MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Tuesday, May 16, 2006

Inspirasi dari Bung Karno

PHOTO BY WIKIPEDIA
Ia mungkin bukan kepala keluarga yang bijak. Bukan pula suami yang adil bagi istri-istrinya. Namun, tak ada keraguan bahwa Soekarno adalah figur ayah yang baik bagi anak-anaknya.

Anakku, simpan segala yang kau tahu. Jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada rakyat. Biarkan aku menjadi korban, asal Indonesia tetap bersatu. Ini aku lakukan demi kesatuan, persatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa.

Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekali pun, ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng, hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

BAHKAN menjelang ajalnya, ia masih memikirkan masa depan bangsanya. Seorang pecundang takkan pernah melakukan hal itu. Tapi, ia juga bukan pemenang dalam arti sesungguhnya. Ia hanyalah seorang lelaki sukses dari masa lalu yang sekarat di bawah terik politik. Jadi, sekali seumur hidup ia bukanlah siapa-siapa; ia hanya seorang ayah yang menyampaikan pesan terakhir kepada putri tertuanya, Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri.

Soekarno, sang ayah itu, meninggal dunia pada 21 Juni 1970 atau 15 hari setelah ulang tahunnya yang ke 69. Secara medis, ia takluk pada penyakit batu ginjal. Tapi secara psikis, kesendirianlah yang membunuhnya setelah bertahun-tahun Pemerintah Orde Baru mengisolasi BK dari “dunia luar”.

Sebagai lelaki normal sikapnya sulit diteladani oleh spesies mana pun yang setia pada pasangannya. Meski begitu, poligami bukan semata-mata hasrat overdosis lelaki macam BK; ia juga merupakan kompleksitas perempuan sendiri. Misalnya, mengapa seorang perempuan sudi menikah dengan lelaki beristri?

Bagaimana BK sebagai ayah? Tak mudah menjadi ayah sekaligus pemimpin bangsa dalam kemelut sejarah. Tak jarang, BK membesarkan anak-anaknya di tengah pusaran revolusi. Suatu kondisi yang jauh dari normal untuk hidup berkeluarga. Ketika Megawati lahir, bersama anak istrinya ia beberapa kali mengungsi dari ancaman teror. Sebegitu beratnya beban seorang ayah, terlukis saat kelahiran putra sulungnya (1944), Mohamad Guntur Soekarnoputra. Katanya, “Apa pun jadinya ia kelak, semoga tidak menjadi presiden. Kehidupan itu sungguh berat.”

Inspirasi 1 – Keakraban di meja makan
Jika ada tamsil yang menyatakan, demokrasi bermula dari meja makan, sudah lama BK menerapkannya. Pada masa itu, makan sambil ngobrol sebagaimana dilakukan oleh Bung Karno bersama anak-anaknya bukan kebiasaan yang jamak. Bukan saja dari etiket, tapi juga kesempatan yang dimiliki orang sesibuk presiden. Namun bagi keluarga BK, meja makan adalah forum keakraban sejati.

Tak pelak, prinsip mempersatukan elite politik gaya BK adalah alle leden van de familie een eet-tafel (seluruh anggota keluarga duduk bersama di satu meja makan). Terlihat dalam susunan kabinet, di antaranya ada nama J. Leimena (suku Ambon) dan Oei Tjoe Tat (etnis Tionghoa).

Sikap tersebut sulit dimengerti mengingat BK lahir dan dibesarkan oleh keluarga priyayi. Ia hidup berlatar belakang zaman dan masyarakat kolonial Hindia Belanda dengan status quo yang karatan dan gila hormat. Pendidikan BK di ELS (Europese Lagere School/Sekolah Mengengah Belanda), menempatkannya dalam kalangan atas masyarakat Indonesia kala itu. Saat ia mengawali karier politik pada 1927, tak lebih dari 78 orang Indonesia yang mengantungi ijazah HBS (Hogere Burger School/setingkat SMU). Lebih sedikit lagi jumlah orang Indonesia tamatan universitas. BK lulus dari Technische Hoge School atau Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang tahun 1926.

Meski turunan priyayi, BK menentang penggunaan bahasa kromo dan ngoko untuk membedakan kelas sosial. Ia sendiri menggunakan bahasa ngoko yang digunakan rakyat jelata di Jawa.

Dalam santap bersama itulah, selain berdiskusi BK membagi banyak hal kepada putra-putrinya. Mulai soal memilih pacar, pandangannya tentang kolonialisme dan imperialisme (termasuk isme-isme lain) yang ditentangnya, hingga sejumlah rahasia negara.

Kedekatan dengan mereka memang terkesan melebihi keintiman hubungan ibu dan anak-anaknya. Tanpa banyak pertimbangan, BK mau mengunjungi bazar sekolah Guntur. Ini yang membikin pasukan pengawal kepresidenan tak punya cukup waktu mengamankan wilayah kunjungannya.

Benar saja. Selagi asyik mengamat-amati aneka gerai di bazar, serangkaian granat meledak. Insiden yang melukai sejumlah pengunjung, itu kemudian dikenal sebagai Peristiwa Cikini 1957. Ketulusan hati BK agaknya yang meloloskan dirinya dari percobaan pembunuhan.

Inspirasi 2 – Memarahi tanpa menyakiti hati anak
BK paling tahu menyenangkan hati anak-anak. Tahun 1956, tatkala berkunjung ke Amerika Serikat, BK membawa Guntur menemui Roy Rogers. King of Cowboys ini diidolakan oleh anak lelaki pada masa itu. Bukan cuma ketangkasan menarik pistol dari sarungnya di televisi, tapi kemahirannya memainkan gitar.

Semasa bocah (1957-1958), Guntur suka bermain perang-perangan di halaman Istana Merdeka. Para anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) asal kesatuan Brigade Mobil (Brimob) yang sering meladeninya. Dalam permainan ini, Mas Tok – begitu ia dipanggil – dijuluki Jendral Bledèk.

Suatu kali, saat “perang memanas”, komandan jaga istana berlari ke arahnya. Sang komandan meminta “gencatan senjata”. Sebab, permainan tersebut sempat disalahpahami oleh patroli KMKB (seperti Kodam) yang melintas di depan istana. Mereka melihat pasukan pengawal istana tengah mengambil posisi tempur.

Pulang dari Bogor, BK memanggil Mas Tok. “Hei Tok, aku dapat laporan kau bikin geger petugas keamanan Jakarta, ya? Keadaan gawat begini ndak usah main perang-perangan dulu. Nanti kalau sudah normal saja. Kau jadi jendral, ya? Ini, Bapak punya buku bagus tentang jendral. Bacalah. Dia adalah salah satu jendral favorit Bapak,” tutur BK, seraya menyodorkan buku biografi mantan Gubernur Georgia, AS, Jendral Kavaleri William Sherman.

Begitu pula lain waktu, menjelang kelulusan SMA (1962), Mas Tok ngambek pada ayahnya. Kendati permintaan Mas Tok sangat simpel, toh tetap tak diberi. Ia hanya ingin tidak lagi dikawal. Di mata Mas Tok dan adik-adiknya, pengawalan membuat mereka risih dan merasa dimata-matai. Maka, untuk kesekian kali, ia memberanikan diri menghadap ayahnya.

“Kan Bapak sudah bilang, itu tidak bisa. Peraturan protokuler negara ndak mengizinkan. Eh, kenalkan Bapak sama pacarmu. Aku ingin tahu. Cantik, ndak? Kenapa, dia minta putus? Kalian masih cinta monyet. Kenapa kau tidak cium dia? Ho ho, kau terlalu. Kau jangan bikin malu aku.”

“Ya ... Pak. Tapi gimana aku mau cium dia di depan pengawal?”

“Ya memang saru (tak sopan) ciuman ditonton orang. Ya sudah, begini saja. Bapak kasih kau hadiah lulus ujian, bulan depan kau boleh ngeluyur tanpa pengawal.”

“Terima kasih, Pak,” sahut Mas Tok berseri, bergegas ke luar kamar.

“Hei! Bulan depan, lapor soal ciuman tadi.”

“Ya, Pak.”

Inspirasi 3 – Welas asih terhadap makhluk ciptaanNya
Sikap humanisme BK tak terduga. Secara umum, ia dikenal membenci penjajahan dan penindasan. Faktanya, banyak sikap welas asih BK terhadap hewan dan tanaman dapat dicontoh. Sebagaimana kesaksian H. Mangil Martowidjojo, mantan Komandan DKP, dikisahkan BK sedang melakukan inspeksi mendadak ke asrama DKP. Melihat ada seorang pengawal yang memelihara burung, BK menegurnya.

“Kasihan burung itu. Biarkan dia mencari makan di alam bebas. Kamu orang belum mengalami bagaimana susahnya orang ditahan, dipenjarakan tanpa ada kesalahan. Maka, jangan ada pengawal saya memenjarakan burung dalam sangkar, sekali pun sangkarnya dari emas,” pesan BK.

Kegusarannya yang lain terlihat saat BK menonton film di istana. Di situ terdapat adegan seekor induk kijang kesakitan, ditembak seorang pemburu. Beberapa penonton cekikikan. Menurut mereka, adegan tersebut lucu. Tak disangka-sangka, BK menghardik, “Diam! Kamu orang itu tidak tahu rasa kasihan.”

Masih urusan kijang, BK pernah sangat marah sebelumnya. Waktu itu ia baru mengungsi di sekitar Kandangan, Jawa Timur, ketika Yogyakarta diserang Belanda pada 21 Juli 1947. Tahu bahwa hidangan dendeng daging adalah hasil buruan, BK lantas mengumpulkan semua pengawalnya.

“Kamu orang ini betul-betul tidak punya rasa kasihan kepada sesama hidup. Apa salahnya kijang itu kamu tembak? Bagaimana kalau kijang yang kamu tembak itu masih punya anak kecil yang masih pertolongan induknya? Apakah kamu di sini kekurangan makan?!”

Inspirasi 4 – Untuk para orangtua yang merasa dirinya berkuasa
Di puncak kekuasaannya, banyak gelar yang diselempangkan orang-orang ke pundak BK. Selain julukan Putra Sang Fajar – mengingat waktu lahir bertepatan dengan matahari terbit – dari ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, sederet alias disandang BK. Mulai Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Amirul Amri, hingga Panglima Tertinggi. Namun, lihatlah ketika BK di ujung kekuasaannya. Terutama saat opini publik – dibangun oleh orang-orang baru yang tengah berkuasa – menudingnya ikut bertanggung jawab atas Peristiwa G30S. Tiba-tiba, semua gelar itu dicopot, jasa dan peranannya dienyahkan. Maka, ini pun bukan persoalan BK semata. Atau, “siapakah BK?” Persoalannya ialah, “siapa kita sekarang?”
Cimanggis, 15 Mei 2006