MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Tuesday, December 20, 2005

Natal Bersama Lutheran

ILLUSTRATED BY HYMNSAND
PENDETA itu masih berdiri tegak seperti menara Babel. Ini menit ke 55 sejak ia mengucap, “Shalom.” Sesekali merentangkan sebelah lengannya dengan gerakan anggun, tak peduli bahwa dengan begitu ia memperjelas baju batiknya berwarna kuning keemasan yang kusut. Ia sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan terbaik yang dimilikinya. Atau begitulah yang ia harapkan.

Kalau dipikir-pikir, jemaat zaman sekarang sudah keterlaluan. Terlalu banyak menuntut. Menguasai isi Alkitab di luar kepala, lalu menghubungkan konteksnya dengan tanda-tanda zaman, belumlah cukup. Seorang pendeta juga dituntut bisa menyenangkan jemaatnya dengan jokes segar yang dapat membekukan neraka. Ia juga mesti bisa bernyanyi merdu yang dapat membangunkan penghuni surga. Bisa menyembuhkan penyakit mematikan, itu bonus yang tiada tara. Tak ada pendeta yang menyerah pada kekurangan talenta yang akan menentukan prospek reputasinya, biar pun terkadang di luar tanggung jawab yang sanggup ia emban. Lebih baik menyerah pada tuntutan para domba, daripada domba-domba yang sama akan menyelinap keluar satu persatu untuk menemukan gembala lain. Hanya Tuhan yang tahu, betapa sengitnya pergulatan masing-masing pendeta sekarang menggembala domba-domba agar tetap tenang di kandangnya di saat rumput tetangga tampak hijau.

Anak-anak yang berseliweran, cekikikan, memekik, melengking, tak sanggup mengusik dedikasinya, seorang pendeta mana pun yang pernah Anda kenal. Mikrofon yang dicengkeramnya, membuat ia cukup percaya diri untuk tidak menyerah pada keadaan. Ia telah mengalami keadaan yang lebih buruk - bahkan terburuk sepanjang kariernya - daripada malam ini dan, seperti biasa, berhasil mengatasinya.

Domba-domba yang digembalakannya bersila di lantai beralaskan karpet dan lampit, menatap pendeta dengan mimik respek yang dapat diusahakan. Karena ini menit ke 55, mustahil seseorang bertahan dalam posisi yang sama terus-menerus. Saya dapat mengerti alasan orang berlatih yoga.

Keresahan mulai merayap. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal ialah bahwa perut kami keroncongan. Tapi, sebagian alam sadar seluruh orang di ruangan ini pasti segera mengenyahkan godaan yang memalukan itu. Manusia tak hanya hidup dari roti, bukan? Begitulah Kitab Suci bilang.

Meskipun begitu, berapa lama lagi si pendeta akan mengakhiri khotbahnya?

“Amen, Saudara?”
“Ameeen ...” Jemaat menyahut. Sayang, tidak serempak. Tidak apa-apa. Itu sudah cukup untuk membuat pendeta antusias melanjutkan khotbahnya.

Duduk di sini, tak berarti pikiran berada di sini (Descartes benar). “Pak Antonius, kita ini malu pada umat Islam. Meskipun ada yang NU dan Muhammadiyah, tapi mereka bisa mengadakan perayaan Lebaran bersama.” Seorang lelaki berumur datang ke rumah saya sepuluh hari yang lalu.

“Saya bahkan sering diundang menghadiri halal bihalal di kompleks ini.” Hampir saja saya mengatakan, kenapa mesti malu?

“Itu dia.” Matanya berbinar-binar. “Makanya, Natal tahun ini kita coba merangkul. Kristen dan Katolik merayakan Natal bersama. Sekalian untuk mempererat tali persaudaraan di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus.”

“Kalau begitu, yang Islam kita undang saja sekalian.” Saya tidak melucu, serius juga tidak. Inilah akibatnya kalau mulut lebih cepat ketimbang otak. Ia menatap saya sejenak. Ya Tuhan, matanya seolah mengisyaratkan ... ya sudah, mungkin benar saya payah.

Tamu saya tersenyum semisterius Mona Lisa. Sambil mencondongkan kepalanya ke depan, “Janganlah. Ada miss piggy di jamuan makan.”

Perhelatan Natal digelar di sebuah rumah seorang warga budiman di kompleks permukiman kami tinggal di wilayah Cimanggis, Depok. Rumahnya berlainan blok – sekitar 200 meter – dari rumah saya. Sebelum ini, saya belum mengenalnya. Tapi, jenis mobil yang diparkir di garasi dan rumah yang memancarkan kemakmuran, sekurangnya bisa menjadi awal perkenalan tentang status ekonomi pemiliknya. Memang tidak sopan menyinggung masalah penghasilan, tapi apa salahnya berhitung?

“Pasti di sana Kristen semua,” cetus istri sesaat sebelum saya bertekad pergi. Ia dan anak-anak enggan ikut. Ya sudah, karena saya tak terlalu berharap dan tak pernah untuk alasan yang bisa saya terima. Mungkin ia akan meneruskan kalimatnya, kau akan menyesal.

‘Tenang. Mereka tidak menggigit.” Dalam hati saya bersungut-sungut. Bukannya antipluralisme, meski ia menganggap dirinya pengikut Katolik Roma dari ujung rambut ke ujung kaki. Beberapa kali kok ia ikut perayaan Natal bersama di kantornya yang mengundang pendeta. Jadi, selain enggan, ia hanya menggoda saya agar mempertimbangkan kembali tekad saya. Baginya, tekad saya terasa ironi. Dari sekian banyak pertemuan antarwarga Katolik di lingkungan kami, kehadiran suaminya bisa dihitung dalam hitungan jari. Saya tak bisa diharapkan hadir pada – apa itu namanya? – oh ya, pendalaman iman.

Rumah tampak depan Asep J. Satyana, pemiliknya, berarsitektur Mediteranian atau seperti itu. Tiba-tiba Cimanggis rasanya terlalu dekat dengan Yerikho, kota yang didatangi Yesus setelah menyembuhkan seorang pengemis buta. Perawakan Asep yang bertubuh gempal mungkin mirip Zakheus yang digambarkan di Injil, seorang kaya di kota itu. Istrinya seorang perempuan berambut panjang dengan bibir penuh, ibu tiga anak, berkulit segar, lebih tinggi beberapa centimeter dari Zakheus, maaf, Asep. Garis rambut Asep mundur, bukan pertanda ia sudah tua. Tak ada lipatan di kulitnya yang tampak. Saya tak tahu pekerjaannya (yang sanggup menciptakan kemakmuran seperti ini), tapi rasanya bukan kepala pemungut cukai seperti Zakheus.

Setiap sisi dari seluruh dinding dalam rumah yang memanjang, ini dicat dengan warna berbeda. Ada biru langit cerah, hijau apel, ungu anggur muda, kuning markisa, juga warna pink flamingo. Ruangan tempat kami berkumpul merupakan voiding yang menghubungkan lantai satu dan dua, serta ruang tamu dan bagian belakang rumah. Saya menduga ini ruangan keluarga, karena banyak bingkai foto dan lukisan amatir bergambar sosok penghuninya terpampang di tembok; satu set home theatre; dan piranti play station. Keluarga ini agaknya kurang menyukai buku. Pendeta, pusat perhatian kami sementara ini, berdiri membelakangi wastafel dan kamar mandi. Di samping kiri punggung pendeta, ada organ yang dihubungkan ke penguat suara dan seorang pemainnya, lelaki gendut yang duduk dengan tatapan burung hantu. Ia memunggungi pohon Natal setinggi dua meter yang berkelap-kelip lampunya membentuk bayangan birai tangga di dinding.

Dengan gerakan yang tersamar, saya menyapu pandangan sejauh kepala dapat menoleh. Berpura-pura memuntir pinggang, saya menoleh ke belakang, ke kiri, ke kanan. Hasilnya tidak mengejutkan, tapi pasti membuat istri saya akan terbahak-bahak jika mengetahuinya. Cukup banyak orang di ruangan ini membawa Alkitab. Bukan saya berspekulasi bahwa yang tidak membawa Kitab Suci adalah Katolik, kendati itu sudah jadi desas-desus umum. Bisa saja mereka, katakanlah lupa, ketimbang saya yang memang tak pernah membawanya jauh sebelum dibaptis.

Temuan tersebut hanya menguatkan insting, jangan-jangan saya satu-satunya seekor anak domba asing di tengah keluarga besar domba berbulu putih. Ia tak peduli pada perbedaan apa pun sampai ia menyadari perasaan asingnya berasal dari bulunya sendiri yang berwarna abu-abu. Tak satu pun lagu yang dinyanyikan malam ini bisa saya ikuti. Sebaliknya, mereka bersemangat menyanyikannya serentak sampai kaca jendela bergetar. Tenang. Mereka tidak menggigit.

“Amen, Saudara?”

“Ameeen ...” Hadirin menggumam bak suara ratusan lebah. Dan, sebelum gelisah seperti pendosa berat yang berada di dalam gereja, saya berusaha menikmatinya sepanjang sisa malam yang ada. Amen.

“Ingat Saudara, perpuluhan tertulis di dalam Alkitab.” Kata ingat dan Alkitab memaksa saya mengembalikan telinga ke tempatnya.

Ia mengisahkan (kelihatannya ini jokes), ada seorang lelaki yang punya Rp 2.500. Dari rumah, lelaki itu mengeluarkan Rp 1.000 untuk ongkos angkot menuju gereja. Sisanya, Rp 1.000 – yang akan digunakannya sebagai ongkos pulang – dimasukkan ke dalam saku kanan dan Rp 500 ke saku kiri. Mendengar khotbah pendeta di gereja yang bersemangat dan penuh urapan, hatinya begitu riang. Keyakinannya bertambah, sekeras tabut yang dibawa turun Musa dari Gunung Sinai. Sebagai gantinya, kewaspadaan lelaki itu berkurang. Ketika sesi persembahan tiba, tangannya merogoh saku kanan, lantas memasukkan isinya ke dalam wadah kolekte. Seketika itu juga telapak kirinya menepuk saku kiri celananya, gerak refleks berdendang mengikuti ritme musik. Mendadak darahnya terasa mengalir deras seperti air sungai yang menggeleguk di dasar batu, muncul lagi sebelum menjadi air terjun. Terlambat.

Seusai prosesi peribadatan, lelaki itu bergeming di tempatnya. Ia menunggu orang-orang yang berhamburan keluar, sampai seseorang yang menurutnya dapat menolong dirinya, selesai bersalam-salaman.

“Bapak Pendeta, saya ...” Lelaki itu menyeringai lebar. “Saya tidak bisa pulang.”

Hadirin tergelak. Sang pendeta, si pencerita itu, terkekeh menampakkan sebagian geraham kanan atasnya yang ompong.

Entah berapa orang di ruangan ini yang menganggap kisah itu tak sekadar jokes, intermezzo, atau omong kosong. Bagi saya, kisah tadi tersirat pesan: berhati-hatilah, jangan pelit kau pada gerejamu. Sekurangnya, pada saat kolekte malam ini, berilah yang pantas atau ... Mana saya tahu?

Pendeta itu mengakhiri khotbahnya, persis ketika kami di ruangan ini belum sempat membayangkan mikrofon yang dipegangnya sebagai paha ayam goreng tepung. Hadirin beranjak berdiri. Pendeta meminta kami menengadahkan kedua telapak tangan di depan dada sebelum memimpin ritual rutin: banyak memohon, sedikit menyenangkan ego Tuhan. Pembawa acara menggaruk-garuk ketiaknya sebelum mengambil alih mikrofon. Ia mengenakan pantalon hitam dan kemeja lengan panjang berwarna gading dengan dasi yang terlalu lebar untuk ukuran tubuhnya. Tak apa-apa. Ia sangat terlatih dan tampak menyukai pekerjaan sampingannya ini; pantas mendapat kesempatan dua kali.

Ia mempersilakan seorang wanita muda maju mendekati organ. Pendeta di seluruh dunia berutang budi pada seorang pastur Jerman yang melawan hegemoni Vatikan di abad XVI. Berkat kegigihan dan pengaruhnya, malam ini pendeta bersuka cita merelakan istrinya, yang seanggun Katherine von Bora, bernyanyi. Berterima kasihlah kepada Martin Luther.

Kini, tibalah saatnya hadirin menerima ganjaran setimpal atas perbuatan mereka malam ini. Pertama-tama, mereka digiring oleh ketua panitia dengan menempatkan pendeta di depan iring-iringan, menuju belakang rumah. Bagian ini ternyata ruang terbuka, seluas 15 m x 20 m, lebih luas ketimbang ruang sebelumnya. Di tengahnya terdapat sebuah gazebo, lengkap dengan air mancur yang gemericik. Rumput dan aneka tanaman ditata rapi bagai gadis muda pada kencan pertamanya. Di sisi kiri, terdapat atap memanjang ke belakang – lebarnya sekitar 5 m –tanpa dinding. Berlantaikan keramik putih, koridor di bawah atap tersebut ditempati seperangkat lengkap alat band berikut audio system-nya yang terawat. Paling belakang terdapat sebuah ruang kerja berjendela kaca panjang yang dilengkapi pendingin ruangan. Demi Tuhan, keluarga ini pasti banyak melewatkan waktunya di sini.

Seluruh hidangan utama, camilan, hingga pencuci mulut diletakkan di atas beberapa meja di koridor itu. Semua ini sudah lebih dari cukup untuk menjadi bahan bersendawa bersama, kalau mau. Memang tidak sopan, tapi apa salahnya bersenang-senang sedikit? Menunya cukup beragam: ayam goreng, sup asparagus, lalapan plus sambal, ikan cakalang rica-rica, semur daging sapi, dan miss piggy alias BK (babi kecap). Jumlahnya tak sepadan; 2-3 kali lebih banyak ketimbang 30-40 orang yang hadir. Gerimis turun sejak sore; jadi cuaca bisa disalahkan agar tuan rumah tak terlalu berkecil hati. Memang tidak. Asep si tuan rumah justru pandai membesarkan hati tamu-tamunya. Duduk di belakang beduk band, bersama tetangga dekatnya yang siap dengan instrumen masing-masing, ia langsung beraksi. Tenang. Mereka tidak menggigit.

Cimanggis, 17 Desember 2005
Related article(s) :