MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Friday, November 25, 2005

Wartawan Berotak Kiri [2]

ILLUSTRATED BY JIM CROMPTON
TENTU saja seorang wartawan harus memiliki fundamen bahasa Indonesia yang kokoh. Dia harus tahu kaidah-kaidahnya. Sebab, banyak juga lho wartawan yang tak tahu kapan di sebagai awalan dan kapan sebagai kata depan, bilamana menggunakan akhiran i dan kan. Masih ada wartawan yang tak tahu mana subyek, mana predikat.

Kita belum menyadari bahwa morfologi bahasa Indonesia mengenal aturan peleburan fonem p bila diimbuhi awalan me. Artinya, kita tak boleh pandang bulu terhadap semua kata yang berawalan fonem p. Jadi, tulislah memunyai, bukan mempunyai. Tulislah memengaruhi, memedulikan, dan memenetrasi; bukan mempengaruhi, mempedulikan, dan mempenetrasi. Bukankah kita menulis memupuk, bukan mempupuk? Tapi, kita tetap menulis mempelajari, bukan memelajari. Karena ajar yang berstatus kata kerja, bukan pelajar.

Jangan terlalu bersemangat. Bahasa Indonesia mengenal pengecualian pada gugus konsonan (cluster) yang mengikuti fonem p. Misalnya, kata prakarsa, kritik, protes, dan proses. Opa Rosihan Anwar akan marah kalau Anda menulis memrakarsai, mengritik, memrotes, dan memroses. Tulislah memprakarsai, mengkritik, memprotes, dan memproses.

Awalan me masih memusingkan wartawan kebanyakan. Terhadap kata bom, klon (clone), dan cek, misalnya. Bagaimana bila ia diimbuhi me? Apakah membom, mengklon, dan mencek? Jika ragu, ingatlah ini: terhadap kata yang bersuku satu, awalan me harus dalam bentuk alomorf menge. Alhasil, kita harus menuliskannya dengan mengebom, mengeklon, dan mengecek. Demikian pula jika kata tersebut diberi awalan-akhiran pe-an. Kita menulis pengeboman, pengeklonan, dan pengecekan.

Bagaimana dengan tanda baca? Wah, wartawan-cum-sastrawan Eyang Pramoedya Ananta Toer bisa gusar kalau Anda keder pada tanda baca. Belum lama ini, ada satu naskah saya di Pilars yang disunting oleh redaktur keder. Saya menulis:

Dengan perolehan suara sekitar 26 persen, pada putaran kedua Megawati perlu tambahan suara sedikitnya 24 persen plus satu …

Perhatikan perubahannya:

Dengan perolehan suara sekitar 26 persen pada putaran kedua, Megawati perlu tambahan suara sedikitnya 24 persen plus satu …

Pada naskah lain, saya menulis judul:

Mangkir, Itu Soalnya

Mungkin redaktur penyunting naskah tersebut sedang cekcok dengan kekasihnya. Maka, naskah itu menjadi:

Mangkir, Itu Soalnya!

Saya baru saja melumat sebuah novel pekan lalu. Ada percakapan seperti, “Enyah kau!”; “F … you!”; “Kau akan menyesal!”

Tanda seru pada judul bukannya tak boleh. Bandingkan dengan judul berikut:

Dibilang Intimidasi, Biar!

Judul tersebut saya temukan di majalah Gatra edisi 27 Januari 2001, halaman 68. Isi berita tentang kelompok massa yang membela Gus Dur, agar tetap menduduki kursi presiden. Seorang sumber, Syarifuddin Irsyad, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Sampang, Madura, berkata, “Mau dibilang mengintimidasi, ya biar! Mereka juga melakukan tindakan yang sama.”

Bicara tentang judul, ada kemajuan dalam pers Indonesia. Tidak klise, tidak asal sebagai kepala berita seperti dulu. Kendati begitu, masih banyak wartawan kita yang payah memilih judul. Padahal, kuncinya hanya KISS (keep it short and simple). Harus menarik, tapi tidak menipu. Judul adalah sudut pandang (angle) tulisan. Sedangkan lead (teras) adalah etalasenya. Saya terkesan pada judul seperti:

Tommy dan Proyek Bomnas (Tempo, 2001)

Sudahlah, Gus (Tempo, 2001)

Bukan Kisah 1001 Malam (Tempo, 2004 – tentang tewasnya seorang warga AS yang ditebas oleh kelompok misterius di Bagdad)

Kring Tanpa Kabel dan Antre (Tempo, 2004 – tentang telepon rumah berteknologi telepon seluler)

Wangi Cendana di Pohon Beringin (Tempo, 2004 – tentang dukungan Tutut kepada capres dari Partai Golkar, Wiranto)

Tikungan Terakhir (Pantau, 2001 – tentang drama kematian wartawan Pilar, Rudi P. Singgih)

Tak Ada Film, Raam Pun Jadi (Pantau, 2002)

Mundur untuk Maju (Pilars, 2004 – tentang mundurnya Jusuf Kalla dari jabatan Menko Kesra)

Mingguan Time lebih mengesankan saya. Sepekan setelah tragedi WTC terjadi, barangkali Time merupakan satu-satunya majalah di dunia yang tidak memberi judul pada kulit mukanya. Yang ada hanya sebuah foto yang menggambarkan gedung kembar di New York itu meledak. Bagi Time, peristiwa ini tak perlu lagi dilukiskan dengan kata-kata.

Kalau bisa, biar pun miskin, wartawan harus kaya kata. Syukur bisa menyerap bahasa Nusantara – seperti kata santai yang berasal dari bahasa Ogan Komering, Sumatera Selatan – ke dalam tulisannya. Saya tak tahu kata semelehoi berasal, tapi seksi juga kedengarannya.
Bahasa juga mengalami evolusi, lambat laun dalam waktu yang sangat panjang, ratusan, bahkan ribuan tahun. Dengan usianya yang relatif muda, 76 tahun, bahasa Indonesia ditantang untuk menyerap dan mengungkapkan perasaan serta pikiran masyarakat yang telah berkembang jauh, jauh lebih lama.

Ini bukan melulu perbendaharaan kata. Keanggunan juga. Bahasa yang anggun biasanya tidak lumrah. Misalnya, (kata) litak, tirus, moncer, dedah, sengkarut, kalang, dan digadang-gadang. Akan tetapi, kekerapan penggunaan berpengaruh terhadap keanggunan bahasa. Bahasa yang sebetulnya anggun pun bisa menjadi norak jika terlalu sering digunakan. Contohnya, wacana, kampanye dialogis, demi kepentingan rakyat, persatuan dan kesatuan, bebas dan bertanggung jawab, memasyarakatkan olah raga. Kata-kata tersebut sekarang hanya diucapkan dan ditulis oleh orang-orang yang lémbéng (ganjen). Ia sudah diselewengkan menjadi sekadar slogan propaganda.

Seorang redaktur, saya kira, perlu mengontrol frekuensi pemunculan sejumlah kata tertentu (dibatasi). Itu pertama. Kedua, bahasa yang anggun biasanya terbentuk dari kosa kata lama. Ketiga, bahasa yang anggun senantiasa bercitra baik, positif, luhur.

Sifat keanggunan kata mesti disertai kejujuran. Syahdan, bahasa ilmuwan lebih jujur dan benar walau pun tidak anggun. Bahasa politisi, meski anggun namun penuh kepalsuan. Bahasa sastrawan memang sangat anggun, tapi omong kosong belaka. Nah, maksud saya, bahasa yang anggun itu adalah bahasa orang-orang yang tidak menyandang pedang dan tidak menantang bintang.

Tidak skeptis? Skeptis itu sehat, sehingga wartawan pantas memeliharanya. Skeptisisme menandakan wartawan bukanlah “saluran tanpa kran” dan tidak gampang percaya. Contoh:

Mereka sama-sama berstatus putri ayu yang terpilih setelah melewati seleksi yang menurut penyelenggara melibatkan kriteria cerdas, cantik, dan berkepribadian. Mooryati Soedibyo, Ketua Umum Yayasan Puteri Indonesia, yang menggelar hajatan tersebut sering menyebut kriteria itu sebagai tiga B: brain, beauty, dan behaviour.

Jika sang putri dengan heroik berbicara soal penegakan hukum, itu tentu karena Artika Sari Devi (peraih Puteri Indonesia 2004. –pen.) saat ini adalah mahasiswi program S2 Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Akan tetapi, jika nanti ada kesempatan berkarier di bidang lain, termasuk hiburan, Artika mengaku tidak akan menolak. Paling tidak, kelihatannya menggelar hiburan lebih mudah daripada menegakkan hukum di negeri ini.

Bayangkan jika putri itu nantinya juga berbicara soal penegakan hukum di negeri ini.[1]

Dalam bahasa lisan, makna yang sesungguhnya ditentukan oleh intonasi, sedangkan dalam bahasa tulisan, maksud yang terkandung dilihat dari konteksnya terhadap keseluruhan wacana. Terhadap konteks inilah pertama-pertama seorang redaktur memusatkan perhatiannya.
Demikianlah, saya mengidealisasikan hubungan antara seorang redaktur dan seorang penulis/reporter sebagai hubungan antara seorang penggubah (composer) dan seorang penyanyi. Pandangan yang menempatkan redaktur dan penulis/reporter sebagai hubungan antara pisau dan leher (ih, serem ya), harus diakhiri.

Para wartawan era baru tidak lagi memutuskan apa yang seharusnya diketahui publik. Mereka membantu publik mengerti secara runtut apa yang seharusnya publik ketahui. Ini berarti menambahkan interpretasi atau analisis pada sebuah laporan berita. Lebih tepat jika disebut tugas wartawan era baru adalah memverifikasi apakah informasinya bisa dipercaya, lantas meruntutkannya sehingga publik bisa memahaminya secara efisien. Ini dapat dicapai, apabila antara redaktur dan reporter menghayati hubungan antara penggubah dan penyanyi. Praktik berbahasa jurnalistik sebagai proses “menyampaikan peristiwa” harus mencakup dua nilai sekaligus, yaitu logika dan cita rasa. Keduanya harus disajikan dalam dosis yang seimbang. Punya nalar seperti Albert Einstein, tentu sangat baik. Tapi, akan kering dan hampa bila tak mampu berimajinasi. Sebaliknya, penyajian stilistika bahasa yang menyamai Kahlil Gibran, akan membuat laporan berita sebagai karya sastra yang tergesa-gesa.

Jangan lupa, berita harus selalu dengan peristiwa, peristiwa harus selalu dengan jalan cerita. Di situlah logika dan cita rasa bahasa seorang wartawan diuji.

[1] Dikutip dari Sang Putri Ingin Menegakkan Hukum (Kompas Minggu, 8 Agustus 2004).

9 Previous Page ; : Next Page