MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Monday, November 21, 2005

Dua Hati, Satu Denyut Jantung

ILLUSTRATED BY JAMES RYMAN
KISAH suatu perkawinan bisa dimulai dari pasangan bercinta. Saya punya paman, seorang duda tanpa anak. Hidungnya besar, kacamatanya tebal. Dia baru punya teman kencan yang kesekian. Umurnya dua kali lebih muda daripada umur paman. Enam tujuh bulan yang lalu, pernah saya bertanya, ”Apakah dia sudah bilang bahwa dia mencintai paman?”

“Belum.”

“Kenapa paman tidak tanya?”

“Terus terang, aku tidak berani. Tadi kamu bilang apa? Cinta?”

“Ya. Paman mencintai dia, kan?

“Begini ya. Berapa umurmu sekarang?”

“Tiga enam.”

“Oh.”

“Oh?”

“Orang seusiaku … ck, kamu pasti tidak akan mengerti.”

“Oh.”

“Ah, sudahlah.”

“Saya hanya mencemaskan paman.”

“Kenapa cemas? Kamu pikir aku sudah tidak waras?”

“Saya memikirkan kebebasan paman. Hidup paman.”

“Aku terharu mendengarnya. Terima kasih.”

“Saya serius.”

Suasana hening beberapa saat.

“Bagaimana dia?” tanya saya kemudian.

“Menurutku cantik, penuh perhatian, lembut … God damn it, aku kesepian selama ini!”

Cantik? Pertanyaan itu menggelitik saya – sambil membayangkan hidung besarnya – sampai bertemu lagi dengan paman di sebuah restoran yang sama, sepekan setelah pertemuan pertama. Kali ini dia berjanji akan membawa teman kencannya.

“Kenalkan, ini calon bibimu,” ujar paman saat saya datang terlambat.

God damn it! Gadis ini tidak bisa dianggap cantik. Cantik sekali! Mendadak saya kikuk dan merasa dunia ini tidak adil terhadap saya. Saya jadi “obat nyamuk” (yang tak henti-hentinya mencuri pandang gadis itu) bagi mereka. Ingin rasanya saya berkata kepada paman, ”Tolong belikan rokok di Cirebon.”

Di tengah obrolan makan malam yang “berkecamuk” itu, sering saya melihat air muka Paulina, nama si gadis itu, memancarkan rasa bahagia setiap mendengarkan paman berbicara. Tak habis pikir dan tak dapat tidak, muncul pertanyaan dari lubuk hati saya: bagaimana paman bisa memukau gadis semolek itu? Padahal, sulit bagi saya menemukan ketampanan wajah paman. Toh, rupanya tidak sulit bagi Paulina.

Kadangkala, ketampanan memang bukan menjadi soal. Modulasi suara saja seringkali cukup. Ada lelaki yang menggairahkan bila dia mulai berbicara. Sebaliknya, ada lelaki tampan yang sebaiknya jangan membuka mulut karena ditakdirkan bersuara sumbang. Saya memetik pelajaran: orang yang punya pikiran sehat tentang cinta, tidak bisa mencintai. Justru orang yang tidak punya pikiran sehat tentang cinta, bisa mencintai. Dengan kata lain: mencintai adalah mengagumi dengan hati; mengagumi adalah mencintai dengan pikiran.

Lagi-lagi, kita suka memenjarakan pikiran dengan hal-hal stereotype tentang suatu kisah cinta. “… demikianlah, Cinderela akhirnya dipersunting oleh pangeran yang baik hati,” begitu kalau Hans Christian Anderson mengisahkan tokoh-tokoh dongengnya. Romeo dan Juliet. Anthony dan Cleopatra. Paulo dan Francesca. Heolise dan Abeolard. Aucassin dan Nicolette. Sampek dan Engtay. Kita – Anda dan kekasih Anda, saya dan kekasih saya – bagaikan pasangan yang akan naik kapal Nabi Nuh. Macan dan macan. Zebra dan zebra. Tutul-tutul dan tutul-tutul. Garis-garis dan garis-garis.

Kita tidak antusias mendengar dongeng yang lain tentang kisah cinta Quasimodo – lelaki bongkok di Notre Dame – dan Esmeralda atau Beauty and the Beast. Pada kenyataannya, “pasangan janggal” seperti itu lebih banyak memenuhi kapal Nabi Nuh.

Kita boleh tak percaya bahwa dengan label “cinta” saja mereka mau menyandarkan harapan dan kepercayaan satu sama lain. Ketahuilah, cinta memiliki logikanya sendiri (seperti juga matematika cinta: satu ditambah satu sama dengan segalanya; dua dikurangi satu sama dengan tidak ada). Kata “cinta” seringkali dipakai sebagai label bagi gairah seksual kaum remaja; bagi kebiasaan kaum setengah baya; dan bagi saling ketergantungan kaum lanjut usia. Tapi bagi orang yang sudah dewasa (seperti paman), cinta hanya merupakan keinginan memiliki seseorang yang mengkhawatirkannya ketika dia pulang larut malam.

Dalam kehidupan berpasangan (boleh baca: perkawinan) sesungguhnya, terdapat hal-hal yang sepadan maupun tak sepadan. Memang klise, namun tak ada cara lain kecuali saling mengisi. Keburukan ditanggung bersama dan saling memikirkan. Bersama satu tujuan dan keinginan, di situlah mereka tumbuh. Dua hati dengan satu denyut jantung.

Di atas kertas, dua orang yang telah saling mencintai, saling percaya, dan saling menghormati, bisa saja bersepakat menghabiskan sisa hidup bersama. Mereka akan membangun sesuatu yang bagi orang lain tampak sepele, tapi sebenarnya sangat rumit, yaitu sebuah bahtera yang akan bertahan terhadap segala cuaca. Pada praktiknya, orang menikah karena berbagai alasan. Mereka menghabiskan seluruh sisa hidupnya dalam rakit terpisah yang diikat dengan seutas tali. Rakit itu akan tetap terapung selama orang yang membuatnya lebih suka membicarakan kerusakannya daripada ancaman buaya atau angin topan. Sebuah kapal mungkin hanya menjadi suatu alat untuk mempertahankan diri. Atau, alat untuk menemukan suatu tempat. Jalannya mungkin tak tentu arah dan perbaikan strukturnya serampangan. Tapi jika kapal itu masih terapung, ia, dengan segala keunikannya tetaplah sebuah kapal.

Satu-satunya hal yang tidak menguntungkan dari kehidupan perkawinan, barangkali adalah kita hanya memiliki seorang teman dalam dunia yang acuh tak acuh. Oleh sebab itu, saya percaya bahwa perkawinan yang berhasil bukanlah hadiah; itu merupakan prestasi. Sebab, kelihatannya saja cinta merupakan hal tercepat di dunia, tetapi sebenarnya pertumbuhan cinta adalah hal yang terlambat di dunia. Tak seorang pun yang benar-benar mengetahui bagaimana cinta yang sempurna itu, hingga mereka telah menikah selama seperempat abad, bahkan mungkin seumur hidup.

Jakarta, 14 Februari 2003