kepentingannya.

Cimanggis, 7 Februari 2006