MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Thursday, May 25, 2006

Karena Waktu adalah Uang (2)

ILLUSTRATED BY VERNA BICE
KEMBALI ke awal abad 20 ketika Hindia Belanda mulai mengenal waktu mintakad (zona waktu). Memenuhi permintaan Staats Sporwegen (semacam jawatan kereta api), Gouvernments Besluits mengeluarkan aturan pertama pada 6 Januari 1908 dan diberlakukan mulai 1 Mei 1908. Pada era kekuasaan kolonial terpusat di Jawa, Waktu Jawa Tengah ditentukan sebagai waktu mintakad (GMT+7:12). Waktu Menengah Batavia berselisih 12 menit dari waktu mintakad. Di luar Jawa dan Madura, waktu mintakad sama sekali tidak diatur. Baru pada 22 Februari 1918 keluar beleid yang menentukan Waktu Padang 39 menit terlambat dari Waktu Jawa Tengah. Balikpapan dipergunakan +8:20 lebih dahulu dari GMT.

Aturan yang menggantikannya pada 1 Januari 1924, tak banyak berubah. Dengan bujur tolok 110°, Waktu Jawa Tengah diubah menjadi GMT+7:20. Waktu mintakad lainnya diatur oleh Hoofden van Gewestelijk Bestuur in de Buitengewesten (penguasa daerah). Semisal, Karesidenan Bali dan Lombok menggunakan Waktu Bali, 22 menit maju dari Waktu Jawa Tengah. Meskipun Gouverment Celebes on Onderhorgheden tidak menentukan waktu mintakad, di Ibukota Makassar dipergunakan Waktu Jawa Tengah ditambah 38 menit. Penguasa di Tapanuli tinggal mengurangi 45 menit dan Padang tujuh menit dari Waktu Jawa Tengah.

Perubahan besar berlangsung sejak 11 November 1932, berdasarkan Bij Gouvernment Besluit van 27 Juli 1932 No. 26 Staatsblad No. 412. Hindia Belanda kala itu dibagi menjadi enam zona waktu dengan selisih 30 menit (lihat gambar). Pemerintah kolonial mempertimbangkan selisih antara waktu tolok dengan waktu menengah setempat diambil sekecil mungkin, agar rakyat yang terbiasa pada jam tidak dirugikan.

Waktu mintakad berubah total selama pendudukan Jepang. Demi efektivitas operasi militer dan upaya “menjepangkan” wilayah koloni, waktu Indonesia ditentukan mengikuti waktu Tokyo (GMT+9). Waktu Jawa dimajukan 1:30 (GMT+7:30) dari waktu tolok tersebut.

Pemerintah kolonial Belanda kembali memutuskan mengubahnya menyusul pergolakan di banyak daerah. Pada 10 Desember 1947, waktu mintakad Indonesia dibagi tiga: +7 (bujur tolok 105°), +8 (120°), dan +9 (135°). Terlambat. Rakyat di Jawa dan Sumatera telanjur menyukai waktu mintakad lama. Atas dasar itu, usai penyerahan kedaulatan, pada 1 Mei 1950 Presiden Republik Indonesia Serikat Soekarno memberlakukan waktu mintakad yang sesuai dengan keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 27 Juli 1932 sebelumnya (enam zona waktu).
Belanda yang keras kepala, mencuri waktu 30 menit (GMT+9:30) untuk Papua Barat sejak ia menyabot wilayah itu. Padahal, Gubernur Jenderal Belanda terdahulu menetapkan +9. Setelah Papua Barat berhasil direbut kembali, keluarlah Keputusan Presiden RI Nomor 243 tahun 1963 yang membagi Indonesia tiga zona waktu, sama dengan waktu mintakad pada 10 Desember 1947.

Pertama kali dalam sejarah pembagian zona waktu Indonesia, pariwisata mulai diperhitungkan. Masyarakat tradisional Bali mungkin tak peduli dengan WIB atau WITa, tapi wisatawan yang berduyun-duyun ke pulau itu adalah orang-orang yang berhitung soal waktu. Perbedaan waktu dua jam menyebabkan para wisatawan Jepang dan Australia – tercatat paling banyak – terpaksa lekas pulang dari Bali agar tidak terlalu larut malam di negara mereka. Dua puluh lima tahun sejak 1963, turun Keputusan Presiden RI Nomor 41/1987 yang mengubah sedikit garis zona waktu sebelumnya.

Implikasinya, jumlah wisatawan melonjak karena mereka merasa tidak membuang banyak waktu pergi ke Bali. Tapi sebetulnya, merelakan Bali ke WITa dari WIB sejak 1 Januari 1988 merupakan sikap keterpaksaan daripada pilihan sadar pemerintah. Karena pada saat yang sama, dua dari empat provinsi di Kalimantan – Barat dan Tengah – yang sebelumnya berada di WITa, ditarik ke WIB.

Kepulauan Riau termasuk Batam, satu dekade ini meratapi nasibnya berada dalam garis bujur dan lintang yang relatif sama dengan Singapura tapi terpisah oleh perbedaan waktu. Setiap tahun sekitar US$70 juta milik 1,2 juta warga Singapura dan Malaysia dihabiskan di pusat-pusat kebutuhan malam di Batam dan sekitarnya. Ini belum seberapa jika para “wisatawan akhir pekan” tersebut tak bergegas pulang karena perbedaan waktu.

Perbedaan waktu antarpusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia sendiri memberi pengaruh besar terhadap perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di Indonesia Barat seperti Jakarta, namun beroperasi di Indonesia Timur. Pada saat jam kerja di Indonesia Timur dimulai, kantor-kantor di Indonesia Barat belum apa-apa. Kesenjangan aktivitas yang terjadi pula pada akhir jam kerja di dua zona tersebut, secara akumulatif menyia-nyiakan empat jam kerja komunikasi dalam sehari.

Bertahun-tahun lamanya, tak ada pikiran “segila” pemimpin Cina atau Bush untuk menyatukan tiga zona waktu Indonesia. Tapi setelah ACT digagas dan dikaji manfaat mudaratnya sejak 1995, sebagian kalangan di Indonesia diam-diam menjajaki pikiran yang pasti akan membuat guru geografi murung.

Tahun 2001 di Surabaya, PT. PLN (Persero) mulai mempresentasikan hasil kajiannya tentang korelasi antara aktivitas kehidupan masyarakat dan konsumsi energi listrik. Program efisiensi energi listrik untuk mengantisipasi krisis bahan bakar minyak, menurut peneliti PLN, akan berdampak besar apabila WIB diubah mengikuti WITa. Pandangan ini berbeda dari kelompok kerja ACT dari Indonesia yang merekomendasikan GMT+7 (WIB) sebagai waktu bersama.
Sistem kelistrikan nasional masih didominasi oleh Jamali (Jawa-Madura-Bali). Data Juni 2004 menunjukkan, 68% pelanggan dan 80% kontribusi pendapatan PLN berasal dari Jamali.

Pemakaian energi listrik pada waktu beban puncak (18:00-21:00) akan berkurang jika pelanggan lebih cepat berhenti beraktivitas dan istirahat. Dengan mengubah WIB mengikuti WITa (19:00-22:00), rentang waktu beban puncak secara tak langsung berkurang karena masyarakat lebih cepat tidur. Beban penggunaan listrik di pagi hari (waktu baru 05:00-06:00) juga berkurang, karena pelanggan terbesar PLN dari golongan tarif R-1 ini lebih cepat bangun untuk beraktivitas di luar rumah.

Studi tadi sejalan dengan Daylight Saving Time (DST) atau acuan waktu yang diterapkan di 95 negara empat musim. DST membuat “matahari tenggelam satu jam terlambat.” Dengan menggeser pengukur waktu mundur satu jam di musim panas, dapat dihemat konsumsi listrik yang cukup besar. Di California, AS, pengurangan konsumsi energi 1% setara 600 ribu barel minyak. Di Selandia Baru, bisa mencapai 3,5%.

PT. Merpati Nusantara Airlines sudah membayangkan pertumbuhan 10% pada jasa penerbangan. Selama ini jadwal rute penerbangan dari WIB ke WIT memaksa pesawat mengangkasa lebih pagi. Jika pesawat berangkat dari Jakarta ETD 05:00 WIB, maka ETA 14:00 WIT di Jayapura. Terjadi market lost opportunity karena pasar untuk penerbangan ke arah barat relatif sedikit. Pesawat dan awaknya mau tak mau harus menginap (remain overnight). Utilisasi pesawat tidak maksimal.

Waktu tunggal membuat kalangan perbankan semakin diminati oleh nasabah. Cara transaksi seperti cek, giro, RTGS (real-time gross system) yang memerlukan konfirmasi, akan lekas diproses.

Prime time televisi yang selama ini mengacu WIB, 17:30-22:30, kelak tidak terlalu “menyengsarakan” pemirsa di WIT. Sebab, sinetron berbintang idaman dapat dinikmati sampai habis tanpa mengorbankan waktu tidur.

Oleh karena tak ada lagi time lag pada informasi, nilai tukar uang di pasar modal pun akan stabil dan bergairah.

Kebijakan time band pada SLJJ (sambungan langsung jarak jauh) berikut potongan tarif kian terasa manfaatnya oleh penelepon, karena jendela waktu berkomunikasi bertambah.

Satu zona waktu mempercepat arus informasi dan waktu tanggap (response time) jika negara dalam keadaan bahaya. Disparitas informasi di bidang pertahanan dan keamanan dapat ditiadakan.

Manfaat penyatuan zona waktu Indonesia meluncur lewat kanal demi kanal, begitu lambatnya, memerlukan empat tahun sejak 2001 dari Surabaya untuk diseminarkan secara nasional pada 8 Juni 2005 di Jakarta, sebelum diusulkan secara resmi kepada Pemerintah melalui Kantor Menteri Negara Riset & Teknologi (KMNRT). Dan, orang yang membuka seminar, mewakili Meneg Ristek Kusmayanto Kadiman, membacakan sambutan tertulis – yang meraih penghargaan Wirakarya Pembangunan dari Pemerintah RI pada 18 Agustus 2005 – dan memimpin delapan anggota tim pengkaji kebijakan zona waktu, itu sekarang meletakkan gagang telepon dari genggamannya.
Cimanggis, 30 April 2006