MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Tuesday, August 24, 1999

Perempuan, Rokok, dan Kafe

ILLUSTRATED BY FERNANDO BOTERO
NORA, 29 tahun, seorang sekretaris eksekutif bergegas masuk ke dalam mobilnya. Ponselnya yang mungil menjerit, tatkala petugas mengambil kartu parkir gedung perkantoran.
"Halo, say! Lagi di jalan. Setengah jam lagi deh gue nyampe," ujar Nora.

Hari telah di ujung senja. Dari sebuah kafe di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, lamat-lamat terdengar alunan tembang Mambo #5. Di kafe bergaya interior the beach party itulah, Sofie dan Novi, dua temannya menunggu.

Seorang pelayan berpakaian ala Hawaii menghampiri. Belum sempat pesanan ditulis, Sofie menyalakan geretan. Disulutnya sebatang rokok putih impor dari bibirnya yang merekah. Dua lainnya tak mau ketinggalan. Dari saku blasernya, Nora pun menggamit sebatang rokok filter lokal di antara dua jarinya. Sementara Novi sibuk dengan perbaikan lipstick-nya.

Perempuan dan kafe. Ah, sulit memilah keduanya dalam satu pembicaraan. Perempuan, Anda pasti tahu makhluk apa dia, dalam konteks dunia kerja, lebih dari sekadar faktor produksi. Dia juga nuansa yang membuat waktu makan siang Anda lebih berarti dari sekadar urusan perut. Kafe, kini juga bukan lagi tempat makan minum sambil menikmati American Top 40. Atau sebuah titik rendevouz. Kafe milik pasangan selebritas kita yang cabangnya di mana-mana, bahkan meyakini cafe is lifestyle.

Nora, Sofie, dan Novi. Disadari atau tidak, perempuan seperti inilah yang memadati kafe-kafe yang ada di Jakarta. Dari yang gedongan, sampai kafe tenda. Mereka representasi gaya hidup khas kehidupan metro hari-hari ini. Sosok yang eklektis dan kosmopolit. Mengenal mereka, sulit melepaskan dari merk ternama, fashion, lagu-lagu baru, ponsel, kafe, dan asap rokok. Yang menarik, sejauh mata memandang, ada fenomena kembar. Baik dari mode pakaian, tas, sepatu, jepit rambut maupun pernik-pernik aksesori nyaris sama. Tak ada yang merasa risih, satu disamai oleh lainnya.

Dengan dandanan serupa, tak mudah jadinya membuat rapor kecantikan spesifik masing-masing. Redefinisi kecantikan alami tak lagi parsial, tetapi kumulatif. Rambut disemir sebagian, alis mata melengkung bak bulan sabit, atau buah dada mancung mengakumulasi wujud kecantikan baru.

Kecantikan dimaksud bukanlah kecantikan an sich, tetapi lebih menekankan sex appeal dan sensualitas modern. Oleh sebab itu, meski cepat akrab, genial, fashionable, humoris, sebetulnya mereka merupakan komoditas yang empuk bagi penjajahan kapitalisme global. Pola hidup konsumtif pun tak terelakkan.

Siapakah mereka?

Dibanding dengan generasi sebelumnya, para perempuan ini dibesarkan dalam atmosfir liberalisasi multimedia. Kalau dulu, di awal 90-an, (Catatan) si Boy-nya Prambors banyak mengilhami munculnya idiom kawula muda, kini posisi tersebut digantikan oleh MTV, publikasi media yang berafiliasi dengan negeri seberang, dan situs-situs entertainment internet.

Jika dulu aktivitas mejeng dilakukan di lapangan parkir, jalan-jalan, dan gelanggang remaja, kini mal dan kafe menggantikannya. Pergi ke dua tempat itu bagian dari gaul (untuk menyebut sosialisasi). Namun, karakterisasi tidak terjadi dalam makna peyoratif - hanya tergantung intensitas satu media - melainkan berlangsung paralel dan bersifat komplementer. Alhasil, software generation ini sekarang lebih mengapresiasi banyak hal. Jangan heran, seseorang bisa menyukai Santana dan Broery Pesolima sekaligus.

Usia mereka berkisar 25-45 tahun. Membedakan mana yang lajang, selain buang-buang waktu, upaya tersebut tidak relevan. Nora misalnya, di rumah dia punya momongan satu setengah tahun. Bagi petualang kafe (clubing) sejati, status perkawinan seseorang tidak mengubah apa-apa.

Biasanya, mereka permisif dalam beberapa hal. Seks pranikah atau di luar pasangan, umpamanya, bukan masalah asal dilakukan secara bertanggungjawab.

Demikian pula perselingkuhan. Untuk soal satu ini, batas-batas selingkuh yang "disepakati" umumnya lebih toleran. Apakah ini berarti sinyal hijau? Jawabnya, bisa macam-macam. Ketika gambar menjadi sebuah kejahatan susila, mereka keki. Kata mereka, it is nothing to do between seni dengan KUHP pasal 282.

Berpenghasilan rata-rata Rp 2,5 juta-Rp 4 juta sudah cukup untuk mampir 2-4 kali seminggu ke kafe atau cuma window shopping di mal-mal. Jika budaya adalah proses dialektika antara manusia, komoditas dan ekosistem, maka perempuan, rokok dan kafe telah menemukan aktualitasnya.

Meski demikian, proses hipokrisi tersebut belum selesai. Alasan utama, mainstream yang sebetulnya masih puritan enggan menerima setulus hati. Misalnya, ngapain perempuan-perempuan itu mangkal di kafe kalau tidak sedang cari seorang borju? Rata-rata masyarakat kita memang bingung membedakan loyang dan emas.

Cerita seputar perempuan merokok di kafe, sudah tentu, berlangsung tahu sama tahu. Yang terang, kafe merupakan satu-satunya halte yang melegitimasi perempuan merokok. Merokok di tempat-tempat umum (kecuali kafe, bar atau diskotik), bukan saja tak pantas, tapi juga melawan frontal mainstream yang ada.

Kalau begitu, sebelum kafe-kafe menjamur, di mana para perempuan ini merokok? Atau, kemunculan berbagai kafe menstimulasi populasi perempuan perokok? Ihwal perempuan merokok, kabarnya, bertalian erat dengan praktik prostitusi dan emansipasi. Kenyataannya, khalayak lebih meyakini aksioma yang pertama.

Masih ingat Rara Mendut? Dialah perempuan cantik rupawan yang berhasil mengilusi rokok sebagai simbol sensualitas dan birahi. Menghisap lisong yang dikulum dan dinyalakan dari bibirnya, menyundut hormon adrenalin lelaki mana pun saat itu.

Segala sesuatu yang diperbuat oleh perempuan, tampaknya gampang dipolitisasi. Dari yang ngider di mal, kongkow di kafe, sampai cara seorang perempuan makan pisang dan minum es krim. Begitu pula perempuan merokok, kerap dimaknai sebagai sesuatu yang berbau porno. Bercak pemerah bibir yang melekat di batang rokok, bagi sebagian pria, menimbulkan fantasi seksual tersendiri.

Kebiasaan merokok beserta legenda yang menyertainya juga mengalami transformasi. Percaya atau tidak, merokok berhubungan dengan maskulinitas seseorang. Lelaki membuktikan kedewasaan, kemandirian status, dan kejantanan. Perempuan perokok tidak membuktikan apa-apa, kecuali pemiuhan (distorsi) ketidaklaziman itu sendiri. Satu hal yang menyamakan motivasi lelaki dan perempuan merokok, yaitu mereka ingin lebih diterima oleh komunitasnya.

Sedikit sekali perempuan menikmati (me)rokok sebagai kebiasaan rutin sebagaimana yang dilakukan lelaki. Kenikmatan yang ada cenderung manipulatif. Kategori penikmat, menjadikan asap rokok - yang diisap, masuk ke paru-paru sedikit, dan ke luar melalui mulut/hidung -sebagai ritual kenikmatan utama. Sehingga memegang atau menaruh rokok menyala di bibir asbak berlama-lama, sama halnya dengan pemborosan.

Kenikmatan perempuan merokok justru terletak pada gaya. Ada wanita yang meyulut filter (konon untuk mereduksi kadar nikotin), sebelum ujung lainnya dinyalakan. Selebihnya, juga tak jauh dari gaya.

Persepsi maskulinitas perempuan perokok kadang dipersonifikasikan lewat jenis dan merk rokok yang dikonsumsi. Perempuan dengan jenis rokok putih hard dan medium, lebih maskukin ketimbang menthol. Wanita dengan merk rokok Marlboro, lebih maskulin tinimbang Pall Mall. Toh, persepsi demikian lebih lekas basi daripada persepsi (orang lain) terhadap perempuan perokok.

Suatu fakta yang repot dicari pembenarannya, bahwa "pereks," perempuan panggilan atau pekerja seks profesional belum tentu merokok. Dipastikan, tidak ada "cewek nakal" yang tidak merokok. Tetapi tidak semua perempuan perokok termasuk "bispak" alias "bisa dipakai." Lihat-lihat dulu rokoknya. Di Yogya dan Jawa Tengah dulu, perempuan yang merokok merk Filtra (kini almarhum), mengisyaratkan "biswa" alias "bisa dibawa." Di Jawa Timur, perempuan-perempuan begini umumnya merokok Bentoel dan Djarum. Di Jakarta dan Bandung, jika Anda memergoki perempuan merokok Dunhill hijau, artinya standby.

Waspadalah, bila di kafe ada seorang perempuan meminjam korek api kepada Anda. Itu pertanda, dia ingin Anda mengenalnya. Kalau sudah begini, dari sisi adab, minimal Anda wajib menyalakannya. Setelah berbincang sejenak, perhatikan arah hembusan asap rokoknya. Jika mengarah langsung ke wajah (bersama bau wangi mulutnya), itu artinya Anda sedang digoda. Jika lebih dari sebatang rokok dihabiskan di hadapan Anda, alamat malam Anda semakin panjang.

Bersiaplah. Suatu hari, Anda akan berkenalan dengan mereka.

Jakarta, Agustus 1999