MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Saturday, December 31, 2005

Memiliki adalah Menjadi

ILLUSTRATED BY SIMEON LIEBMAN
BENARKAH memiliki (sesuatu) berarti menjadi? Lupakanlah, bila Anda pikir saya hendak bersilat filsafat. Fenomena orang marah ber-handphone mengendapkan pertanyaan eksistensial: bagaimana orang-orang itu berkomunikasi sebelum punya telepon angin? Begitu punya, jadinya kok mereka kelihatan suka bicara dan merasa penting untuk melakukannya. Mereka bercakap melalui ponsel di atas eskalator, sambil antre karcis bioskop, mencari tempat parkir, menunggu bus, turun dari bajaj, memilih durian, membayar belanjaan di kasir, dan di mana-mana.

To have is to be mengandung nuansa hubungan khusus antara individu dan benda milik. Keterkaitan ponsel dengan penggunanya, sesungguhnya tak sekadar hubungan bersifat instrumental atau fungsional. Hubungan tersebut memungkinkan pengguna menegaskan pretensi sosial mereka.

Para produsen hafal betul kredo ini: kegunaan benda-benda selalu dibingkai oleh konteks budaya. Benda-benda dalam kehidupan sehari-hari mengandung makna kultural. Benda-benda bukan hanya digunakan untuk melakukan sesuatu, namun juga bertindak sebagai tanda-tanda makna dalam hubungan sosial.

Lihatlah, bagaimana produsen ponsel kelas dunia bertarung. Antara Amerika dan Eropa. Belakangan, baru sesama Asia (Jepang dan Korea). Nokia mewakili kubu Eropa yang mulai memasukkan unsur keindahan, desain, dan fashion setelah Amerika yang lebih mendahului lima tahun. Bahkan ia membagi produk sesuai sasaran penggunanya.

Untuk remaja tersedia seri 3 dan 5. Buat pecinta keindahan ada seri 8. Lalu bagi pekerja, menanti seri 6, 7, dan 9. Nokia praktis tak meninggalkan bentuk kubus, tapi diberi varian yang centil. Misalnya, cover yang bisa diganti warnanya, seperti pada seri 3210 dan 5110.

Estetikasi tadi mengisyaratkan, benda-benda sebetulnya memiliki kehidupan sosial. Lebih jauh – rujukan atas desain, kandungan teknologi, dan pemanfaatannya – menandakan seolah-olah sebagai karya seni. Antropolog Arjun Appadurai (1986) malang bilang begini: walau dari sudut teoritis manusia sebagai pelaku yang memaknai benda-benda, namun dari sedut metodologis pergerakan bendalah yang menghiasi konteks sosial dan kemanusiaan mereka.

Penjelasan analitis dapat ditelusuri melalui studi antropologis yang dilakukan oleh Marshall Sahlins (1976). Ia berpendirian, masyarakat modern telah mengganti obyek-obyek alamiah dengan obyek-obyek buatan pabrik. Pbyek buatan pabrik berperan sebagai totem baru dunia modern.

Sementara kelompok konsumen bagai suku-suku dalam masyarakat tradisional. Bandingkan dengan, misalnya, konsep totemisme Claude Lévi-Strauss (1964). Strauss mendefinisikan totemisme ialah asosiasi simbolik dari tanaman, hewan atau obyek-obyek lain (alamiah) atas individu atau sekelompok orang yang menandakan karakteristik masyarakat tradisional.

Sistem pakai kita merupakan contohnya. Ia tidak sekadar seperangkat obyek materi untuk membikin pemakainya merasa hangat, melainkan pula sebagai kode simbolik yang digunakan pemakainya untuk mengomunikasikan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial.

Melalui pendekatan serupa, kita pun dapat memahami munculnya klub-klub otomotif. Dari skuter, VW, moge (motor gede) sampai mobil tua. Para ­hog – sebutan bagi pemilik dan pengendara mode Harley Davidson – meyakini aura kebebasan tatkala berada di atas sadel, melintas jalan raya di akhir pekan. Simaklah, bagaimana mereka bergaya laksana koboi kota. Bersepatu but kulit, berkacamata rayban, berkaos tangan, berjam tangan bak meteran air, dan tubuh dibalut jaket denim penuh ornamen tanpa lengan. Serba (berlabel) Harley. Sepeda motor tak cuma dihargai sebatas kemampuannya memindahkan seseorang (medium transportasi), tapi sebagai totem maskulinitas yang merupakan bagian dari kode simbolik.

Menurut literatur tentang kehidupan hog di AS tahun 1982, disebutkan adanya semacam kode etik. Hubungan individual sesama hog lewat penggunaan moge menunjukkan hirarki dalam suatu klub. Hog yang setara teknis tahu seluk-beluk mesin, dikategorikan sebagai pengendara hati-hati. Ia, apa boleh buat, masuk di posisi bawah dalam hirarki internal klub. Hog yang berani mengambil risiko bahaya dan mempertaruhkan hidup, diposisikan pada hirarki atas tanpa mempertimbangkan keahlian mekaniknya. Jika ada hog yang tewas kecelakaan, ia dikubur penuh duka cita dan diberi gelar pahlawan.

Kegunaan benda-benda konsumsi posisional yang telah dimaknai oleh komunitas tertentu, seringkali dikaitkan dengan kehadiran sebuah kelompok sosial baru. Oleh Thorstein Veblen (1925), disebut kelompok senggang (leisure class). Kelas ini dicirikan ingin memamerkan statusnya kepada publik melalui penggunaan spektakuler benda-benda konsumtif selama masa senggangnya.

Mereka adalah kelompok yang cenderung meniru, latah tanpa wawasan memadai. Meski begitu, praktik-praktik konsuksi bukan hanya distimulasi oleh hasrat demi status. Rangsangan untuk ikut-ikutan bukan satu-satunya monster deman konsumen, tapi dipengaruhi pula oleh hedonisme, eskapisme, fantasi, hasrat akan sesuatu yang baru dan nilai identitas.

Legitimasi atas nilai identitas ini kian kukuh tatkala praktik-praktik seperti pengoleksian merebak. Bukankah atas nama seni semua benda bisa dikoleksi? Dari sejumlah obyek primitif, eksotik sampai arkais dapat dipandang sebagai seni. Berdasar pemahaman akumulasi kepemilikan, memiliki nilai identitas itu merupakan sejenis kekayaan tersendiri.

Singkatnya, memiliki adalah menjadi. Kebanyak orang memang mengilustrasikan benda-benda miliknya sebagai citra diri. Kehilangan benda milik dirasa sebagai siksaan pribadi yang berkomplikasi pada penurunan nilai identitas.

Sekali pun status ekonomi ditandai oleh kepemilikan benda, hal ini tidak otomatis indikator pemanfaatan benda-benda budaya. Sebagian masyarakat yang mengandalkan status sosial (minus ekonomi), justru sering menjadi indikator pembawa budaya; tidak selalu bertalian dengan kemakmuran ekonomi. Oleh sebab itu, jangan heran, di saat resesi ekonomi seperti sekarang, banyak orang melakukan praktik konsumsi otonom di luar rasionalitasnya.

Cimanggis, 30 Desember 2005