MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Thursday, April 13, 2006

Sains di Tengah Publik yang Berharap

ILLUSTRATED BY TRIGGISON
UNTUK alasan yang berbeda, banyak orang memelihara skeptisisme terhadap sains. Sementara sebagian masyarakat memandang takzim operasi transplantasi seraut wajah oleh tim dokter Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, sebagian lagi menganggap sains masih berutang obat HIV/AIDS. Sains juga ditunggu pencapaiannya menyembuhkan penyakit flu burung.

Alih-alih sains menuai kritik, sudah cukup lama skepsitisme versi lain tumbuh di ranah laboratorium. Sekurangnya tiga tahun sebelum pergantian milenium (1997), terbit sebuah buku yang melukiskan skeptisisme ilmuwan. Di bawah judul The End of Science: Facing the Limits of Knowledge in the Twilight of the Scientific Age, John Horgan, penulisnya, melontarkan antitesis pemujaan terhadap sains bahwa – seperti halnya entitas organik – sains sedang menuju abad senjanya. Ini bukan lantaran adanya skeptisisme kalangan ilmuwan yang sofis, tapi justru sains telah bekerja dengan sangat sempurna (?).

Sains tak menyisakan celah eksploratif bagi munculnya temuan dan terobosan besar. Ahli astrofisika Amerika Serikat Martin Hewit meramalkan, nasib sains berada pada posisi terbaiknya tahun 2000. Pada tahun itu, sains telah mengungkapkan separo dari seluruh fenomen semesta yang tertangkap oleh manusia. Sekitar 90 persen dari fenomen tersebut, apa boleh buat, baru bisa diakses pada 2200. Sisanya akan turun tetes demi tetes dengan tingkat kecepatan seperti proses terbentuknya stalagtit dan stalagnit dalam gua beribu-ribu tahun.

Publik yang Berharap
Isu ketidakmampuan sains mengangkat martabat kehidupan, muncul sejak awal abad ke 20. Pandangan masyarakat yang mendewa-dewakan sains mulai berubah kritis sejak implikasi buruk dari aplikasi fisika atom terasa sepanjang Perang Dunia II. Sains sejak itu selalu dicurigai, diawasi, dan dicegah jika dianggap berpotensi mengancam kehidupan. Paralel dengan itu, banyak riset – baik pemerintah maupun swasta, baik sipil mapun militer – dirahasiakan dari pengetahuan publik.

Kecurigaan mendalam kembali memuncak menjelang abad ke 21, ketika virus bernama bovine spongiform enchephalophaty (BSE) ditemukan di Inggris. Penyakit yang menyerang sistem syaraf sapi, itu dipercaya dapat menginfeksi daging dan menurunkan penyakit lain yang disebut Creutzfeldt-Jakob (vJCD) atau BSE yang menyerang manusia. Kita mengenalnya sebagai penyakit sapi gila.

Penderita vJCD ditandai oleh gejala gelisah atau depresi. Koordinasi otot-ototnya kacau. Pasien menjadi kikuk, sering menjatuhkan sesuatu atau terjatuh begitu saja. Fungsi-fungsi kognitif seperti ingatan mulai terganggu, tak dapat lagi mengenali lingkungan sekelilingnya. Ini sangat fatal dan tak ada obatnya. Di Inggris saja, hingga 2001 lebih dari 100 nyawa melayang.

Teori utama tentang bagaimana epidemik BSE, bersandar pada bangkai domba yang terinfeksi scrapie dan masuk lewat pakan ternak. Pemberian sisa tulang-belulang domba pada ternak dinilai aman oleh para ilmuwan, meski itu jelas tidak alami. Sampai korban berjatuhan, tak ada teori lain. Laporan ilmuwan yang ditunggu-tunggu terkesan terlampau hati-hati dan tak kunjung usai mengindikasikan kegagalan dalam identifikasi awal hubungan antara BSE dan vCJD. Masyarakat harus menanti berbulan-bulan untuk mengetahui adanya risiko serius terhadap kesehatan manusia. Padahal, setiap orang yang berpikiran waras pasti mengerti bahwa tak mungkin sehat memberi makan sisa tulang-belulang domba pada sapi. Jadi, mengapa para ilmuwan tidak mengatakannya lebih awal?

Di tangan ilmuwan, urusan sepele jadi rumit dan mahal. Pada November 2001, proyek riset senilai 217 ribu poundsterling (sekitar Rp 3,36 miliar) untuk menyelidiki kemungkinan BSE menyebar dari sapi ke domba menjadi sia-sia ketika terungkap bahwa para ilmuwan mungkin telah mengacaukan sampel otak sapi dengan domba. Celakanya, dua penelitian lanjutan yang bernilai 55 ribu poundsterling gagal memastikan benar-tidaknya kekacauan itu. Kecemasan baru muncul pada Januari 2002 saat tersiar kabar bahwa vaksin polio yang terinfeksi telah menyulut tercetusnya vCJD, sebagaimana temuan di laboratorium tentang penyebab penyakit itu.

Kasus sesamar sapi gila kini terjadi pada flu burung. Sejak ditemukan pertama kali pada 1996 di Hong Kong, virus maut flu burung telah menyebar sejauh tujuh ribu mil melintasi Asia Pasifik. Sejauh ini penularan dari unggas ke manusia tercatat 192 kasus; 109 di antaranya meninggal dunia (Kompas, 12 April 2006). Tak kurang dari 150 miliar ekor unggas mati karenanya. Kematian yang merenggut keluarga Iwan Siswara Rafei di Tangerang dan Rini Dina di Jakarta Selatan pada September 2005, menyisakan misteri: dari mana penularan virus flu burung bersumber?

Teori sentral yang sampai hari ini bertahan sekaligus menjadi perdebatan antarilmuwan adalah burung migran berperan sebagai salah satu sumber penular. Ini dikaitkan dengan kematian ribuan burung migran di China dan Siberia pada Juli dan Agustus 2005. Biasanya burung-burung malang ini tidak menunjukkan gejala penyakit; hanya berperan sebagai pembawa virus ke hewan lain. Burung migran diduga menjatuhkan kotorannya dari udara, lantas menginfeksi unggas domestik melalui sumber air minum.

Teori tersebut untuk sementara dapat diterima, karena cara penularan serupa pernah ditemukan pada babi yang menjadi pencetus penyakit radang otak akibat virus Nipah di Malaysia. Berdasarkan penelitian epidemiologis, babi sebagai inang virus Nipah memperolehnya dari kotoran kelelawar yang jatuh ke tanah. Kelelawar bersarang di pepohonan dekat peternakan babi. Lalu, manusia terinfeksi virus ini melalui kontak dengan babi yang sakit.

Selain obat, sains berutang vaksin berkualitas. Sebab, meski kualitasnya tergolong baik, vaksin itu tak mampu membunuh 100 persen virus di dalam tubuh unggas yang telah divaksinasi. Alhasil, kendati unggas tidak jadi sakit, ia tetap membiarkan sebagian kecil virus hidup.

Dua contoh kasus diatas memberi kontribusi terhadap skeptisisme publik bahwa ilmuwan tak bisa lagi diharapkan untuk memperbaiki keadaan. Ilmuwan dan dokter menyatakan kepada publik sesuatu itu aman, padahal tidak; atau sesuatu itu tidak aman, tapi mereka tidak dapat atau tak bersedia menegaskannya.

Sains Takkan Mati
Skeptisisme semacam itu menerangkan mengapa penyembuhan alternatif berkembang melampaui batas kemampuan sains kedokteran dalam sejumlah kasus. Para penyembuh alternatif bahkan cepat bermetamorfosis, dari sosok yang berbaju gelap kumal dan bersolo karier menjadi sosok yang berbaju putih bersih dan punya beberapa asisten medis. Meski belum ada selentingan para penyembuh ini dapat mengobati penyakit sapi gila dan flu burung, di mata publik reputasi mereka setara dengan dokter. Masyarakat malah cenderung lebih toleran terhadap ketidakmanjuran terapi alternatif, ketimbang sedikit kesalahan yang pernah dibuat oleh dokter.

Dalam beberapa hal, sains dianggap sebagai otoritas tertinggi, namun dalam hal lain tak dipercaya dan dipersalahkan karena menimbulkan ancaman baru. Masyarakat mengenali fenomen bahwa obat-obatan sekarang tidak pernah muncul tanpa risiko. Artinya, jika kita menginginkan manfaat dari obat-obatan hasil riset sains, maka kita harus berani menghadapi efek samping yang merugikan.

Tali empiris-rasional ternyata bukan simpul yang menguatkan ikatan sains dan publiknya. Ketergantungan publik pada sains memang begitu besar, tapi publik berharap agar ilmuwan dapat menenggang rasa dengan tidak menciptakan temuan-temuan memukau tapi ironis. Misalnya, di saat Eropa tengah bergelut melawan penyakit sapi gila, pada 25 November 2001 para ilmuwan di Massachussetts, AS, mengumumkan keberhasilan mereka mengkloning embrio manusia. Tentu saja dinyatakan, eksperimen ini bukan bertujuan menciptakan bayi-bayi unggul, melainkan untuk landasan riset lanjutan tentang kloning terapeutik manusia. Kelak riset tersebut membuka kemungkinan lebih luas pada penyembuhan sejumlah penyakit seperti Alzheimer dan Parkinson. Toh, selain bikin bulu kuduk berdiri, temuan tadi telanjur dianggap takabur.

Dalam kasus lain, ironi serupa berlangsung di Indonesia. Ketika masyarakat setempat mencemaskan nasib 2.163 pengidap HIV/AIDS – suatu prevalensi yang meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir di Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat (Kompas, 12 April 2006) – tim dokter di Surabaya sedang memantau hasil operasi mereka yang menakjubkan terhadap nasib Siti Nur Jazilah setelah wajahnya tersiram air keras.

Hubungan antara sains dan publik kian renggang setiap kali penghargaan prestisius seperti Nobel diberikan kepada ilmuwan brilian. Prestasi sains mereka mungkin bermanfaat di masa mendatang; jelas bukan sekarang, yang sebetulnya lebih dibutuhkan. Tugas-tugas mendasar Newton, Mendel, Darwin, Bohr, Einstein dan ilmuwan lain sudah paripurna. Tapi, skeptisisme ilmuwan bahwa sains akan mati paripurna secara perlahan tak berarti banyak bagi publik, tempat sains mengabdikan dirinya.

Publik abad ke 21 mungkin tak memerlukan lagi temuan mutakhir sekaliber para ilmuwan di dua abad sebelumnya. Mungkin benar bahwa hasil riset pada abad ini dan mendatang – sebagaimana klaim biolog kawakan Richard Dawkins dalam The Blind Watchmaker (1986) – sekadar catatan kaki bagi temuan-temuan besar di masa lalu. Tapi, apa urusannya temuan besar atau catatan kaki bagi publik?

Refleksi atas perkembangan dalam sains modern mengisyaratkan, sains tidak terwujud dari dasar hukum-hukum abadi yang menguasai pemikiran manusia, sebagaimana tradisi pemikiran Kantian. Eksistensi sains tidak berasal dari suatu pendasaran logis atau filosofis, namun bergantung pada duduknya persoalan suatu ilmu pada saat tertentu dalam perkembangan historisnya.

Zaman kita sekarang, menurut filosof sains Gaston Bachelard (1884-1962), ditandai oleh le nouvel esprit scientifique (suasana ilmiah yang baru), fase ketiga dalam perkembangan sains. Fase pertama (prailmiah) yang meliputi zaman purba hingga renaissance ditandai oleh bentuk-bentuk pengenalan yang konkret. Fase kedua (ilmiah) dimulai pada akhir abad ke 18, tatkala berdasarkan penggunaan ilmu ukur muncul bentuk-bentuk abstraksi yang pertama atau “konkret-abstrak”. Di fase terakhir, yang tengah berlangsung, sains mendapat sifatnya yang benar-benar abstrak. Bachelard berpendapat, temuan Einstein mengawali fase ketiga (1916-sekarang).

Ciri mencolok di fase ketiga ialah bahwa praktik ilmiah secara radikal terpisah dari pengalaman sehari-hari. Misalnya, dalam fisika atau kimia modern, obyek tak lagi merupakan suatu data yang terjangkau oleh pengamatan indrawi. Sains modern tak menemukan obyek-obyeknya; bagian-bagian atom hanya berada sebagai obyek berkat teknik dan teori ilmiah. Sains tak lagi meneliti – tapi menghasilkan – fenomen-fenomen, sebab yang disebut fenomen sekarang merupakan efek dari aktivitas teknis-teoritis. Sains tidak lagi mencerminkan realitas, tapi memproduksi dan mengoperasikan realitas. Tak heran, matematika begitu penting pada fase ketiga. Obyek-obyek ilmiah tak ubahnya konstruksi-konstruksi matematis atau relasi-kombinasi yang dirumuskan secara matematis.

Sejarah sains yang terpetakan lewat tiga fase tadi menyiratkan adanya diskontinuitas atau evolusi yang tidak kontinu. Teori relativitas Einstein, misalnya, tak mungkin diturunkan dari mekanika Newton. Terdapat suatu keretakan epistemologis (rupture épistémologique) antara fisika Einstein dan fisika Newton, yang justru merupakan prasyarat untuk mencapai kemajuan sains.

Pandangan ini memungkinkan kita memberi suatu peranan positif kepada kesalahan-kesalahan dalam sains. Bila kritik merupakan sikap dasar sains modern, maka kemajuan diperoleh dengan mengingkari pandangan dan teori lama. Namun, tidak selamanya teori baru harus membetulkan kesalahan teori lama. Sains modern maju melalui approximations, yaitu selalu lebih dekat dengan kebenaran tanpa pernah mencapai kebenaran itu sepenuhnya dan definitif. Dalam sains modern tidak ada metode-metode induktif dan deduktif belaka, tidak ada verifikasi; yang ada hanyalah dialektika. Konsep-konsep ilmiah inilah yang harus didialektisasi, kata Bachelard.

Sejarah sains memang mengalami periode-periode mandul dan stagnan akibat hambatan epistemologis. Hambatan yang dimaksud bukanlah halangan lahiriah seperti rumitnya materi yang diteliti atau kesukaran menangkap fenomen-fenomen tertentu. Bukan pula soal kelemahan indra manusia atau keterbatasan pemikiran manusiawi. Suatu hambatan epistemologis terjadi, jika manusia “buta” terhadap kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan yang secara obyektif telah tersedia bagi sains.

Cimanggis, 12 April 2006