MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Saturday, August 03, 2002

More Guns, Less Crime

PHOTO BY TARA URBACH
KEPUTUSAN Polri memberi lisensi kepemilikan senjata api (senpi) secara selektif bagi warga sipil pada medio 2002, menimbulkan kontroversi. Jauh sebelum kebijakan ini digulirkan, sudah lama kepemilikan senpi oleh bandar judi, eksekutif, pejabat tinggi negara, dan anggota legislatif dipersoalkan. Kontroversi tersebut memuncak, tatkala Polri melegalkan delapan importir senpi dan amunisi. Bahkan Polri pula yang membesut pameran senpi di Senayan Juli 2002.

Di negeri Paman Sam, perdebatan antara pro dan antisenpi juga berlangsung hingga hari ini. Meski begitu, perdebatan hanya seputar efektivitas penggunaan senpi untuk memberantas kriminalitas. Bukan otentitas dan eksistensinya. Karena kepemilikan senpi dijamin oleh Konstitusi AS amandemen kedua.

Demikian pula, tarik ulur kebijakan kepemilikan senpi antarnegara bagian. Maklu, senpi di sana mengakibatkan terbunuhnya rata 100 warga masyarakat setiap hari dalam 3 ribu kasus kriminal (The Massachussetts Medical Society, 2000). Tapi, dalam bukunya Firearms and Crime (1997), Daniel D. Polsby percaya bahwa senpi bukan faktor menentukan dalam kasus pembunuhan atau bunuh diri. Gun doesn’t kill, people do.

Diktum tadi menyiratkan, hampir tak ada kasus pembunuhan yang sengaja dilakukan dengan senpi. Rekor kejahatan lebih banyak menggunakan benda-benda tajam yang keberadaannya mudah ditemukan. Gun Owners Foundations (GOF) tahun 1999 melaporkan, senpi justru mencegah pembunuhan ketimbang jadi penyebab.

Efek penggentar (deterrent effect) senpi, ditunjukkan oleh hasil studi Departemen Kehakiman AS tahun 1999. Antara lain, tiga dari lima penjahat menjauhi warga bersenpi; 74 persen maling takut ditembak oleh penghuni rumah; 57 persen penjahat lebih takut dengan calon korban yang bersenpi daripada dicokok polisi. Sedangkan dari 2,5 juta orang bersenpi, hanya 8 persen yang berniat membunuh.

Antara senpi (gun) dan kejahatan (crime), terkadang tak ada korelasinya. Dengan kata lain, fenomena warga sipil bersenpi rupanya tak hanya marak di negara yang rawan kriminal. Taruhlah Swiss, Norwegia, Kanada, dan negara bagian (AS) Vermont. Meski hidup tenteram, tapi tak sedikit warga masyarakatnya bersenpi.

Hal itu cuma membuktikan, mereka memiliki sense of self-defense. Bukan pandangan aneh bila ada stiker “fully armed” atau “will shoot back if shot at” di sejumlah mobil mereka. Label itu mengingatkan kita, saat sebagian masyarakat menghadapi kerusuhan massa yang diikuti penjarahan (Mei 1998). Mereka mengecat rumah dan tokonya dengan tulisan “Betawi asli” atau “milik pribumi.”

Toh, hasil studi tersedbut belum menggoyahkan keyakinan pihak antisenpi. Bahwa kepemilikan senpi di kalangan warga sipil justru membuat mereka akan saling ancam dan terancam. Pemberlakuan lisensi kepemilikan senpi barulah hipotesis – more guns, less crime – yang masih perlu diuji kesahihannya.

Dalam konteks menjalankan tanggung jawab, beleid Polri satu ini bukan merupakan solusi. Setidaknya, suatu pilihan terbaik dari yang terburuk. Terlebih Polri telah melepaskan dirinya dari struktur organisasi TNI. Independensinya untuk melindungi dan melayani masyarakat kian mendesak. “Pilihan terbaik” tadi dapat dipahami sebagai berikut.

Satu, eskalasi kriminal nasional yang merajalela di mana-mana memperlihatkan adanya imbalance of terror. Selain karena sense of security masyarakat rendah, sumber daya Polri terbatas, warga sipil sendiri dibelenggu oleh larangan memiliki senpi legal. Para penjahat pun kini tak lagi takut kepada polisi. Apalagi bila diketahui tak bersenpi (UU Darurat tahun 1952).

Dua, tekanan terhadap penegakan HAM begitu besar. Dalam banyak kasus – sentah itu pengadilan massa, tindak anarki, tawuran antarwarga, pembantaian bermotif SARA, pemerkosaan, penjarahan atau perampokan – tindakan represif para polisi dihantui oleh isu HAM. Ketika Polri akan menerjunkan sniper saja, publik sudah bereaksi sedemikian rupa. Penembak misterius (petrus) ala sniper dianggap mengabaikan proses hukum.

Tiga, animo sebagian masyarakat untuk memiliki senpi merupakan captive market tersendiri. Di lain sisi, pelarangan kepemilikan senpi selain sia-sia juga kontraproduktif bagi upaya pencegahan kriminal. Sebab, hanya memunculkan beredarnya senpi ilegal dan tak terdaftar.

Empat, Polri bersungguh-sungguh ingin membuktikan independensinya dari intervensi kepentingan politik pemerintah – yang selama ii menjadikan Indonesia sebagai “negara polisi” (police-state). Yaitu, otoritas keamanan diambil alih sepenuhnya dan sepihak oleh penguasa. Karena sebetulnya Operasi Sapujagat tahun 1970-an yang melucuti senpi milik mantan anggota militer dan warga sipil lebih kental nuansa politisnya. Di mata rezim orde baru waktu itu, kepemilikan senpi dapat merongrong kekuasaannya.

Luput dari kontroversi, hakikat mempersenjatai diri dengan alat apa pun merupakan bagian tak terpisahkan (inheren) dari hak untuk hidup seseorang (civil right). Esensi senjata sendiri semula memang untuk berburu, melawan serangan binatang buas, dan musuh. Alat atau senjata bervariasi mengikuti perkembangan zaman. Mulai dari kapak batu, panah, tombak sampai ditemukan amunisi. Kondrat tersebut melekat sepanjang sejarah peradaban manusia.

Jadi, melarang kepemilikan senpi sama halnya melawan hakikat dan kodrat manusia. Bahwa kemudian terjadi penyalahgunaan atas kewenangan senpi, ekses itulah yang harus dicegah dan ditanggulangi. Baik melalui UU khusus (gun control law), perangkat aturan dan sanksi hukum, maupun mekanisme kepemilikan yang ketat.

Jakarta, 2 Agustus 2002