MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Monday, November 21, 2005

Wajah Paman Sam

ILLUSTRATED BY ROBBIE CONAL

TAMATNYA Perang Dingin telah mengakhiri zaman pertikaian ideologis. Namun, ia tidak menyudahi sejarah imperialisme. Satu perangkat penaklukan diganti dengan perangkat penaklukan berikutnya. Dan, sejalan dengan era kesejagatan, imperialisme bukanlah teladan masa depan, tapi contoh masa lalu.

Tahun 1895, Jepang mulai mengasah kukunya sebagai kekuatan imperialis baru dengan menyabot Taiwan dari Cina. Tahun 1905, ia memperoleh pampasan perang berupa separuh Semenanjung Sakhalin di Siberia, Semenanjung Liaotung, dan sebagian besar ekonomi Rusia di Manchuria. Tahun 1910, Jepang menganeksasi Korea. Ia juga menggasak banyak perusahaan Jerman di pesisir Pasifik dan Shantung selama Perang Dunia I. Tahun 1920, dunia menandai Jepang sebagai kekuatan imperialis besar di Asia Utara.

Bagi Jepang, penaklukan wajib hukumnya, mengingat kebutuhan ekonomi Tokyo sedang tumbuh waktu itu. Pertumbuhan industri yang melampaui potensi pertanian, membutuhkan barang-barang mentah. Di benak sebagian orang Jepang, kebutuhan-kebutuhan itu bercampur dengan hasrat penaklukan, dominasi, dan (boleh jadi) pembalasan. Penaklukan wilayah utama tersebut tak jauh berbeda dengan operasi para bandit umumnya. Terkadang penaklukan di depan mata terjadi begitu saja, tanpa sebab-sebab yang jelas.

Saat dunia memasuki bagian pertama abad ke 20, rangsangan imperialisme terkait dengan ditemukannya sumber minyak bumi di Arab Saudi, Bahrain, dan Kuwait. Bentangan wilayah antara Maroko dan Irak – terletak di tepi Laut Tengah yang menghubungkan benua Asia, Afrika, dan Eropa – merupakan sumber penghasil minyak yang tiada tara. Sumber-sumber minyak tadi menguatkan nilai strategis dari aspek siasat perang, setelah raja-raja setempat menjadi kaya raya karenanya.

Ketika Perang Dunia I selesai, Prancis memperoleh mandat kekuasaan di Suriah dan Lebanon, hingga menjelang akhir Perang Dunia II. Sedangkan wilayah Palestina diserahkan ke tangan Inggris. Mandat ini berakhir tatkala Israel dimaklumatkan sebagai suatu negara pada 1948, dengan mengabaikan kebencian sebagian besar pemimpin Arab dan syekh-syekh Jazirah Arab. Nama Transyordania sayup-sayup terdengar sebagai mandat Inggris, setelah negeri tersebut menjadi suatu kerajaan pada 1846. Abdullah – seorang putera dari Syarif Husein dari Hedjaz dan saudara dari Faisal – diangkat sebagai raja. Untuk sementara Faisal menjadi raja di Suriah, sampai diusir oleh Prancis dari sana. Tahun 1927, Inggris melantik dirinya sebagai raja di Irak. Di antara negeri yang dijadikan daerah mandat oleh Liga Bangsa Bangsa, Lebanon yang pertama kali memproklamasikan dirinya sebagai republik pada 1941. Irak? Irak memang tak dapat menandingi Suriah dalam hal khazanah kebudayaan, namun Irak merupakan kerajaan Arab pertama yang melepaskan diri dari cengkeraman (mandat) asing. Kemerdekaan Irak diproklamasikan pada 1930 dan mandat atasnya berakhir pada 1932. Itu pun setelah tercapai perjanjian dengan Inggris, yang menjamin pengaruh Inggris di Irak (perjanjian serupa juga diteken dengan Mesir tahun 1936) selama 25 tahun. Tapi tahun 1948, perjanjian tersebut sudah tak ditoleh lagi.

Imperialisme selama Perang Dunia I mengakibatkan negeri-negeri Arab sebelah timur terpecah belah, menciptakan ethnonationalism (nasionalisme yang bercorak etnis lokal) Arab. Perlawanan terhadap imperialisme Eropa di negeri Arab bukannya tidak ada. Cita-cita menuju Pan-Arabisme – mempersatukan segala bangsa yang berbahasa Arab, bukan persatuan dunia Islam – jatuh bangun dipermainkan oleh berbagai kepentingan. Bahkan usai Perang Dunia II – saat ancaman zionisme kian terasa oleh bangsa-bangsa Arab – usaha mewujudkan cita-cita tersebut bagai memahat awan. Baru pada Maret 1945 di Kairo, terbentuklah Liga Arab yang beranggotakan Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Yaman, Lebanon, Suriah, Libya, dan Yordania. Meski demikian, dalam setiap urusan genting (seperti upaya mencegah Perang Teluk) Liga Arab selalu menghasilkan resolusi jalan buntu.

Peristiwa periode Perang Dunia I dan II, diikuti robohnya Uni Soviet, memaksa Amerika Serikat tampil ke muka sebagai sebuah negara yang paling besar kekuasaannya. “… kaya, berpengaruh, dan menurut standar siapa pun sangat berhasil,” puji The Economist, majalah bergengsi dari Inggris. Bisa dimengerti, jika AS mesti pandai-pandai menyesuaikan diri dengan kemauan bangsa-bangsa lain saat berurusan. Di tengah kesadaran seperti itu, AS telah lama memandang dirinya sebagai tempat suaka bin merdeka bagi orang-orang yang tertindas dan dianiaya – dengan demikian telah menghasilkan hal-hal yang begitu baik bagi dirinya dan dunia – sehingga jika ada negeri lain yang tak bisa melihat kebaikan ini, akan mengguncang jiwa Amerika. Di mata AS, masa depan perdamaian dunia bergantung pada kapasitas imajinasi bangsa lain memahami e pluribus unum (satu milik semua). Tak heran, jika dalam hampir setiap pergolakan domestik di suatu negeri, selalu ada orang Amerika di baliknya (yang melakukan pekerjaan sebenarnya).

Orang Amerika mau melakukan apa saja demi memelihara impian dan kebaikan mereka. Tapi, hanya Tuhan yang tahu betapa buruknya bangsa ini gagal dalam menggapai cita-citanya; betapa menyedihkan tafsiran-tafsiran mereka dikuasai oleh prasangka-prasangka buruk; oleh obsesi-obsesi tentang patriotisme yang membutakan terhadap masa depan perdamaian dunia. Mereka dibelenggu oleh pengalaman mereka sendiri, diombang-ambingkan ke sana ke mari – sama seperti semua orang fana berdosa lainnya – oleh sikap berat sebelah, dogma, prasangka, ketakutan sekaligus pengharapan.

Pada tahun sesudah kemenangan Perang Teluk jilid I, etos “Kita adalah nomor Satu” lahir kembali di AS. Presiden George Bush berseru mantap, ”Kita adalah pemimpin dunia yang tidak diragukan lagi.” “Masih tetap nomor satu!” begitulah tulis The New York Times kala itu. Manakala pasukan AS kembali dari Timur Tengah, bangsa ini diliputi perasaan bangga secara berlebihan, hingga mengalihkan diri secara sadar (mungkin juga tidak) dari keruwetan urusan dalam negeri. Perang itu melenakan sesaat dari soal merosotnya hubungan AS dengan Jepang, Prancis, Jerman dan negara-negara industri maju lainnya.

Di sebuah negara, tempat para penguasa dan pengusaha bisa duduk semeja pada pagi hari, ketamakan memang mudah dirancukan artinya dengan patriotisme. Tambahkanlah dengan dosis kekuatan militer yang mencolok, hasilnya niscaya menohok. Untuk tujuan patriotisme, AS kini menerima Inggris, Australia, sebagai cikal bakal bersatunya energi almasih.

Pada tahun menyongsong Perang Teluk jilid II, AS mencampuradukkan unsur-unsur patriotisme, kekuatan militer – ke dalam satu loyang etos “Kita adalah nomor Satu” – dengan kecerdasan visioner dan wahyu kenabian. Perang Teluk jilid II merupakan sebuah seruan untuk bersatu kembali melawan satu kekuatan yang tak tertahankan. Maka, jika sebelumnya Kuwait sudah tahu cara berterima kasih kepada AS saat Perang Teluk jilid I, kelak dunia dibuat menyesal atas ketidakberpihakannya pada AS saat Perang Teluk jilid II. Misi bangsa ini, sebagaimana umumnya bangsa Eropa, memenuhi keinginan “Tuhan yang memihak”: Gesta Dei per Francos untuk bangsa Prancis; Gott mit uns untuk bangsa Jerman; In God we trust, umpatan yang tertera pada setiap lembaran dolar, tuhan yang maha kuasa monoteisme uang dan pasar (menurut Roger Garaudy).

Eropa memang sumber kejahatan imperialisme, bukan Amerika (oya, tentu saja). Kejahatan-kejahatan Eropa terhadap bangsa-bangsa kecil di luar hukum geopolitik (Stalinisme, Hitlerisme, dan hal lain seperti ini) sudah terkenal. Tapi kejahatan-kejahatan itu tidak mengubah secuil fakta sejarah lainnya, bahwa Eropa merupakan tempat lahir Amerika; bahwa Amerika merupakan suatu perluasan peradaban Eropa; bahwa sekitar 80 persen orang-orang Amerika adalah keturunan Eropa. Jadi, apakah itu Eropa atau Amerika sama saja. Jika Eropa adalah contoh imperialis di masa lalu, Amerika adalah contoh imperialis di masa sekarang.

AS sebagai penguasa sementara dunia, kini sedang bersekongkol untuk merampas minyak bumi dari Timur Tengah yang merupakan syaraf pertumbuhan Dunia Barat. Bagi mereka, tidak penting sistem apa yang akan diberlakukan supaya dapat menyelamatkan minyak Timur Tengah. Yang penting, minyak tersebut terus bisa diperoleh. Untuk memenuhi kebutuhannya, hukum-hukum internasional dan perjanjian damai direkennya sebagai kliping gombal. Sementara itu, Israel telah melancarkan program disintegrasi terhadap seluruh negara Timur Tengah.

Jakarta, 7 Februari 2003