MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Thursday, November 24, 2005

Pelari Cepat di Kelas Maraton

ILLUSTRATED BY PANTAU
SEPERTI sebuah mobil melaju di jalan tol yang direm mendadak, penghentian majalah Pantau medio Februari 2003 membuat orang-orang di dalamnya berhamburan. Tidak ada yang tewas (kecuali korban luka-luka ringan), karena ini bukan kecelakaan serius; ini cuma kejadian biasa bagi kendaraan yang salah urus. Suatu kebiasaan buruk kaum “orang kaya baru” yang awam dalam berinvestasi; tak bisa membedakan antara aset dan liabilitas; besar pasak daripada tiang.

Mungkin tak ada media yang dikelola sepintar dan setolol Pantau. Sebagai majalah bulanan, ia mempekerjakan tak lebih dari 15 orang yang separuhnya mengurusi redaksi. Ia tak perlu menggaji banyak wartawan berstatus karyawan tetap yang bekerja padanya (pintar). Sebagian besar isinya mengandalkan keringat wartawan lepas yang disebut kontributor. Ia membayar produktivitas setiap kontributor senilai Rp 400 per kata atas naskah yang diterbitkan.

Banyak kontributor sudi menulis di Pantau karena media ini menawarkan ”kemewahan" lain. Mereka bisa menulis apa saja dengan cara, sudut pandang, dan gayanya masing-masing. Penulis Pantau sangat menghagai kemewahan ini, sebab mereka berkarya dari dalam cita rasa sendiri, minat besar sendiri, dan kepentingannya sendiri; bukannya dari dalam opini atau dugaan akan apa yang digemari orang untuk dibaca.

Untuk membayar gaji karyawan dan honor penulis (termasuk ilustrator serta pelukis untuk halaman depan dan belakang) saja, Pantau menghabiskan sekitar Rp 60 juta (!). Untuk mencetak 3.000 eksemplar tirasnya, ia mengeluarkan sekitar Rp 25 juta. Hebatnya, media sebesar kutu ini bisa menghabiskan Rp 20 juta untuk reportase (tolol). Total jenderal Pantau menghabiskan rata-rata Rp 120 juta per bulan.

Bagusnya, Goenawan Mohammad sendiri menilai struktur pembiayaan Pantau “tak masuk akal”. Itu sudah cukup halus ketimbang, misalnya, “ngawur”, “ngaco”, “sinting”. Itu merupakan kerendahan hati dari orang yang, kita kira, menganggap uang tak berarti apa-apa dibandingkan misi menegakkan benang jurnalisme bermutu. Suatu sikap terpuji yang meletakkan kemampuan di atas kemauan.

Saya tidak bilang pengelola Pantau tinggi hati (walau terkadang pilihan sikap independen bisa membuat orang terkesan “tidak butuh bantuan pihak lain”). Sebuah majalah memang bisa lahir dari peluang dan spekulasi. Bukan kebetulan Pantau lahir dari rahim bernama angan-angan tentang perlunya media yang memantau sepak terjang media lain; tentang perlunya mengapresiasi satu judul tulisan panjang yang tak bertele-tele tapi menawan (walau ada juga yang mengklaim isi Pantau merupakan karya sastra yang tergesa-gesa); tentang perlunya segi dramatik selain substansi cerita. Sumber pendanaan yang jauh dari pretensi komersial memungkinkan Pantau mewujudkan sebuah maket jurnalisme sebenar-benarnya. Maket tersebut diusung, berdiri sendiri menapaki jalannya di tapal batas etika dan estetika. Tepat di tapal batas itulah terdapat pasir bergeser, tempat sebuah komunitas sedang mencoba memancangkan benderanya bernama tanggungjawab profesionalisme.

Pantau, sebagaimana orang yang mencoba peruntungan di bisnis media, punya ”penyakit cakrawala”: melihat publik sejauh mata memandang. Selebihnya, ia menghadapi persoalan pernapasan pada kelas lari maraton. Ia tidak tahu pasti kapan mencapai garis finish; ia harus pandai mengatur napas agar terus bisa berlari. Seorang pelari maraton kawakan selalu bisa mengontrol ritme detak jantungnya; sehingga meski tampak payah, tapi menjelang garis finish dia masih menyisakan daya untuk berlari cepat mengejar lawan-lawannya. Sayangnya, Pantau memilih berlari cepat (sprint) meninggalkan garis start, di mana penonton mengira ia akan memecahkan rekor baru kelas maraton. Atau, mungkin ia merupakan pelari cepat (sprinter) yang bermain pada kelas maraton. Ia kehabisan napas sebelum garis finish.

Oleh sebab itu, kematian Pantau tak perlu disesali. Cukup ditangisi sebentar, jika itu cukup menolong untuk melepas kekecewaan.

Jakarta, 1 April 2003