MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Thursday, February 02, 2006

Berhenti Meneliti sebagai Obyek

ILLUSTRATED BY CLAIRE CART
IA seorang model yang menakjubkan bagi anak-anak perempuan. Ia melakukan segala yang mereka impikan dan inginkan. Ia punya koleksi baju bagus dan seorang teman lelaki klimis. Ukuran tubuhnya (lingkar dada-pinggang-pinggul), bukan main, 39-18-33.

Sungguh sukar dibantah, model idaman bernama Barbie tersebut hanyalah boneka. Kata “hanyalah” mungkin berkesan skeptis, untuk sosok paling populer selama empat dekade. Melebihi popularitas Marilyn Monroe, seorang manusia. Selama itu pula, Barbie telah mengalami metamorfosis dari career girl Barbie, mementaskan Barbie-Q dan doctor Barbie, hingga astronout Barbie. Sun jewel Barbie, model berkalung permata dan berbikini model fuschia tergolong Barbie yang paling laris. Ia juga tepat secara politis sebagai gadis berambut pirang, dengan model Jamaican Barbie, Hispanic Barbie, dan Chinese Barbie yang mengisi kesenjangan budaya. Semuanya demi mempertahankan citra Barbie sebagai gadis yang selalu ceria.

Barbie membingkai impian setiap perempuan. Punya karir, punya baju bagus, dan punya - meski kurang jantan -pasangan bernama Ken. Toh, dalam perjalanannya Barbie menciptakan musuh sendiri. Sewaktu memasuki Inggris pada 1970-an, Sindy (tentu saja boneka), 36-22-36, telah merajai pasar sejak mengenakan busana lengkap tahun 1962. Sejak 1965, ia juga punya pasangan bernama Paul (samalah dengan Ken, kurang jantan) yang digemari oleh gadis-gadis setempat.

“Sindy benar-benar gadis Inggris,” ujar Sara Howard, seorang agen penjual. Menurutnya, pakaianlah yang membedakan antara Barbie dan Sindy. Seluruh pakaian malam dan resmi Barbie - outerwear fashions - sangat persis dengan Ivana Trump, seorang janda menawan dari raja properti AS, Donald J. Trump.

Jauh sebelum Barbie lahir, pakaian sendiri sudah merupakan medium nilai yang dianut pada masa-masa tertentu. Setidaknya, ada 10 era penting yang merepresentasikan medium nilai tersebut. Yaitu era directoire and empire (1795–1815), era romantik (1815–1840), era awal Victorian (1840–1870), era akhir Victorian ( 1870–1890), era art nouveau (1890–1911), era awal art deco (1911–1929), era akhir art deco (1930–1946), era akhir perang: the new look (1946–1955), era akhir perang: St Laurent (1955–1963), serta era anak muda dan perubahan (1963–1973).

Dilatarbelakangi oleh revolusi Prancis dan Amerika, busana perempuan pada era directoire and empire mengadopsi gaya Yunani klasik dan Romawi. Selain panjang, busana dikenakan tanpa korset, sempit, dan berpinggang tinggi (high-twisted) di bawah payudara. Warnanya pun dominan putih dan berbahan katun lembut.
Setelah tahun 1815 (romantik), mulai muncul pernak-pernik yang dekoratif. Busana terbagi menjadi dua, blus dan rok. Rok di sini berlapis-lapis (menghindarkan dari hawa dingin), mengenakan korset, dan pinggang kembali pada posisinya. Pada periode ini, kaum perempuan dicitrakan sebagai penjaga moral keluarga/masyarakat dan pendidik anak-anak.

Mode busana era selanjutnya (awal Victorian), dipengaruhi oleh Ratu Victoria dari Kerajaan Inggris yang naik nakhta pada 1837–1901. Selama kepemimpinannya, Victoria dicitrakan sebagai ibu dari sembilan anak yang bisa menyeimbangkan antara urusan keluarga dan kerajaan. Gaya busananya - rok berlapis-lapis dengan petticoats (suatu perangkat yang membuat rok mengembang permanen) - memengaruhi kaum perempuan.
Kendati begitu, mode busana ini menimbulkan protes sebagian perempuan lain. Menurut mereka, busana Victoria terasa membelenggu saat beraktivitas. Sebagai gantinya, diadopsi kostum perempuan Turki yang tanpa petticoats. Busana alternatif ini disebut bloomers, sebagai pengingat atas orang yang pertama kali memopulerkannya, Amelia Jenks Bloomer. Jika pada era romantik, topi berukuran besar, pada 1860 topi pelengkap busana mengecil.

Setelah suaminya meninggal dunia pada 1861, Victoria berkesan mengasingkan diri. Kesedihan yang mendalam diperlihatkannya dengan menggunakan busana berwarna hitam. Hitam pun menjadi warna populer pada masa akhir Victorian (1870–1890). Bentuk busana juga mengalami perubahan cukup drastis. Aksentuasi ketat pada bagian depan gaun, berpindah ke bagian belakang yang penuh rumbai. Era ini ditandai dengan makin banyaknya perempuan yang bekerja di luar rumah, munculnya gerakan pembelaan hak-hak perempuan (feminis), dan kesadaran atas emansipasi.

Periode art nouveau, dalam beberapa hal mengulang tampilan pada era awal romantik. Semisal, adanya mode leg-o-mutton (seperti berkaki domba), kerah tegak, dan bahu tinggi. Seiring dengan penemuan sepeda, celana olahraga perempuan dan pakaian santai lain (casual) mulai diperkenalkan di depan publik.

Tahun-tahun eksperimentasi berlangsung pada era awal art deco (1911–1929). Berlatar belakang Perang Dunia I, banyak perempuan kehilangan suami. Dalam pada itu, pertumbuhan populasi kaum terdidik memicu apresiasi terhadap fashion. Berlangsung sejak 1911–1919, mode busana bergerak lebih santai, agak ketat, dan panjang rok mulai naik ke mata kaki. Nama-nama perancang seperti Poiret dan Chanel juga mulai dikenal sebagai trendsetters.

Masa resesi ekonomi AS tahun 1930-an (akhir art deco), perempuan dicitrakan sebagai figur kehidupan tradisional. Gelombang pengangguran menempatkan perempuan sebagai tulang punggung keluarga, hingga menjelang Perang Dunia II pada 1941. Uniknya, fashion dipengaruhi oleh fantasi-fantasi Hollywood yang mengaksentuasikan erotisme tubuh perempuan. Seperti bahu dan punggung terbuka (U can see), serta rok sebatas lutut. Bahan busana yang digunakan pun dipilih kain krep lembut, sifon, dan satin. Pada era ini aktris Merlene Dietrich dan Katherine Hepburn dikenal sebagai perempuan pertama yang “berani” mengenakan pantalon (trousers) di depan publik.

Sesudah masa perang berakhir, kaum lelaki mulai bebas memilih karier (era akhir perang: the new look). Sementara, kaum perempuan merasa tenang menjadi ibu rumah tangga. Dengan latar belakang ini, mode busana perempuan didominasi oleh gaya feminin. Seorang perancang Prancis, Christion Dior, memperkenalkan apa yang disebutnya the new look tahun 1946. Yaitu, busana dengan keliman panjang, bahu sempit, ketat di tubuh, dan rok bulat (bukan V).

Ketika meninggal pada 1955, Dior mewarisi asistennya segudang ide. Asisten berumur 21 tahun itu, namanya Yves St. Laurent (era akhir perang: St. Laurent). Laurent menghasilkan banyak inovasi rancangan busana perempuan yang mengesankan kemewahan. Secara umum, rok yang diciptakannya lebih bulat (tubular). Pesohor seperti Audrey Hepburn dan Jacqueline Kennedy merupakan idealisasi fashionable woman. Pada masa ini, perancang Givenchy, Claire McCardell dan Bonnie Cashin juga turut berpengaruh.

Era 1963–1973, isu sentral dunia diwarnai oleh gerakan penegakan hak-hak sipil dan perempuan, serta Perang Vietnam. Tatanan sosial dan politik bergolak. Pasca Perang Dunia II menghasilkan apa yang dikenal sebagai baby boomers, atau “generasi sekolahan”. Mereka dicirikan sebagai pribadi muda yang eksperimentatif, revolusioner, dan inovatif. Fashion pada era ini merefleksikan semangat tersebut. Yang mencolok, misalnya, muncul rok mini. Untuk pertama kali, fashion tak lagi didikte oleh perancang, tapi justru lahir dari jalanan.

Demikianlah, pakaian tidak sebatas fungsinya, menutupi bagian tubuh. Ia tidak sekadar seperangkat obyek materi untuk membikin pemakainya merasa hangat, melainkan pula sebagai kode simbolik yang digunakan pemakainya untuk mengomunikasikan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial. Pakaian tidak saja menunjukkan perbedaan gender, kelas, tetapi sifat berbeda yang dianggap ada di antara mereka. Pakaian mengomunikasikan apa yang dianggap “kehalusan” perempuan dan “keperkasaan” lelaki; apa yang dianggap “kesopanan” kelas atas dan “kekerasan” kelas bawah.

Sistem pakaian seperti itu, secara antropologis memang menjelaskan adanya nuansa hubungan khusus antara individu dan benda milik. Keterkaitan pakaian dan pemakainya, kini bukan lagi hubungan bersifat instrumental atau fungsional. Hubungan tersebut memungkinkan pemakai menegaskan pretensi sosial mereka.
Penjelasan analitis tentang hubungan tadi, dijelaskan oleh Marshall Sahlins (1976). Bahwa masyarakat modern telah mengganti obyek-obyek alamiah dengan obyek-obyek buatan pabrik. Obyek buatan pabrik berperan sebagai totem dunia modern. Kelompok konsumen bagai suku-suku dalam masyarakat tradisional. Merujuk risalah Claude Lévis-Strauss (1964), totemisme ialah asosiasi simbolik dari tanaman, hewan atau obyek-obyek lain (alamiah) atas individu/sekelompok orang untuk menandakan karakteristik masyarakat tradisional.

Pencitraan terhadap pakaian, secara efektif dimediasi oleh majalah kaum perempuan. Majalah tersebut - berisi seputar fashion, kosmetika, tips, masakan, rumah selebritas - kelihatannya saja ingin menampilkan komoditas. Tetapi sesungguhnya sedang berusaha menjual citra dan sebuah dunia. Kaum perempuan yang dulu dikenal berpenampilan sebagai istri dan ibu, kini bergeser menuju individu feminin yang glamor dan sensual. Mereka perempuan baru yang (dipaksa) ideal. Mandiri tapi feminin. Berkarir tapi a nice housewife. Gemuk tapi fashionable. Jelek tapi sensual.

Jika dulu, rata-rata kecantikan dianggap sebagai anugerah alami, kini nyaris tidak lagi. Kaum perempuan sekarang percaya pada konsep baru. Bahwa kecantikan sebagai elemen feminitas, dapat dimiliki oleh setiap perempuan melalui penggunaan produk, mode pakaian atau terapi kecantikan yang tepat. Di lain sisi, konsep ini juga memunculkan kecemasan-kecemasan elementer. Bahwa bila perempuan tidak memenuhi standar tertentu, maka mereka takkan dicintai. Entah oleh pasangan, atau pun oleh lingkungannya. Pandangan kaum perempuan terhadap feminitas semacam itu, oleh Janice Winship (1987), disebut masquerade alias penyamaran. Yaitu transformasi diri yang menjelmakan tiga sosok sekaligus: “sebagai konsumen bagi diri sendiri”, “sebagai hak milik”, dan “sebagai komoditas”.

Hal ini mudah dipahami melalui psikoanalisis ala Freud. Bahwa dibanding lelaki, perempuan mempunyai gejala narsisisme. Yakni kecenderungan mengagumi tubuh sendiri, menampilkannya di depan orang lain, sehingga orang lain dapat menikmati pula kekaguman itu. Sejak kecil, perempuan terlatih untuk meneliti diri sendiri. Inilah preseden historis yang mesti ditanggung sepanjang hayatnya. Mereka melihat diri sendiri sebagai obyek. Di kala lelaki melihat perempuan, perempuan melihat dirinya sendiri yang sedang dilihat lelaki.

Sementara itu, makna kecantikan pernah mengalami retrospeksi kritis. Sebagai contoh, diperkenalkan istilah inner beauty. Sahibul hikayat, terdiri dari unsur brain (kecerdasan), behaviour (perilaku), dan beauty (cantik). Semula, 3-B tadi diduga sebagai wujud resistensi gerakan feminis yang sudah bosan dieksploitasi aspek fisik keperempuanannya.

Namun dalam perkembangannya, proses inner beauty tak semulus seperti tuntutan kaum feminis terhadap emansipasi. Karena “musuh bersama” yang dihadapinya kali ini justru datang dari diri mereka sendiri. Masyarakat kelihatannya dipaksa menerima realitas: seorang lelaki boleh jelek, asal pintar. Tapi, seorang perempuan harus cantik (atau seksi) dan kalau bisa (entah bagaimana caranya) pintar.

Lebih dari sekadar pencerahan, kaum perempuan sekarang perlu melakukan cut off terhadap mitos kecantikan. Kalau perempuan masih berpikir bahwa lelaki lebih tertarik pada paras yang cantik, ia bisa lupa mengembangkan sisi-sisi lain yang lebih penting. I harus berhenti dari kegiatan meneliti diri sendiri sebagai obyek. Lagipula, tak seorang pun perempuan baik-baik yang ingin dicintai hanya karena secara erotis hanya karena penampilannya. Kalau begitu, ia akan selalu mudah dilukai oleh perempuan lain yang lebih cantik, yang tertangkap mata kekasihnya.Berdandan tentu sah-sah saja. Piranti make up dan fashion harus dipahami sebagai pelengkap, bukan mengubah bentuk tubuh. Ia berfungsi menonjolkan kelebihan elemen tubuh dan menutupi kekurangan untuk sementara. Pendek kata, jika perempuan ibarat lukisan, fashion adalah bingkainya.


Cimanggis, 1 Februari 2006
Related article(s) :