MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Thursday, November 24, 2005

Hikayat Tak Terkubur

ILLUSTRATED BY ATJEHSE NATIONALE HELDEN
PENDERITAAN adalah teman setia rakyat Aceh. Di Aceh, selalu saja ada orang yang mati. Selalu saja ada yang menangis. Selalu saja ada bau-bau kematian.

Mungkin itu sebabnya, hanya di Aceh berkembang seni tradisional yang disebut Sebuku. Sebuah kesenian yang diwujudkan dengan suara melengking, diiringi suara seruling bernada tinggi. Suara itu menyerupai ratapan yang memilukan.

Sebuku sendiri merupakan simbol kepedihan saat menghadapi dua peristiwa akbar dalam hidup manusia: pernikahan dan kematian. Bila seorang perempuan Aceh akan menikah, dia dianggap “hilang” karena meninggalkan sanak keluarganya. Begitu pula kematian – baik karena dimakan usia, perang, maupun bencana alam – merupakan kepedihan.

Bertahan dalam penderitaan telah menjadi bagian dari filsafat hidup manusia Aceh. Sejarah perlawanan Aceh terhadap Portugis dan Belanda membuktikan hal itu. Mereka menyerahkan jiwa raga demi agama dan adat, dua serangkai bagai zat dan sifatnya.

Semakin keras Belanda ingin menaklukkan Aceh, semakin keras pula orang Aceh menghadapinya. Sehingga Belanda perlu mencatat sejarahnya, dari seluruh perang yang pernah mereka lakukan di Nusantara, perang yang paling besar mereka hadapi adalah perang Aceh (1873-1908).

Dalam bukunya bertitel De Atjehers (Rakyat Aceh, 1894), Snouck Hurgronje menulis: Aceh adalah sebuah “negeri perompak” yang sudah tua. Rakyatnya keras, suka berperang, dan sangat fanatik terhadap agama Islam. Hurgronje berkesimpulan, masyarakat Aceh adalah sebuah masyarakat yang sangat heroik. Mereka patut dibanggakan atas keberanian dan kegigihannya melawan kaum penjajah.

Heroisme tersebut terlihat dalam hampir setiap kesenian yang dimainkannya. Kesenian tradisional Seudati, misalnya, menyiratkan karakter gerakan heroik, mirip perang gerilya. Terkadang mereka mundur, lalu maju. Kemudian menghindar, lalu maju, dan mundur lagi. Kesenian ini juga menggambarkan, orang yang sedang membuat figurasi dalam bentuk dinding dan benteng-benteng pertahanan menghadapi sebuah peperangan.

Dilihat dari sikap mentalnya, menurut sejarawan Aboe Bakar Atjeh, orang Aceh hampir sama dengan kaum Badui dari Jazirah Arab yang berwatak keras. Namun, di balik itu orang Aceh juga memiliki sifat yang sangat lembut, penuh seni, melihat dan menilai sesuatu dengan perasaannya.

Ini tak berarti orang Aceh mudah tersinggung. Dalam sebuah hadih maja (kalimat bersayap), ada ucapan: orang Aceh asai hatee beek teupeeh kreeh jeut taraba. Maksudnya: sifat orang Aceh ini kalau hatinya tidak disakiti, dipegang (maaf) alat kelaminnya pun tidak apa-apa.

Masyarakat Aceh mewarisi kesusasteraan yang tertuang dalam banyak hikayat. Salah satunya, Hikayat Putri Geumbak Meueh (Putri Berambut Emas). Sebuah simbol dari masyarakat korban, yakni masyarakat yang disingkirkan untuk merasakan kepedihan sebagai korban, kemudian berjuang untuk mengungkapkan siapa sebenarnya yang mengorbankan mereka.
Hikayat ini hidup secara lisan di tengah masyarakat Aceh sejak abad 17 hingga 18. Tahun 1963, barulah ditulis atas inisiatif seorang sastrawan Aceh bernama Anzib Lamjong. Berkisah tentang 100 anak yang lahir dari rahim seorang perempuan, Syahkeubandi. Anak-anak malang itu dibuang ke sungai oleh istri pertama dan kedua dari Raja Chamsul Khasara. Tapi, ajal belum menjemput. Mereka ditemukan, dipelihara hingga dewasa oleh raksasa yang tinggal di hutan.

Seratus anak ini terdiri dari 99 anak lelaki dan seorang anak perempuan yang berambut emas bernama Geumbak Meueh. Dialah yang lantas berupaya menemukan kembali kedua orang tuanya, meski harus menelan azab dan sengsara.

Di hati masyarakat Aceh, hikayat tak ubahnya kisah 1001 malam yang mendunia. Melalui hikayat, tradisi, sejarah dan pengetahuan dituturkan turun temurun. Dari banyak ragam, Hikayat Perang Sabil dikenal paling banyak mengilhami heroisme masyarakat Aceh. Hikayat yang berwujud sajak ini buah karya seorang ulama besar Aceh, Teuku Chik Pante Kulu yang lahir pada 1836. Sengaja dikarang untuk membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh. Begitu dahsyat pengaruhnya, Belanda melarang keras hikayat satu ini beredar di kalangan masyarakat setempat.

Suatu kali, usai membaca Hikayat Perang Sabil, sekelompok rakyat Aceh langsung mendatangi markas Belanda di Taman Sari Kuta Raja (kini Banda Aceh). Tanpa pikir panjang, mereka membunuh penjajah yang mereka anggap sebagai kape (kafir). Mereka tak memperhitungkan, jika nekad akan mati konyol. Sebaliknya yakin, kalau pun mati melawan Belanda mereka akan mati syahid dengan ganjaran surga.

Syahid sudah menjadi bagian dari setiap napas rakyat Aceh. Dalam perjalanan dari Pidie menuju Meulaboh, kepada pasukannya Teuku Umar berkata, “Beungoh singoh geutanyou jep
kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid
.” (Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau malah akan mati syahid di sana). Beberapa waktu kemudian, setelah tiba di kota kelahirannya itu dan lewat pertempuran terbuka, dua buah timah panas dari senjata pasukan VOC Belanda merobohkan Teuku Umar.

Saya kira, inilah yang sedang diyakini oleh masyarakat Aceh setelah bencana gempa dan tsunami sekarang. Masyarakat Aceh kini tidak saja menganggap bencana alam sebagai cobaan, tapi yakin bahwa inilah bentuk kecintaan Sang Khalik kepada mereka. Karena dengan begitu, rakyat Aceh akan ditinggikan derajatnya di hadapan Allah.

Jakarta, 10 Januari 2005