MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Saturday, March 11, 2006

Jalu

ILLUSTRATED BY SANDY BYERS
TIGA bulan sejak kepergiannya, Jalu pulang ke rumah. Semula aku ragu ia adalah Jalu, anggota keluarga yang pernah menjadi bagian dari keriangan dan kasih sayang kami. Ciri-cirinya sudah sulit dikenali. Di tempat yang seharusnya tumbuh bulu, tersisa carut-carut luka bakar dan kulit kemerahan yang lengket. Daun telinganya rusak. Ekornya buntung. Apa pun yang menjadi ciri utama seekor kucing nyaris hilang, kecuali eongannya yang memilukan.

Aku berdebat terlebih dahulu dengan istriku, melawan pendiriannya. “Terserah! Jalu atau bukan, aku tak mau ikut campur,” aku mengancam, meninggalkan istri dan anak-anakku di garasi bersama pasiennya.

Ini bukan pertama kali kami bertengkar soal hewan yang terluka atau kelaparan yang, entah kenapa, selalu datang ke rumah memohon welas asih. Dan setiap kali pula aku menyerah pada kelembutan istriku, sebelum memilih untuk menyayangi hewan-hewan itu.

Sikap tak mudah menyayangi hewan, kurasa, terkait dengan pengalaman masa kecilku. Hewan-hewan piaraanku – kebanyakan anjing – mati karena alasan yang tak jelas, menurut ukuran anak kelas empat SD waktu itu. Pernah suatu kali aku menemukan burung tekukurku mati mendadak. Aku memergoki Nero, seekor anjing kampung yang gagah, menggonggong di depan kandang. Om Ramlan, seorang anak buah ayahku yang tinggal di rumah, memastikan burung itu mati ketakutan diteror Nero.

Petang harinya, ketika hendak memberi makan, aku tak melihat Nero. Aku mencari ke sana ke mari sambil memanggil-manggil namanya. Seluruh penghuni rumah tak ada yang tahu, kecuali Om Ramlan. Disertai nenek, ia menjelaskan duduk perkaranya. Bahwa setelah melihat tekukur mati, ia memutuskan untuk mengobati kesedihanku. Dengan suara turun dua oktaf dari biasanya, Om Ramlan berterus-terang telah membereskan Nero. Dalam satu hari, aku pun menangis dua kali.

Dua kematian yang berlangsung sehari, mungkin telah dilupakan Om Ramlan sepanjang sisa hidupnya. Sementara aku mengenangnya sepanjang sisa hidupku, banyak momen sepele yang tak terduga antara peduli dan masa bodoh terhadap nasib hewan liar seperti Jalu. Dengan wujudnya sekarang, aku malah berharap sebaiknya ia tak kembali. Lebih baik ia mati daripada hidup menderita.

Nama Jalu membuatku tak terkendali. Dua tahun yang silam, ia seekor kucing mungil yang malang. Di saat usia yang semestinya menyusu, ia kutemukan di dalam got depan rumah. Ia terpisah dari saudara-saudaranya. Ibunya mungkin putus asa mencarinya. Mungkin juga tak peduli, kawin lagi dengan kucing lain yang lebih mapan. Jadi, aku yang kemudian mengambil alih tanggung jawab.

Hari demi hari, Jalu tumbuh menjadi seekor kucing yang terpandang. Bulunya lebat selembut kapas, berwarna coklat muda-putih, bersih kemilau di siang hari. Tubuhnya terkesan kekar, menyembunyikan lemak hasil kemalasannya. Reputasinya memang tak bisa dibanggakan. Hanya kalangan tikus ingusan yang mengira Jalu seekor kucing yang tangkas dan tangguh. Selebihnya, ia tak lebih dari buntelan kapuk yang menyerupai kucing. Meski begitu, kami sekeluarga bangga dan menyayanginya.

Jalu memang seekor kucing, tapi ia tidak bodoh dengan menerima kehidupan monoton seumur hidup. Kami memaklumi jika sesekali ia ke luar rumah, mengendurkan otot, menghirup hawa pagi sambil menebar pesona pada para betina. Namun, kehidupan bebas penuh tantangan menggoda Jalu terlalu jauh.

Sejak acara melancongnya yang pertama, Jalu lebih suka keluyuran ketimbang tinggal di rumah. Dan setiap kali pulang, ia tampak lusuh, compang-camping, limbung seperti seorang pemabuk amatir. Tak jarang tubuhnya terluka, kakinya pincang, kelopak matanya berdarah akibat perkelahian tak seimbang. Istriku yang biasanya mengobati luka-luka itu. Tak heran jika ia lebih mengenal rupa Jalu daripada siapa pun.

Kejadian nahas tak pernah menjadikan Jalu jera. Sebaliknya, pola hidupnya semakin serampangan dan kurang ajar. Berkali-kali aku harus membersihkan karpet dari muntahannya dan membuang kotoran perutnya dari lantai dapur. Tepat di tapal batas kesabaran, pada suatu malam mulailah kupacu mobil sejauh empat kilometer untuk menjalankan misi rahasia. Persis di depan Pasar Cisalak, Jalu kuturunkan, “Good night and good luck.”

Nyatanya, ia benar-benar lucky cat. Padahal, tak banyak orang berperasaan seperti istriku terhadap Jalu, terutama mereka yang belum pernah melihatnya. Di dalam keranjang bekas parsel, tempat Jalu terbaring menjalani perawatannya, seringkali ia menatapku. Kucing sialan ini membuatku merasa bersalah.

Aku mulai melakukan apa yang bisa kuperbuat. Sementara istriku mengganti kain kasa yang membebat luka-lukanya, aku dan anak-anak bergantian menyuapinya susu dan air dengan pipet hingga ia dapat makan sendiri.

Tapi, Jalu tak pernah menjadi kucing yang kuat. Pada suatu pagi yang mendung, aku menemukannya terbujur kaku di lantai teras. Tubuhnya dingin, jantungnya berhenti berdetak. Istri dan anak-anakku berhamburan. Aku segera mempersiapkan penguburan yang pantas di halaman belakang rumah.

Sepekan sesudah kematiannya, aku belum berhenti menyalahkan diri sendiri. Aku mulai berpikir banyak hal yang diajarkan Jalu kepada kami: kesabaran, ketulusan, pantang surut memberi pertolongan, dan keberanian bersikap teguh meskipun banyak orang meragukan. Dari lubuk hati aku berbisik, “Maafkan aku, Jalu.”
Cimanggis, 8 Maret 2006