MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Friday, March 03, 2006

Kebun Binatang Jakarta

ILLUSTRATED BY PATRICK MCCARTHY
TANPA Kebun Binatang Ragunan, Jakarta sendiri sebetulnya bisa disebut kebun binatang. Mungkin itu berlebihan. Di kebun binatang, seluruh penghuninya – dari yang berkaki dua hingga berkaki empat, dari yang melata hingga berdiri tegak, dari yang tak bisa bicara hingga yang fasih berbahasa – hidup berdampingan dalam sebuah harmoni. Jakarta? Dua hari silam seorang tukang parkir ditemukan tewas di tepi Sungai Ciliwung, kemarin seorang anak berusia empat tahun tewas di tangan ayah tirinya, hari ini puluhan pengunjuk mengerang di unit gawat darurat RS Cipto Mangunkusumo. Entah besok.

Terjebak dalam kemacetan lalu lintas – apalagi di musim hujan seperti sekarang – soal biasa bagi warga Jakarta. Malah sepertinya sudah menjadi bagian hidup. “Bukan Jakarta namanya kalau nggak macet,” begitu katanya.

Toh, eskalasi kemacetan yang terjadi hari ke hari merisaukan juga. Terutama di jalan-jalan yang biasanya lancar, mendadak macet total. Kalau sudah begitu, hanya tiga kemungkinan: ada demonstrasi, kerusuhan, atau tawuran.

Aparat kepolisian segera menutup jalan, bila iring-iringan konvoi pengunjuk rasa membludak, sebelum diarahkan ke jalan alternatif. Selama macet, jangan heran jika ada pengemudi mobil (diikuti oleh lainnya) tiba-tiba memutar arah kendaraannya, melawan arus lalu lintas.

Kerusuhan bisa dilecut oleh amuk sekelompok orang yang merasa terancam hak hidupnya. Ambil contoh, ketika para pedagang cakram (VCD/DVD) di Glodok dirazia oleh petugas pada Mei 2000. Keesokan harinya mereka mengamuk. Arus lalu lintas sepanjang Hayam Wuruk dan Gajah Mada pun lumpuh.

Tawuran antarwarga, tak kalah gentingnya. Sedikit saja percikan perselisihan di wilayah Matraman dan Bukitduri (Manggarai), memicu warga turun ke jalan. Jika kerusuhan atau tawuran terjadi, berharaplah kendaraan yang Anda tumpangi selamat.

Tak peduli, apakah Anda kerabat pejabat (rumah Gubernur DKI Sutiyoso saja pernah digranat) atau petugas keamanan. Jika amarah massa sudah di ubun-ubun, apa yang mereka lihat langsung dibakar. Apa itu restoran, kantor, rumah, mobil, sepeda motor, bahkan orang (!) yang dianggap pesakitan.

Kerisauan warga Jakarta pernah memuncak, tatkala awal 2001 dikabarkan akan ada “perang besar” antara pro dan antiGus Dur. Merasa wilayahnya akan dijadikan ajang adu nyali, warga meresponsnya dengan propaganda. Hampir di setiap persimpangan jalan, terpajang spanduk tanpa pajak. Dari yang simpatik, sampai bernada menganca: “Warga DKI Cinta Damai”, “Damai itu Indah”, atau “Énté Jual, Ané Beli”. Tak kurang dari beberapa perhimpunan warga asli Betawi mengadakan pawai perdamaian di sepanjang jalan protokol.

Itu di jalan. Di gedung-gedung perkantoran, menanti kecemasan lain. Sepanjang tahun 1998-2000 tak kurang dari 200 ancaman pengeboman datang melalui kabel telepon. Semula, tim penjinak sibuk dan para karyawan kalut. Belakangan, seiring sebagian besar ancaman hanya isapan jempol, mereka menanggapinya dingin. Mereka berseloroh, kalau bisa setiap hari diancam bom supaya dengan begitu kantor diliburkan.

Isu kerusuhan sudah menjadi bahan perbincangan umum bagi warga Jakarta. Warga telah terlatih saling menelepon teman atau kerabat. Saling mengecek kebenaran isu atau situasi yang terjadi. Mereka memantau perkembangan situasi lalu lintas, baik lewat radio maupun internet.

Tak cukup puas dengan cara itu, banyak warga saat ini menggunakan radio komunikasi genggam (handy talkie). Lewat HT inilah, mereka tak cuma bisa memantau, tapi juga berkomunikasi satu sama lain membahas situasi mutakhir dan lengkap di Jakarta.

Sebuah perusahaan radio panggil atau seranta (pager), bahkan secara khusus menyiarkan perkembangan situasi Jakarta. “Terjadi bentrokan mahasiswa dengan aparat di sekitar gedung MPR/DPR,” “Terjadi perkelahian antarpelajar di Blok M,” “Ratusan demonstran Forkot dihadang petugas di Jalan Cikini.” Berkat pesan-pesan yang kini muncul di layar seranta, pelanggan bisa mengantisipasinya.

Pengalaman warga Jakarta atas kerusuhan Mei 1998, mengasah sense of security mereka. Pengalaman itu mengajarkan, keamanan tak bisa lagi mengandalkan kemampuan negara. Karena dari waktu ke waktu, lembaga negara pun tak mampu membendung kerusuhan politik di tingkat elit. Kalau begitu, Jakarta memang masih memerlukan Kebun Binatang Ragunan. Setidaknya, kepada siapa pemimpin dan rakyat negeri ini dapat bercermin.

Cimanggis, 27 Februari 2006