MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Sunday, April 02, 2006

Kado Cinta

ILLUSTRATED BY HENRYK FANTAZOS
TIBALAH waktunya aku mengisahkan urusan tersulit dalam perkawinan: memilih kado untuk seseorang yang disebut istri. Ini adalah wilayah di mana banyak lelaki – lebih-lebih yang budget oriented seperti diriku – tak punya ide. Untuk alasan berbeda, para lelaki ini tak menyukai Hari Valentin; namun tak punya alasan cukup untuk tidak merayakan – betapa pun sederhananya – hari ulang tahun perkawinan mereka.

Kado apa yang tepat diberikan suami kepada istrinya di hari jadi perkawinan mereka? Baiklah, berlian. Untuk memastikannya, kulirik jari tangan istriku. Tak ada yang berkilauan di sana. Berlian mungkin abadi, tapi cincin emas polosnya tidak terlalu buruk.

Liburan di kapal pesiar, berdansa di atas dek di bawah bintang-bintang? Hmm ... boleh juga. Tapi sayang, istriku tak bisa berdansa dan aku mabuk laut.

Aku memikirkan hotel yang punya kolam jacuzzi di dalam kamar, bunga dan buah segar, sampanye dingin yang meletup saat tutup botolnya dibuka. Ups, aku lupa tidak suka sampanye.

Bagaimana dengan makan malam di restoran Chinese food, yang berada di lantai puncak sebuah gedung dengan panorama kota Jakarta? Ah, istriku yang memang Chinese, jago menumis.

Di sebuah mal ternama di Jakarta Selatan, aku sedang mempertimbangkan parfum. Lupakan merknya. Kata-kata di labelnya begitu seksi: l’essence de nooquie eau de parfum de cologne de toilette de belle; begitulah kira-kira. Namun aromanya, tak lebih baik daripada seiris buah apel.

Setan-setan jahat kartu kredit berkeliaran di dalam kepalaku. Tidak! Lelaki harus menghadiahi istrinya sesuatu yang mencerminkan tanda cinta, komitmen, dan gairahnya! Aturan pertama ialah bahwa hadiah itu harus sesuatu yang berguna dan disukai perempuan. Ralat. Yang benar, hadiah itu sesuatu yang disukai perempuan meskipun tidak berguna. Perhiasan – emas atau batu permata – merupakan kado terbaik, karena benda itu sama sekali tak berguna.

Di gerai busana mutakhir karya perancang nasional, aku membayangkan istriku mengenakan gaun sutra tanpa lengan berwarna hitam. Bagian depan gaunnya menyilang di dada, diikat di pinggangnya yang cukup ramping. Rok yang bermodel lilit menggantung beberapa sentimeter di atas lutut. Mengingat cuaca malam bisa berubah dingin – karena aku merencanakan makan malam di Pantai Anyer – ia menyampirkan pashmina berwarna abu-abu keperakan.

Akan semakin sempurna bila ia melengkapi busana seksinya dengan apa yang dianjurkan oleh banyak majalah wanita sebagai sesuatu yang pasti akan membuat lelaki tergila-gila: sepatu hitam bertumit tinggi. Semua ini bagian dari skenario terbaik untuk merayakan sebelas tahun perkawinan kami. Aku akan menjadi pemeran utama sekaligus sutradara pertunjukan khusus orang dewasa.

Aku tergiur pada gerai pakaian dalam dan lingerie. Semakin banyak renda Victoria dan satin atau sutra tipis yang kulihat, semakin aku yakin bahwa perempuan yang ber-lingerie akan lebih banyak dicintai daripada perempuan dengan pakaian dalam flanel. Istriku jelas masuk grup flanel di malam hari dan rombongan daster di siang hari.

Maka, menyeberanglah aku ke gerai pakaian dalam, bergabung dengan beberapa lelaki yang mengamat-amati semua yang dipajang, berusaha keras membayangkan ukuran kekasihnya. Seorang lelaki separo baya kelihatan tertarik pada celana dalam model “glasnost & perestroika.” Mungkin ia sedang menduga-duga, mengapa di bagian yang seharusnya tertutup itu justru belubang? Aku baru akan menjelaskan ketika seorang pramuniaga mendekat, “Bisa saya bantu?” Ia tampak judes. Rias wajahnya mulai luntur.

Bersama tiga lelaki lain, aku tersipu malu, seakan tertangkap basah saat menyelinap di asrama putri dari balik tabir malam.

“Aku benci harus ke sini,” omel seseorang, persis di sebelah kananku. Mempertimbangkan botaknya, ia pasti beberapa tahun lebih tua daripada aku.

“Hadiah buat istri?” tanya pramuniaga.

“Ya,” sahut kami serempak. Kami beradu pandang. Si pramuniaga tersenyum.

“Ada ide, nggak?” lelaki itu bertanya.

“Mungkin sesuatu yang seksi,” jawabku elegan.

“Ya, tentu saja. Itulah alasan saya ke sini.”

“Apa warna kesukaannya?”

Mm ... merah.”

“Merah?”

Ia menggeleng, “Saya nggak yakin.”

Ia mendesakku ke pinggir. Dengan senyum dipaksakan, ia berujar, “You pasti kira baju dalam ini, apa pun warnanya, kurang pantas untuk perempuan yang menyimpan segulung lemak di perutnya.”

Aku mengangguk netral.

You betul. Tapi, apa salahnya kalau ini bisa membuat mereka merasa seksi?”

“Jadi?”

“Jadi, kalau boleh saran, jangan pikirkan soal ukuran atau warna. Mereka akan kembali ke sini untuk menukarnya besok pagi.”

Kami tertawa serempak, mengusik kewibawaan pramuniaga. “Ada yang bisa dibantu, Pak?”

Cimanggis, 23 Maret 2006