MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Friday, November 25, 2005

Wartawan Berotak Kiri [4]

ILLUSTRATED BY LAR
MENJADI wartawan berarti menyembah fakta. Ketika menulis, pakailah imajinasi untuk mengungkapkannya. Simak contoh berikut:

Dan sepatu jang berat serta nakal
jang dulu biasa menempuh
djalan-djalan jang mengchawatirkan
dalam hidup lelaki yang kasar dan sengsara,

kini telah aku lepaskan
dan berganti dengan sandal rumah
jang tenteram, djinak dan sederhana

Sandal rumah itu memang telah dipakainja, tapi W.S. Rendra tidak mendjadi djinak. Uban dikepalanja makin bertambah, tapi begitu pula pandjang rambutnja. Kerut-kerut sudah mulai membajang disekitar matanja, tapi pandangan itu masih seperti tatapan anak kidjang – tjuma terkadang berkatjamata. Umur 36, anak 5, isteri 2: statistik ini bisa mengetjutkan laki-laki lain djadi runduk, tapi Rendra tidak runduk. Ia hampir tidak berubah.

Ia memang bukan lagi Willy jang menjeru ibunja “mamma” hingga disadjak-sadjak. Puisinja kini adalah gumpalan ekspresi yang lebih keras, bukan lagi baris-baris ballada dan njanjian manis. Hidup tak lagi ditemuinja seperti gadis ditemui djedjaka remadja, melainkan “hidup telah saja setubuhi dan keringat sudah membasahi randjang;” dan bagi Rendra, itulah sebabnja kemanisan tahun 1950-an susut dari sadjaknja, “karena saja agak kaget setelah mendjumpai hidup ini tidak lagi perawan.”[3]

Intinya, kalau ingin berbicara tentang buruh, berceritalah tentang pohon karet atau kelapa sawit. Kalau ingin meliput kehidupan sekelompok aktivis LSM, pilihlah tokoh yang bau keringatnya bisa tercium. Setidaknya, pelajarilah teknik Ayu Utami menggelitik bahasa lewat romannya, Saman.

Saya tidak menyarankan Anda menjadi sastrawan (meski apa salahnya jadi sastrawan?). Yang Anda butuhkan adalah kemauan untuk memastikan sel-sel otak kiri – tempat kemampuan berbahasa dikendalikan – tumbuh. Yang Anda lakukan adalah mengapresiasi semua karya sastra bermutu. Ini bagus untuk melatih kepekaan dalam berbahasa tulis dan kesehatan jiwa Anda sendiri. Dari situ, Anda akan mengenal kosa kata baru, gaya bertutur, pola-pola kalimat kompleks, paragraf-paragraf yang berkesan, bagaimana membangun ritme ketegangan dan kelucuan, menempatkan kutipan menarik, serta banyak lagi.

Tak berarti Anda harus mencangkok kata-kata sastrawi ke dalam karya jurnalistik. Dengan mengapresiasi karya sastra, Anda akan semakin yakin bahwa bahasa Indonesia punya fasilitas yang cukup bagi mereka yang mau memikat khalayaknya.

Terinspirasi oleh langgam sastra, para wartawan suka menciptakan penyosokan (profiling) terhadap sumber berita. Yang terkenal, misalnya, “manajer satu miliar” untuk menyebut Tanri Abeng. Atau, “kiai sejuta umat” untuk KH. Zainuddin Mz. Atau, “ratu goyang ngebor” untuk pesohor dangdut Ainur Rokhimah alias Inul Daratista. Atau, “seniman serba bisa” untuk Remy Silado. Atau, “paus sastra Indonesia” untuk H.B Jassin. Atau, “kaum sarungan” untuk nahdliyin.
Baru-baru ini, pers Inggris menjuluki Tony Blair sebagai “Tony teflon”, karena kata-kata si perdana menteri ternyata licin (seperti penggorengan teflon) alias bohong soal senjata pemusnah massal di Irak. Saya tidak tahu Paman Bush dijuluki apa.

Itu bagus, karena menunjukkan sang wartawan kreatif dan imajinatif. Pengelola pariwisata mesti berterima kasih kepada wartawan yang telah menyumbang kata “Pulau Dewata” bagi Bali.

Toh, Anda yang terobsesi pada kreativitas dalam penyosokan, tetaplah waspada. Penyosokan sumber berita juga harus mempertimbangkan relevansinya dengan konteks peristiwa. Umpama begini:

Preman asal Flores itu melakukan aksinya di Pasar Tanah Abang.

Penjudi ding-dong bermata sipit itu berusaha menyogok petugas.

Polisi menduga, pengusaha berkulit hitam itu sudah kabur ke luar negeri.

Penyosokan semacam itu bukan saja tidak relevan, tapi juga dapat melukai hati orang lain yang tak ada hubungannya dengan sumber berita. Seperti kata pepatah, untuk membuat kebakaran besar, kita cuma membutuhkan satu kali percikan api kecil. Ingatlah petatah-petitih: “Oleh pedang kita cuma mati sekali. Oleh kata kita terhina bergenerasi.”

Sejumlah wartawan kawakan seperti Mark Kramer, John Hersey, Jimmy Breslin, dan Truman Capote, bahkan mampu “menghidupkan” karya jurnalistik mereka melebihi gaya novelistik, menjadi sinematik. Simak nukilan reportase Hersey bertitel Hiroshima berikut:

I – A NOISELESS FLASH
At exactly fifteen minutes past eight in the morning, on August 6, 1945, Japanese time, at the moment when the atomic bomb flashed above Hiroshima, Miss Toshiko Sasaji, a clerk in the personnel department of the East Asian Tin Works, had just sat down at her place in the plant office and was turning her head to speak to the girl at the next desk. At the same moment, Dr. Masakazu Fujii was settling down cross-legged to read the Osaka Asahi on the porch of his private hospital, overhanging one of the seven deltaic rivers which divide Hiroshima; Mrs. Hatsuyo Nakamura, a tailor’s widow, stood by the window of her kitchen, watching a neighbor tearing down his house because it lay in the path of an air-raid-defense fire lane; Father Wilhelm Kleinsorge, a German priest of the Society of Jesus, reclined his underwear on a cot on the top floor of his order’s three-story mission house, reading a Jesuit magazine, Stimmen der Zeit: Dr. Terufumi Sasaki, a young member of surgical staff of the city’s large, modern Red Cross Hospital, walked along one of the hospital corridors with a blood specimen for a Wassermann test in his hand; and the Reverend Mr. Kiyoshi Tanimoto, pastor of the Hiroshima Methodist Church, paused at the door of a rich man’s house in Koi, the city’s western suburb. And prepared to unload a handcraft full of things he had evacuated from town in fear of the massive B-29 raid which everyone expected Hiroshima to suffer. A hundred thousand people were killed by the atomic bomb, and these six were among the survivors. They still wonder why they lived when so many others died. Each of them counts many small items of chance or volition – a step taken in time, a decision to go indoors, catching one streetcar instead of the next – that spared him. And now each knows that in the act of survival he lived a dozen lives and saw more death than he ever thought he would see. At the time, none of them knew anything.[4]

Atau, simaklah bagaimana Breslin menulis reportasenya tentang prosesi pemakaman jenazah John F. Kennedy. Kata-kata yang mengalir di situ seperti rekaman kamera video: bergerak.

Clifton Pollard was pretty sure he was going to be working on Sunday, so when he woke up at 9 a.m. in his three-room apartment on Corcoran Street, he put on khaki overalls before going into the kitchen for breakfast. His wife, Nettie, made bacon and eggs for him. Pollard was in the middle of eating them when he received the phone call he had been expecting.

It was from Mazo Kawalchik, who is the foreman of the gravediggers at Arlington National Cemetery, which is where Pollard works for a living. “Polly, could you please be here by eleven o’clock this morning?” Kawalchik asked. ”I guess you know what it’s for.”


Pollard did. He hung up the phone, finished breakfast, left his apartment so he could spend Sunday digging a grave for John Fitzgerald Kennedy.

When Pollard got to the row of yellow wooden garages where the cemetery equipment is stored, Kawalchik and John Metzler, the cemetery superintendent, were waiting for him.

“Sorry to pull you out like this on a Sunday,” Metzler said.

“Oh, don’t say that,” Pollard said. “Why, it’s an honor for me to be here.”

Pollard got behind the wheel of a machine called a reverse hoe. Gravedigging is not done with men and shovels at Arlington. The reverse hoe is a green machine with a yellow bucket which scoops the earth toward the operator, not away from it as a crane does. At the bottom of the hill in front of the the Tomb of the Unknown Soldier, Pollard started the digging.

Leaves covered the grass. When the yellow teeth of the reverse hoe first bit into the ground, the leaves made a threshing sound which could be heard above the motor of the machine. When the bucket came up with its first scoop of dirt, Metzler, the cemetery superintendent, walked over and looked at it.

“That’s nice soil,” Metzler said.

“I’d like to save a little of it,” Pollard said. “The machine made some tracks in the grass over here and I’d like to sort of fill them in and get some good grass growing there, I’d like to have everything, you know, nice.”

James Winners, another gravedigger, nodded. He said he would fill a couple of carts with this extra-good soil and take it back to the garage and grow good turf on it.

“He was a good man,” Pollard said.

“Yes, he was,” Metzler said.

“Now, they’re to come and put him right here in this grave I’m making up,” Pollard said. “You know, it’s an honor just for me to do this.”

Pollard is forty-two. He is a slim man with a mustache who was born in Pittsburgh and served as a private in the 352d Engineers battalion in Burma in World War II. He is an equipment operator, grade 10, which means he gets $3.01 an hour. One of the last to serve John Fitzgerald Kennedy, who was the thirty-fifth President of this country, was a working man who earns $3.01 an hour and said it was and honor to dig the grave.

Yesterday morning, at 11:15, Jacqueline Kennedy started walking toward the grave. She came out from under the north portico of the White House and slowly followed the body of her husband, which was in a flag-covered coffin that was strapped with two black leather belts to a black caisson that had polished brass axles. She walked straight and her head was high. She walked down the bluestone and blacktop driveway and through shadows thrown by the branches of seven leafless oak trees. She walked slowly past the sailors who held up flags of the states of this country. She walked past silent people who strained to see her and then, seeing her, dropped their heads and put their hands over their eyes. She walked out the northwest gate and into the middle of Pennsylvania Avenue. She walked with tight steps and her head was high and she followed the body of her murdered husband through the streets of Washington.

Everybody watched her while she walked. She is the mother of two fatherless children and she was walking into the history of this country because she was showing everybody who felt old and helpless and without hope that she had this terrible strength that everybody needed so badly. Even though they had killed her husband and his blood ran onto her lap while he died, she could walk through the streets and to his grave and help us all while she walked.

There was mass, and then the procession to Arlington. When she came up to the grave at the cemetery, the casket already was in place. It was set between brass railings and it was ready to be lowered into the ground. This must be the worst time of all, when a woman sees the coffin with her husband inside and it is in place to be burried under the earth. Now she knows that it is forever. Now there is nothing. There is no casket to kiss or hold with your hands. Nothing materials to cling to. But she walked up to the burial area and stood in front of a row of six green-covered chairs and she started to sit down, but then she got up quickly and stood straight because she was not going to sit down until the man directing the funeral told her what seat he wanted her to take.

The ceremonies began, with jet planes roaring overhead and leaves falling from the sky. On this hill behind the coffin, people prayed aloud. They were cameramen and writers and Secret Service men and they were saying prayers out loud and choking. In front of the grave, Lyndon Johnson kept his head turned to his right. He is President and he had to remain composed. It was better that he did not look at the casket and grave of John Fitzgerald Kennedy too often.
Then it was over and black limousines rushed under the cemetery trees and out onto the boulevard toward the White House.

“What time is it?” a man standing on the hill was asked. He looked at his watch.

“Twenty minutes past three,” he said.

Clifton Pollard wasn’t at the funeral. He was over behind the hill, digging graves for $3.01 an hour in another section of the cemetery. He didn’t know who the graves were for. He was just digging them and then covering them with boards.

“They’ll be used,” he said. “We just don’t know when.”

“I tried to go over to see the grave,” he said. “But it was so crowded a soldier told me I couldn’t get through. So I just stayed here and worked, sir. But I’ll get over there later a little bit. Just sort of look around and see how it is, you know. Like I told you, it’s an honor.”
[5]

Bagaimana meliput optimisme pekerja kerah putih di tengah hiruk-pikuk metropolitan seperti Shanghai? Saya suka bagaimana Pamela Yatsko, seorang wartawati majalah Far Eastern Economic Review, menuliskan laporannya:

Jimmy Zou adalah seorang pegawai bank dan investasi milik provinsi di pelosok negeri. Kami bertemu sambil makan siang di Pasta Fresca, salah satu tempat makan baru masakan Italia di Shanghai. Mengenakan jas luar panjang dari bahan wol untuk melawan dinginnya musim dingin, pria berusia 30 tahun ini terlihat seperti orang kaya. Cincin emas bermata berlian menghiasi jarinya dan kantongnya menggembung berisi telepon seluler model baru – pada umumnya penduduk Shanghai waktu itu masih masih mengandalkan seranta.

“Apa maksud Anda bahwa Anda memunyai seorang teman di bursa saham yang membantu Anda memperoleh banyak uang?” tanya saya.

“Oh, dia (perempuan) menyampaikan berita baik kepada saya.”

“Apa maksud Anda dengan ‘berita baik’?”

“Dia memberitahu saya informasi di dalam cukup awal. Dia akan memberitahu saya saham-A yang sebaiknya dibeli, dan, tidak pernah meleset, dalam dua hari harganya akan naik.”

Memang berita baik. “Berapa banyak uang yang berhasil Anda peroleh tahun itu?”

“Oh, sekitar 200 ribu yuan,” katanya sambil tertawa kecil.

Zou memunyai uang banyak untuk bisa tertawa. Dua ratus ribu yuan bernilai sekitar 24.100 dolar AS. Dia cepat-cepat keluar dari biro turisme dan lebih memilih bisnis perdagangan saham untuk menjadi jutawan dalam arti yuan.

Pada waktu pelayan mengantarkan pesanan cappucino kami, Zou sudah merasa amat santai. “Kalau Anda mau, saya dapat melakukan sesuatu untuk Anda,” katanya, menatap lekat-lekat langsung ke mata saya.

“Tapi saya seorang asing. Saya tidak diperkenankan untuk berdagang saham-A,” jawab saya.
Tidak terkejut, Zou meneruskan: “Tahun 1997 akan menjadi tahun yang amat makmur. Saya amat yakin, bahwa semakin lama semakin banyak peluang yang menunggu kami. Di Cina, bila Anda ingin memperoleh uang, Anda hanya perlu membeli, membeli, membeli, dan pasar saham akan terus naik dan naik lagi! Anda hanya perlu mengetahui kapan menjual dan kapan membeli dan saya yakin mengenai kapan melakukannya. Saya yakin tahun ini saya dapat memperoleh laba 50 persen atau bahkan lebih besar lagi,” katanya sambil tersenyum lebar.

“Bagaimana mungkin Anda begitu pasti?”

“Pasar saham-A mula-mula akan menurun karena koreksi tetapi kemudian harganya akan naik karena ada modal menganggur dalam jumlah yang amat besar di Cina dan sedikit peluang investasi, jadi pasar saham merupakan satu-satunya pilihan … Anda tahu, orang-orang terkaya di Cina hanya mereka yang bermain dalam saham. Beberapa di antaranya tidak memunyai pendidikan tinggi. Tingkat budaya mereka rendah. Mereka tidak memahami seni. Tetapi mereka mengetahui cara mencari uang.”

Pelayan mengantarkan tagihan. Ketika saya membayar, saya bertanya kepada Zou apa pendapat keluarganya mengenai keberhasilannya. Sambil meremas hidung, dia menjawab, “Mereka ingin saya bekerja di sebuah kantor menjadi pejabat pemerintah atau insinyur. Mereka ingin saya menjadi pekerja kerah putih.”

“Tetapi Anda ADALAH pekerja kerah putih.”

“Mereka menduga saya penjudi. Tetapi sekarang, semakin lama semakin banyak orang Cina yang berjudi – dari profesor sampai pekerja sampai pengemis.”[6]

Bagaimana mencampurkan elemen deskripsi, narasi, percakapan, pengadeganan ke dalam loyang cerita yang utuh, silakan baca Harga Sebuah Keaslian.

Kutipan langsung dalam reportase bukanlah sekadar kiat untuk mendistribusi informasi. Ia juga unsur pemikat guna memuluskan jalan cerita. Ia merupakan sesuatu yang sangat penting, berharga, tidak bisa digantikan atau dihilangkan semau gue. Wartawan dan redaktur harus jeli memilih kutipan dari sumber berita untuk diletakkan pada konteks yang tepat.
Kutipan yang baik umumnya merupakan kiasan. Sifatnya orisinil, khas, dan eksklusif. Hingga hari ini, saya ingat kutipan-kutipan seperti:

Lengser keprabon madek pandhita,” kata Presiden Soeharto.

“Tidak peduli kucing itu hitam atau putih, selama ia mampu menangkap tikus, ia adalah kucing yang baik,” kata Deng Xiao Ping.

War can not be divorced from politics even for a single moment,” kata Mao Ze Dong.

Read my lips,” kata Presiden Bill Clinton.

History has called us,” kata Presiden George W. Bush.

“Gitu aja kok repot,” kata Gus Dur.

“Saya ini seperti mentimun. Bagaimana mungkin bisa melawan durian?” kata Amien Rais mengomentari kekalahannya dalam pemilu presiden.

Quand la Chine sêvelera, le monde tremblera,” kata Raja Prancis, Napoleon Bonaparte, tahun 1817. Artinya, ketika Cina bangkit, dunia pun bergetar.

“Yang berani saya janjikan dalam sinetron ini adalah tanpa setan, tanpa kekerasan, dan tanpa pornografi,” kata Arswendo Atmowiloto, sutradara serial Keluarga Cemara.

“Ada tiga penemuan besar dalam peradaban, yaitu api, roda, dan Playboy,” canda Hugh Hefner, 77 tahun, pendiri majalah Playboy.

Memang, sedikit pejabat (terutama orde baru) di Indonesia yang punya pernyataan menarik untuk dikutip. Pernyataan mubazir lebih banyak. Mereka tak terlatih mengemukakan pemikiran atau gagasannya dengan cara sendiri, khas, dan orisinil. Di Amrik, George Seldes sampai membuat dua buku, The Great Quotations (1960) dan The Great Thoughts (1985), yang merupakan kumpulan gagasan dan kutipan terbaik dari sumber-sumber beritanya.

Jangan putus asa. Coba rangsang sumber berita Anda agar menjadi “dirinya sendiri” sewaktu wawancara. Sekali seumur hidup, saya pernah membaca kutipan terbaik dari Jendral (Purn.) TNI L.B Moerdani selama menjabat sebagai Menhankam. Ketika dimintai komentar tentang organisasi militer Israel, dia menjawab, “Saya suka tentara Israel. Di sana tidak ada perkumpulan seperti Dharma Wanita.”

Sebagai wartawan, sekurangnya Anda bertugas membantu orang-orang untuk mengerti apa yang terjadi di sekitar mereka; di desa, di kota, di negara, dan di dunia. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki kecakapan berbahasa seperti Anda. Anda harus bisa memilah peristiwa dan pokok isu yang paling rumit, lalu menyampaikannya ke dalam bahasa yang dapat dimengerti. Jika gagal melakukan hal ini, orang akan berhenti membeli suratkabar atau majalah Anda. Jika ini terjadi, saran saya: carilah pekerjaan lain.

[3] Dikutip dari Rendra, Dimanakah Kau Saudaraku oleh Goenawan Mohamad (Majalah Tempo, 1972).
[4] Dikutip dari Hiroshima oleh John Hersey (Majalah The New Yorker, 1946).
[
5] Dikutip dari buku The Art of Fact (1984) yang disunting oleh Ben Yagoda.
[6] Dikutip dari New Shanghai oleh Pamela Yatsko (John Wiley & Sons, 2003).

9 Previous Page

Wartawan Berotak Kiri [3]

ILLUSTRATED BY RUBEN
KARENA bahasa jurnalistik muncul di media dalam dandanan, maka ia tak luput dari kemungkinan salah persepsi. Bahkan, pada dosis maksimal pun, ini tak terhindarkan – hanya mungkin dikurangi ke tingkat minimal – karena menyangkut dua standar yang saling bertentangan antara pers dan publik. Standar pers berasal dari tradisi, pengetahuan, dan kecakapan mereka. Mereka berusaha mengungkapkan apa yang terjadi. Penekanan penilaian pers terhadap penerimaan publik lebih pada terpeliharanya kredibilitas mereka, ketimbang pada kepekaan publik atas pengaruh liputan.

Sedangkan standar publik, lebih menekankan pengaruh kuat atas liputan. Publik berharap, pers seharusnya menenggang perasaan pembaca, terutama dalam suatu kelompok kecil masyarakat di mana pers diharapkan menjadi pendukung masyarakat. Para anggota publik ingin tahu apa yang terjadi, tapi konteks informasi yang mereka inginkan merupakan suatu jalinan interaksi komunitas, interaksi yang lebih kuat ketimbang interaksi mereka dengan pers. Dalam suatu komunitas tempat mereka berada, mereka berharap pers seharusnya mendukung komunitas, sama seperti para pimpinan komunitas mendukungnya.

Standar pers versus standar publik menguatkan hipotesis, bahwa kualitas komunikasi bukanlah terletak pada apa yang ingin disampaikan oleh penyampai pesan, tapi apa yang dimengerti oleh penerima pesan. Kita akan lihat contoh kasus.

Majalah Tempo edisi 1 - 7 Maret 2004 menerima surat keluhan dari seorang pembaca setianya. Ratih Wulandari, si penulis surat, merasa terganggu oleh jokes pada liputan tentang demam berdarah. Di rubrik kesehatan, Tempo antara lain menulis: “Sepuluh gigitan nyamuk kebun pun tak akan berbahaya, kecuali Anda menyopir mobil di jalan tol.”

Ratih berkomentar: “Saya terenyak. Aduh, kenapa hal serius ini dijadikan bahan bercandaan? Hal yang dibicarakan ini menyangkut nyawa manusia!”

Dia melanjutkan: “Kenapa TEMPO dengan santai menjadikannya olok-olokan begitu? Saya tahu majalah ini memang punya kebiasaan menggunakan jokes yang sedikit ‘nakal’ dalam tulisan-tulisannya, tapi menurut saya jokes di tulisan tersebut tidak pada tempatnya.”

Serba salah. Mungkin Jeng Ratih sedikit terhibur, jika tahu betapa sulitnya Bill Clinton memilih kata-kata yang tepat. Wartawan dan kolumnis hebat pun harus dikerahkan. Ini amat sangat penting mengingat Clinton seorang presiden, yang harus memberikan kesaksian perihal sejauh mana hubungannya dengan Monica Lewinsky.

Majalah Newsweek Asia terbitan 17 Agustus 1998 melaporkan, kalimat pengakuan yang diusulkan kepada Clinton terdiri dari tiga kategori. Yaitu “berterus terang” (core confession), “bermanis-manis” (fudge phrase), dan “berkepribadian”(clever touch). Bahasa di sini tidak bermaksud mengubah soal jelek menjadi baik, melainkan sekadar membantu publik, agar kalau pun harus membeberkan skandal seks seseorang yang memalukan, dapat dilakukan dengan kepala tegak. Kata-kata lunak sekali-kali tak dimaksudkan untuk mengaburkan dan memelintir fakta. Yang terpenting bukan apa yang hendak dikatakan, melainkan bagaimana mengatakannya.

Taruhlah benar Clinton berselingkuh dengan Nona Lewinsky. Semestinya bisa saja dia berterus terang: “Saya menjalin hubungan pribadi termasuk seks,” sebagaimana usul Fred Branfman, seorang wartawan. Dick Morris, mantan penasihat Clinton, menyarankan kalimat manis: “Apa yang telah saya lakukan semata-mata urusan pribadi, bukan politik.” Ariana Huffington, seorang kolumnis, menekankan kesan berkepribadian dan terhormat. Dia mengusulkan kalimat: “Demi kepentingan keluarga, saya tak bersedia bertutur dengan rinci.”

Tak seorang pun mengusulkan agar sebaiknya Clinton berkata: “Ya, saya memang tidur dengannya.” Atau: “Ya, saya bersetubuh dengannya.”

Singkatnya, berbahasa menuntut tata krama dan kesantunan. Bukan cuma benar atau salah, tapi pantas atau tidak pantas. Kebenaran, apa boleh buat, terkadang mesti didandani tanpa kehilangan konteks dan substansinya.

Lewat siaran televisi, Clinton akhirnya memilih kata-kata “hubungan yang tidak "pantas” (relationship … that was not appropriate). Clinton juga menuturkan penyesalannya (I deeply regret that).

Bagaimana reaksi warga AS? Berdasarkan jajak suara, sebagian dari mereka tetap kurang puas dan berpendapat, seharusnya Presiden Clinton juga “minta maaf”. Sebab, nuansa antara regret dan sorry berbeda. Kata “menyesal” bersifat eksklusif terhadap diri sendiri. Sementara kata apologia “maaf”, selain mengandung makna semantis (makna batin) menyesal, sekaligus pula menyiratkan perasaan minta dikasihani, berkesan simpatik.

Praktik berbahasa jurnalistik dengan demikian menuntut diksi yang tepat. Redaktur tak selalu menggubahnya menjadi tampak “feminin”. Terkadang bahasa jurnalistik harus berdandan dengan pilihan kata yang “maskulin” agar lebih bertenaga. Perhatikan:

Sederet gelar yang diselempangkan ke pundaknya – dari Putra Sang Fajar, Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Amirul Amri, sampai Panglima Tertinggi – sudah lebih dari cukup untuk memperlihatkan kebesaran Bung Karno. Tapi, keasyikan berlayar mengikuti angin “revolusi belum selesai” dengan perahu Nasakom, membuat Soekarno lupa daratan. Inflasi ratusan persen, beras sulit, kelaparan meruyak, demonstrasi merebak, membangunkan Soekarno perlahan dari mimpi-mimpinya. Sampai di sini kita tidak tahu pasti, kecuali bahwa kita menduga G30S/PKI merupakan salah satu bangsat terbesar dalam sejarah Indonesia.[2]

Pengajaran tentang diksi tidak mudah. Ini menyangkut karakter, kepekaan, nilai-nilai yang dianut, dan kebijakan redaksional media. Seorang redaktur mengira kalimat berikut sudah tepat diksinya:

Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) membuktikan, pasangan SBY-Kalla lebih populer ketimbang Mega-Hasyim.

Namun, seorang redaktur lain dapat menganggapnya kurang tepat, karena kata membuktikan di situ terasa “kasar”. Maka, dia mengganti kata membuktikan dengan menemukan.

Seringkali, para wartawan berusaha menghindari pengulangan kata yang sama dalam tulisannya. Mereka mengira kata, ujar, ucap, tutur, cetus, ungkap, papar, jelas, terang, sergah, tukas, tandas, dan aku adalah kata-kata yang bersinonim. Padahal, frasa tersebut tidak dapat dipertukarkan satu sama lain begitu saja. Akan bertele-tele jika dijelaskan di sini, tapi saya ambil satu contoh saja:

“Saya tidak bisa menerima perlakuan seperti itu,” aku Sarah Azhari.

Diksi aku di atas keliru, karena seolah-olah Sarah Azhari telah membantah pernyataan sebelumnya, sehingga kini dia mengaku. Padahal, si wartawan hanya enggan menulis kata atau ujar. Hanya saja si wartawan tidak tahu bahwa to say (berkata) berbeda dari to admit (mengaku).

Salah kaprah terjadi pula pada penyebutan status pekerjaan sumber berita. Saya mafhum penyebutan status seperti rohaniawan, wartawan, kamerawan, sejarahwan, ilmuwan, dan sastrawan. Tapi, saya bingung untuk memahami status, misalnya, budayawan. Makhluk apa ini? Apakah wartawan sendiri bingung untuk menjelaskan status orang-orang seperti Goenawan Mohamad, Emha Ainun Najib, Mudji Soetrisno, Eros Djarot?

Encik Mahatir boleh surprise baca suratkabar di negeri jiran. Oleh kerena, di Indonesie so many many pakar. Encik punya dictionary di KL, pakar means cerdik pandai and writing a lot of books.

Nah, jangan biarkan si encik sakit perutnya menahan geli. Sebaiknya, tulislah status orang-orang seperti Roy Suryo, Andi Alfian Mallarangeng, Riswandha Imawan sebagai analis. Roy Suryo, analis multimedia. Riswanda Imawan, analis politik.

Kata pengamat lain lagi. Istilah ini sebetulnya muncul selama Perang Dingin, 1951 - 1989, antara dua kekuatan adidaya, AS dan Uni Soviet. Ketegangan yang menyelimuti kedua belah pihak, membuat media massa di sana was-was untuk terjun ke lapangan. Maka, diambillah orang-orang tertentu yang dapat mengisahkan pergolakan politik di Uni Soviet. Juga Cina. Mereka disebut watcher.

Menjelang diruntuhkannya gerbang Brandenburg – pintu utama Tembok Berlin, di Berlin – pada 22 Desember 1989, istilah tersebut tak lagi digunakan. Jadi?

Jadi, sebelum Kamerad Gorbachev (soalnya Mr. Reagan sudah meninggal) mengira kita sedang mengalami perang dingin, tidak glasnost dan perestroika, gantilah istilah pengamat yang menyesatkan itu. Jangan tanggung-tanggung menggantinya dengan pemerhati atau pencermat (apa pula ini?). Saran saya, tulislah analis.

Bahasa Indonesia mengenal kata perkosa. Seolah belum cukup, wartawan menggantinya dengan kata gagah, garap, gilir, dan antre. Hebatnya, kata-kata ini laksana mantra sihir. Kelenjar adrenalin pembaca (terutama lelaki) akan mengalir cepat kalau membaca berita:

1. Setelah berkenalan, Har menggagahi Mawar saat itu juga.
2. Di dalam gudang tebu itulah Cipluk digarap.
3. Seorang SPG ditemukan pingsan di terminal setelah digilir empat lelaki.
4. Pulang kuliah, seorang mahasiswi diantre lima pemuda berandalan.

Apa salah si mahasiswi di mata wartawan sampai dia diantre? Barangkali wartawan merasa tulisannya takkan menarik jika menulis:

Pulang kuliah, seorang mahasiswi diperkosa lima pemuda berandalan.

Tidak perlu ikut gerakan kaum feminis untuk memahami perasaan perempuan. Wartawan perlu memiliki empati, bahwa perempuan teraniaya bukan cuma oleh perbuatan nyata, melainkan juga oleh kata-kata. Pada konteks tertentu, kata-kata seperti digagahi, digarap, digilir, dan diantre sudah bisa dianggap melecehkan perempuan. Karena ia sengaja dipakai untuk mengeksploitasi peristiwa pemerkosaan supaya lebih dapat “dinikmati” oleh pembaca.

[2] Dikutip dari Kursi RI-1 di Panggung Srimulat oleh A. Bakti Tejamulya (Majalah Forum Keadilan, 2002).

9 Previous Page ; Next Page :

Wartawan Berotak Kiri [2]

ILLUSTRATED BY JIM CROMPTON
TENTU saja seorang wartawan harus memiliki fundamen bahasa Indonesia yang kokoh. Dia harus tahu kaidah-kaidahnya. Sebab, banyak juga lho wartawan yang tak tahu kapan di sebagai awalan dan kapan sebagai kata depan, bilamana menggunakan akhiran i dan kan. Masih ada wartawan yang tak tahu mana subyek, mana predikat.

Kita belum menyadari bahwa morfologi bahasa Indonesia mengenal aturan peleburan fonem p bila diimbuhi awalan me. Artinya, kita tak boleh pandang bulu terhadap semua kata yang berawalan fonem p. Jadi, tulislah memunyai, bukan mempunyai. Tulislah memengaruhi, memedulikan, dan memenetrasi; bukan mempengaruhi, mempedulikan, dan mempenetrasi. Bukankah kita menulis memupuk, bukan mempupuk? Tapi, kita tetap menulis mempelajari, bukan memelajari. Karena ajar yang berstatus kata kerja, bukan pelajar.

Jangan terlalu bersemangat. Bahasa Indonesia mengenal pengecualian pada gugus konsonan (cluster) yang mengikuti fonem p. Misalnya, kata prakarsa, kritik, protes, dan proses. Opa Rosihan Anwar akan marah kalau Anda menulis memrakarsai, mengritik, memrotes, dan memroses. Tulislah memprakarsai, mengkritik, memprotes, dan memproses.

Awalan me masih memusingkan wartawan kebanyakan. Terhadap kata bom, klon (clone), dan cek, misalnya. Bagaimana bila ia diimbuhi me? Apakah membom, mengklon, dan mencek? Jika ragu, ingatlah ini: terhadap kata yang bersuku satu, awalan me harus dalam bentuk alomorf menge. Alhasil, kita harus menuliskannya dengan mengebom, mengeklon, dan mengecek. Demikian pula jika kata tersebut diberi awalan-akhiran pe-an. Kita menulis pengeboman, pengeklonan, dan pengecekan.

Bagaimana dengan tanda baca? Wah, wartawan-cum-sastrawan Eyang Pramoedya Ananta Toer bisa gusar kalau Anda keder pada tanda baca. Belum lama ini, ada satu naskah saya di Pilars yang disunting oleh redaktur keder. Saya menulis:

Dengan perolehan suara sekitar 26 persen, pada putaran kedua Megawati perlu tambahan suara sedikitnya 24 persen plus satu …

Perhatikan perubahannya:

Dengan perolehan suara sekitar 26 persen pada putaran kedua, Megawati perlu tambahan suara sedikitnya 24 persen plus satu …

Pada naskah lain, saya menulis judul:

Mangkir, Itu Soalnya

Mungkin redaktur penyunting naskah tersebut sedang cekcok dengan kekasihnya. Maka, naskah itu menjadi:

Mangkir, Itu Soalnya!

Saya baru saja melumat sebuah novel pekan lalu. Ada percakapan seperti, “Enyah kau!”; “F … you!”; “Kau akan menyesal!”

Tanda seru pada judul bukannya tak boleh. Bandingkan dengan judul berikut:

Dibilang Intimidasi, Biar!

Judul tersebut saya temukan di majalah Gatra edisi 27 Januari 2001, halaman 68. Isi berita tentang kelompok massa yang membela Gus Dur, agar tetap menduduki kursi presiden. Seorang sumber, Syarifuddin Irsyad, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Sampang, Madura, berkata, “Mau dibilang mengintimidasi, ya biar! Mereka juga melakukan tindakan yang sama.”

Bicara tentang judul, ada kemajuan dalam pers Indonesia. Tidak klise, tidak asal sebagai kepala berita seperti dulu. Kendati begitu, masih banyak wartawan kita yang payah memilih judul. Padahal, kuncinya hanya KISS (keep it short and simple). Harus menarik, tapi tidak menipu. Judul adalah sudut pandang (angle) tulisan. Sedangkan lead (teras) adalah etalasenya. Saya terkesan pada judul seperti:

Tommy dan Proyek Bomnas (Tempo, 2001)

Sudahlah, Gus (Tempo, 2001)

Bukan Kisah 1001 Malam (Tempo, 2004 – tentang tewasnya seorang warga AS yang ditebas oleh kelompok misterius di Bagdad)

Kring Tanpa Kabel dan Antre (Tempo, 2004 – tentang telepon rumah berteknologi telepon seluler)

Wangi Cendana di Pohon Beringin (Tempo, 2004 – tentang dukungan Tutut kepada capres dari Partai Golkar, Wiranto)

Tikungan Terakhir (Pantau, 2001 – tentang drama kematian wartawan Pilar, Rudi P. Singgih)

Tak Ada Film, Raam Pun Jadi (Pantau, 2002)

Mundur untuk Maju (Pilars, 2004 – tentang mundurnya Jusuf Kalla dari jabatan Menko Kesra)

Mingguan Time lebih mengesankan saya. Sepekan setelah tragedi WTC terjadi, barangkali Time merupakan satu-satunya majalah di dunia yang tidak memberi judul pada kulit mukanya. Yang ada hanya sebuah foto yang menggambarkan gedung kembar di New York itu meledak. Bagi Time, peristiwa ini tak perlu lagi dilukiskan dengan kata-kata.

Kalau bisa, biar pun miskin, wartawan harus kaya kata. Syukur bisa menyerap bahasa Nusantara – seperti kata santai yang berasal dari bahasa Ogan Komering, Sumatera Selatan – ke dalam tulisannya. Saya tak tahu kata semelehoi berasal, tapi seksi juga kedengarannya.
Bahasa juga mengalami evolusi, lambat laun dalam waktu yang sangat panjang, ratusan, bahkan ribuan tahun. Dengan usianya yang relatif muda, 76 tahun, bahasa Indonesia ditantang untuk menyerap dan mengungkapkan perasaan serta pikiran masyarakat yang telah berkembang jauh, jauh lebih lama.

Ini bukan melulu perbendaharaan kata. Keanggunan juga. Bahasa yang anggun biasanya tidak lumrah. Misalnya, (kata) litak, tirus, moncer, dedah, sengkarut, kalang, dan digadang-gadang. Akan tetapi, kekerapan penggunaan berpengaruh terhadap keanggunan bahasa. Bahasa yang sebetulnya anggun pun bisa menjadi norak jika terlalu sering digunakan. Contohnya, wacana, kampanye dialogis, demi kepentingan rakyat, persatuan dan kesatuan, bebas dan bertanggung jawab, memasyarakatkan olah raga. Kata-kata tersebut sekarang hanya diucapkan dan ditulis oleh orang-orang yang lémbéng (ganjen). Ia sudah diselewengkan menjadi sekadar slogan propaganda.

Seorang redaktur, saya kira, perlu mengontrol frekuensi pemunculan sejumlah kata tertentu (dibatasi). Itu pertama. Kedua, bahasa yang anggun biasanya terbentuk dari kosa kata lama. Ketiga, bahasa yang anggun senantiasa bercitra baik, positif, luhur.

Sifat keanggunan kata mesti disertai kejujuran. Syahdan, bahasa ilmuwan lebih jujur dan benar walau pun tidak anggun. Bahasa politisi, meski anggun namun penuh kepalsuan. Bahasa sastrawan memang sangat anggun, tapi omong kosong belaka. Nah, maksud saya, bahasa yang anggun itu adalah bahasa orang-orang yang tidak menyandang pedang dan tidak menantang bintang.

Tidak skeptis? Skeptis itu sehat, sehingga wartawan pantas memeliharanya. Skeptisisme menandakan wartawan bukanlah “saluran tanpa kran” dan tidak gampang percaya. Contoh:

Mereka sama-sama berstatus putri ayu yang terpilih setelah melewati seleksi yang menurut penyelenggara melibatkan kriteria cerdas, cantik, dan berkepribadian. Mooryati Soedibyo, Ketua Umum Yayasan Puteri Indonesia, yang menggelar hajatan tersebut sering menyebut kriteria itu sebagai tiga B: brain, beauty, dan behaviour.

Jika sang putri dengan heroik berbicara soal penegakan hukum, itu tentu karena Artika Sari Devi (peraih Puteri Indonesia 2004. –pen.) saat ini adalah mahasiswi program S2 Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Akan tetapi, jika nanti ada kesempatan berkarier di bidang lain, termasuk hiburan, Artika mengaku tidak akan menolak. Paling tidak, kelihatannya menggelar hiburan lebih mudah daripada menegakkan hukum di negeri ini.

Bayangkan jika putri itu nantinya juga berbicara soal penegakan hukum di negeri ini.[1]

Dalam bahasa lisan, makna yang sesungguhnya ditentukan oleh intonasi, sedangkan dalam bahasa tulisan, maksud yang terkandung dilihat dari konteksnya terhadap keseluruhan wacana. Terhadap konteks inilah pertama-pertama seorang redaktur memusatkan perhatiannya.
Demikianlah, saya mengidealisasikan hubungan antara seorang redaktur dan seorang penulis/reporter sebagai hubungan antara seorang penggubah (composer) dan seorang penyanyi. Pandangan yang menempatkan redaktur dan penulis/reporter sebagai hubungan antara pisau dan leher (ih, serem ya), harus diakhiri.

Para wartawan era baru tidak lagi memutuskan apa yang seharusnya diketahui publik. Mereka membantu publik mengerti secara runtut apa yang seharusnya publik ketahui. Ini berarti menambahkan interpretasi atau analisis pada sebuah laporan berita. Lebih tepat jika disebut tugas wartawan era baru adalah memverifikasi apakah informasinya bisa dipercaya, lantas meruntutkannya sehingga publik bisa memahaminya secara efisien. Ini dapat dicapai, apabila antara redaktur dan reporter menghayati hubungan antara penggubah dan penyanyi. Praktik berbahasa jurnalistik sebagai proses “menyampaikan peristiwa” harus mencakup dua nilai sekaligus, yaitu logika dan cita rasa. Keduanya harus disajikan dalam dosis yang seimbang. Punya nalar seperti Albert Einstein, tentu sangat baik. Tapi, akan kering dan hampa bila tak mampu berimajinasi. Sebaliknya, penyajian stilistika bahasa yang menyamai Kahlil Gibran, akan membuat laporan berita sebagai karya sastra yang tergesa-gesa.

Jangan lupa, berita harus selalu dengan peristiwa, peristiwa harus selalu dengan jalan cerita. Di situlah logika dan cita rasa bahasa seorang wartawan diuji.

[1] Dikutip dari Sang Putri Ingin Menegakkan Hukum (Kompas Minggu, 8 Agustus 2004).

9 Previous Page ; : Next Page

Thursday, November 24, 2005

Wartawan Berotak Kiri [1]

ILLUSTRATED BY MARGARET M. WENDELL
Prolog: Tulisan ini di bawah ini sebetulnya merupakan makalah, kompilasi dari banyak sumber pustaka. Beberapa kali dipresentasikan di depan para redaktur suatu media dan asosiasi wartawan yang mengundang saya. Beberapa teman lama yang sempat membaca, menilai makalah ini kaya gagasan, informatif. Membaca Wartawan Berotak Kiri, ini kata salah seorang dari mereka, seperti membaca esai bahasa.
-ABT
-------------------------------------------

PERDANA Menteri Inggris pada Perang Dunia I, David Lloyd George, pernah berkata kepada C.P Scott, redaktur harian Manchester Guardian, “Bila semua orang mengetahui hal yang sebenarnya sekarang, perang akan berhenti esok hari. Tapi, mereka tidak tahu dan tidak pernah tahu.”

Tiga belas tahun silam, tentara Amerika Serikat (AS) menyerang Irak. Pertempuran menewaskan penduduk Kurdi dan kaum minoritas Shiah, dua kelompok warga Irak yang dijanjikan perlindungan dari George Bush dan John Major. Media AS memberitakan, serangan itu “hanya memakan sedikit korban”. Jumlahnya, 250 ribu orang.

Pada medio 1998, NATO mengebomi wilayah permukiman di Kosovo, meneror, dan membunuh orang-orang yang dilindungi oleh Clinton dan Blair. “Serangan meleset,” tulis pers di Brussel. Tentara AS menggunakan pesawat tempur A-10 Warthog, lengkap dengan misil uranium. Inilah yang menyebabkan leukemia pada anak-anak di Irak bagian selatan, sesuatu yang mengingatkan kita pada tragedi di Hiroshima. Dalam pemberitaan BBC, dentuman bom di Kosovo disebut “suara malaikat”.

Tak seorang pun meragukan kebrutalan Milosevic, meski PBB telah meredakan ketegangan antara Serbia dan militer Kosovo pada 25 Maret 1998. Simak bagaimana pers Inggris memberi headline: “Milosevic Lebih Kuat dari Sebelumnya, Terima Kasih NATO.”

Bayangkan juga bagaimana Peter Sissons membuka siarannya di radio BBC: “Selamat malam. NATO melanjutkan serangannya dengan membunuh orang-orang sipil tak bersalah di Serbia. Setelah sepekan membantu 10 dari seribu pengungsi yang melarikan diri saat pengeboman, pemerintah Inggris menyumbangkan 20 juta poundsterling. Jumlah itu sama dengan harga dua buah misil.”

* * *

DARI penggalan cerita diatas, saya hanya ingin menarik garis pemisah antara “menemukan peristiwa” dan “menyampaikan peristiwa”. Vitalitas menuntun keberhasilan wartawan “menemukan peristiwa”, tapi, keberhasilan wartawan “menyampaikan peristiwa” dituntun oleh relativitas. Apa yang wartawan temukan di suatu peristiwa, belum tentu sama dengan apa yang ada di medianya. It is not as it was. Berlindung di balik kebajikan media, tindakan “menyampaikan peristiwa” hari-hari ini merupakan kegiatan yang relatif.

Sama dengan adagium gun doesn’t kill, people do, bahasa jurnalistik untuk “menyampaikan peristiwa” hanyalah alat. Lakunya menuruti derajat ketrampilan wartawan. Mereka yang melatih otak kirinya dengan baik dan benar, bisa menjadikan bahasa jurnalistik sebagai alat merekayasa, memanipulasi, atau memolesi fakta. Separo fakta, setengah dusta.

Namun, wartawan juga bisa menjadikan bahasa jurnalistik sebagai alat efektif memantau kekuasaan dan menyuarakan kepentingan warga masyarakat yang tersisih. Di atas kertas, itu soal pilihan. Umumnya, wartawan yang “tahu terlalu banyak” cenderung memilih bahasa jurnalistik yang mengaburkan fakta. Tujuannya, meminimalkan “kesalahan yang tampak” atas kekuasaan dalam perang, terorisme, pelanggaran HAM, skandal, dan lain sebagainya. Itu sebabnya wartawan perang seperti John Pilger percaya bahwa, “Journalists are not giving us the real story.”

Sementara itu, wartawan yang “tahu terlalu sedikit” cenderung memilih bahasa jurnalistik yang melebih-lebihkan fakta. Tujuannya, memaksimalkan “kesalahan yang tak tampak” atas kekuasaan. Itu sebabnya pengacara seperti Adnan Buyung Nasution menggerutu, “Ini merupakan trial by the press, melanggar asas praduga tak bersalah, dan tak akurat.”
Tuduhan-tuduhan diatas tidak sepenuhnya benar. Terkadang wartawan dan media harus melindungi publik dari gambaran kengerian, penderitaan sehari-hari, dan peristiwa hidup yang kelam. Di bawah payung adab dan moralitas, rekaman video atau foto otentik tentang peristiwa berdarah harus disimpan di dalam laci. Demikian pula bahasa jurnalistik yang akan digunakan, harus dipilah-pilih sedemikian rupa. Itu sebabnya kritikus media seperti Joe Saltzman bersungut-sungut, “It is a good taste, bad journalism.”

Era pers gugup-gagap di era orde baru memang telah berlalu. Praktik berbahasa seperti kurang gizi untuk tidak menulis kelaparan tinggal lelucon. Dulu, pers menulis penyesuaian harga tatkala harga kebutuhan bahan pokok naik mengikuti BBM. Pokoknya, apa saja yang dikataken daripada Presiden Soeharto dan petunjuk Menpen Harmoko, media menurunkan beritanya.
Reformasi melimpahkan politik kekuasaan kini sepenuhnya kepada pengiklan, pemilik perusahaan media, tim sukses, serta pejabat humas dan segerombolan orang berpengaruh.

Ledakan media massa yang mengencangkan persaingan antarmedia, di satu sisi dapat mengendurkan self control terhadap bingkai-bingkai kepatutan. Pada saat bersamaan, media dapat menjadi sangat toleran terhadap kesalahan tampak sumber berita yang kebetulan seorang teman.

Situasi ini mendorong pengelola media massa mengonsolidasi kekuatannya demi kepentingan pragmatis. Bahasa jurnalistik sebagai salah satu elemen kekuatan media terkonsolidasi pada pragmatisme tersebut. Ujungnya, praktik berbahasa tidak lagi menjadi petualangan intelektual yang mengasyikkan di kalangan wartawan. Sebab, politik kekuasaan yang mendistorsi praktik berbahasa, nyaris tak menyisakan ruang bagi tumbuhnya eksperimen dalam berbahasa. Entah soal struktur, langgam, pilihan lead, dan teknik penulisan satu reportase dengan lainnya dibuat nyaris sama. Tapi, “Who cares? Emang gue pikirin?”

Paralel dengan itu, para penyunting/redaktur kita umumnya menempatkan diri sebagai “penghalus”. Mereka bagaikan kertas ampelas yang digosokkan pada berbagai bentuk keaslian. Garis yang membentang antara jurnalisme yang cakap dan sikap orisinalitas semakin kabur. Mereka masih mengurusi telur atau telor, apotik atau apotek, atlit atau atlet, karir atau karier. Mereka lebih suka mencermati teks, tapi malas memeriksa konteks tulisan.

Hikayat Tak Terkubur

ILLUSTRATED BY ATJEHSE NATIONALE HELDEN
PENDERITAAN adalah teman setia rakyat Aceh. Di Aceh, selalu saja ada orang yang mati. Selalu saja ada yang menangis. Selalu saja ada bau-bau kematian.

Mungkin itu sebabnya, hanya di Aceh berkembang seni tradisional yang disebut Sebuku. Sebuah kesenian yang diwujudkan dengan suara melengking, diiringi suara seruling bernada tinggi. Suara itu menyerupai ratapan yang memilukan.

Sebuku sendiri merupakan simbol kepedihan saat menghadapi dua peristiwa akbar dalam hidup manusia: pernikahan dan kematian. Bila seorang perempuan Aceh akan menikah, dia dianggap “hilang” karena meninggalkan sanak keluarganya. Begitu pula kematian – baik karena dimakan usia, perang, maupun bencana alam – merupakan kepedihan.

Bertahan dalam penderitaan telah menjadi bagian dari filsafat hidup manusia Aceh. Sejarah perlawanan Aceh terhadap Portugis dan Belanda membuktikan hal itu. Mereka menyerahkan jiwa raga demi agama dan adat, dua serangkai bagai zat dan sifatnya.

Semakin keras Belanda ingin menaklukkan Aceh, semakin keras pula orang Aceh menghadapinya. Sehingga Belanda perlu mencatat sejarahnya, dari seluruh perang yang pernah mereka lakukan di Nusantara, perang yang paling besar mereka hadapi adalah perang Aceh (1873-1908).

Dalam bukunya bertitel De Atjehers (Rakyat Aceh, 1894), Snouck Hurgronje menulis: Aceh adalah sebuah “negeri perompak” yang sudah tua. Rakyatnya keras, suka berperang, dan sangat fanatik terhadap agama Islam. Hurgronje berkesimpulan, masyarakat Aceh adalah sebuah masyarakat yang sangat heroik. Mereka patut dibanggakan atas keberanian dan kegigihannya melawan kaum penjajah.

Heroisme tersebut terlihat dalam hampir setiap kesenian yang dimainkannya. Kesenian tradisional Seudati, misalnya, menyiratkan karakter gerakan heroik, mirip perang gerilya. Terkadang mereka mundur, lalu maju. Kemudian menghindar, lalu maju, dan mundur lagi. Kesenian ini juga menggambarkan, orang yang sedang membuat figurasi dalam bentuk dinding dan benteng-benteng pertahanan menghadapi sebuah peperangan.

Dilihat dari sikap mentalnya, menurut sejarawan Aboe Bakar Atjeh, orang Aceh hampir sama dengan kaum Badui dari Jazirah Arab yang berwatak keras. Namun, di balik itu orang Aceh juga memiliki sifat yang sangat lembut, penuh seni, melihat dan menilai sesuatu dengan perasaannya.

Ini tak berarti orang Aceh mudah tersinggung. Dalam sebuah hadih maja (kalimat bersayap), ada ucapan: orang Aceh asai hatee beek teupeeh kreeh jeut taraba. Maksudnya: sifat orang Aceh ini kalau hatinya tidak disakiti, dipegang (maaf) alat kelaminnya pun tidak apa-apa.

Masyarakat Aceh mewarisi kesusasteraan yang tertuang dalam banyak hikayat. Salah satunya, Hikayat Putri Geumbak Meueh (Putri Berambut Emas). Sebuah simbol dari masyarakat korban, yakni masyarakat yang disingkirkan untuk merasakan kepedihan sebagai korban, kemudian berjuang untuk mengungkapkan siapa sebenarnya yang mengorbankan mereka.
Hikayat ini hidup secara lisan di tengah masyarakat Aceh sejak abad 17 hingga 18. Tahun 1963, barulah ditulis atas inisiatif seorang sastrawan Aceh bernama Anzib Lamjong. Berkisah tentang 100 anak yang lahir dari rahim seorang perempuan, Syahkeubandi. Anak-anak malang itu dibuang ke sungai oleh istri pertama dan kedua dari Raja Chamsul Khasara. Tapi, ajal belum menjemput. Mereka ditemukan, dipelihara hingga dewasa oleh raksasa yang tinggal di hutan.

Seratus anak ini terdiri dari 99 anak lelaki dan seorang anak perempuan yang berambut emas bernama Geumbak Meueh. Dialah yang lantas berupaya menemukan kembali kedua orang tuanya, meski harus menelan azab dan sengsara.

Di hati masyarakat Aceh, hikayat tak ubahnya kisah 1001 malam yang mendunia. Melalui hikayat, tradisi, sejarah dan pengetahuan dituturkan turun temurun. Dari banyak ragam, Hikayat Perang Sabil dikenal paling banyak mengilhami heroisme masyarakat Aceh. Hikayat yang berwujud sajak ini buah karya seorang ulama besar Aceh, Teuku Chik Pante Kulu yang lahir pada 1836. Sengaja dikarang untuk membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh. Begitu dahsyat pengaruhnya, Belanda melarang keras hikayat satu ini beredar di kalangan masyarakat setempat.

Suatu kali, usai membaca Hikayat Perang Sabil, sekelompok rakyat Aceh langsung mendatangi markas Belanda di Taman Sari Kuta Raja (kini Banda Aceh). Tanpa pikir panjang, mereka membunuh penjajah yang mereka anggap sebagai kape (kafir). Mereka tak memperhitungkan, jika nekad akan mati konyol. Sebaliknya yakin, kalau pun mati melawan Belanda mereka akan mati syahid dengan ganjaran surga.

Syahid sudah menjadi bagian dari setiap napas rakyat Aceh. Dalam perjalanan dari Pidie menuju Meulaboh, kepada pasukannya Teuku Umar berkata, “Beungoh singoh geutanyou jep
kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid
.” (Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau malah akan mati syahid di sana). Beberapa waktu kemudian, setelah tiba di kota kelahirannya itu dan lewat pertempuran terbuka, dua buah timah panas dari senjata pasukan VOC Belanda merobohkan Teuku Umar.

Saya kira, inilah yang sedang diyakini oleh masyarakat Aceh setelah bencana gempa dan tsunami sekarang. Masyarakat Aceh kini tidak saja menganggap bencana alam sebagai cobaan, tapi yakin bahwa inilah bentuk kecintaan Sang Khalik kepada mereka. Karena dengan begitu, rakyat Aceh akan ditinggikan derajatnya di hadapan Allah.

Jakarta, 10 Januari 2005

Menyambut Kovach, Mengenang Seldes

ILLUSTRATED BY ROBERT SHETTERLY
Prolog: 1 – 17 Desember 2003, Bill Kovach mengunjungi Medan, Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, dan Bali untuk meluncurkan bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme yang dikerjakan bersama Tom Rosenstiel. Dalam bagian akhir ucapan terima kasihnya, Kovach dan Rosenstiel menulis, “Akhirnya kami berutang budi kepada wartawan-wartawan yang berkiprah sebelum kami, yang membantu menciptakan Amandemen Pertama dan kemudian memberinya makna ...”

Tulisan yang akan Anda baca di bawah ini ― dihimpun dari beberapa sumber ― sekadar menggenapi spirit lawatan Kovach di Indonesia; jurnalisme bermutu menuntut pengorbanan. George Seldes, seorang wartawan seangkatan Walter Lippmann adalah salah satu “korban”-nya.


-----------------------------


GEORGE SELDES, orang yang terlupakan dalam sejarah jurnalisme. Namanya tenggelam, jauh di bawah popularitas Bill Kovach, apalagi Walter Lippmann (1889 – 1974). Iseng menguji tingkat keterkenalan mereka, saya meng-klik setiap nama tersebut lewat www.google.com. Hasilnya, 40.800 situs yang terkait dengan Lippmann, 19.500 situs untuk Kovach, dan 9.320 untuk Seldes. Nama Goenawan Mohamad – ini puncak keisengan saya – 2.930 situs.

Ketika berpulang pada usia 104 pada 2 Juli 1995, nama Seldes tidak memperoleh banyak liputan dari pers. Sewaktu harian New York Times memberi dia obituari pendek, kebanyakan media malah mengabaikannya. Majalah Time menghargai Seldes dengan 40 kata, Newsweek tidak sepatah kata pun. Begitu pula The Nation, In These Times dan Extra!, apalagi media massa kiri.

Suatu hari di musim panas tahun 1992, untuk pertama kali Randolph T. Holhut menemui Seldes di rumahnya yang terbaring akibat stroke. Seldes tidak terlalu ingat pada peristiwa mutakhir, tapi ingatannya pada masa lalu luar biasa. Kondisi tubuhnya payah, sehingga tak bisa jalan tanpa bantuan. Pandangan matanya masih bagus, tapi pendengarannya buruk.

Holhut, seorang wartawan di New England, AS, semula berniat mewawancara untuk penulisan kolom berseri tentang kehidupan Seldes. Holhut datang lagi ke Vermont untuk penulisan buku terakhir Seldes, Witness to a Century, pada musim semi 1992. Buku ini mulai ditulis Seldes pada usia 96, sebagai ucapan perpisahan bagi orang-orang yang pernah mengenal dia. Membaca Witness, kisah Holhut, seperti duduk di depan serambi depan rumah, mendengar kisah-kisah masa lalu seorang kakek kepada cucunya.

Menurut Holhut, ada tiga nama besar wartawan independen di Amerika: Lincoln Steffens, I.F. Stone dan George Seldes. Steffens dan Stone merupakan dua dari tiga terbaik. Sejumlah artikel dan buku-bukunya seperti The Shame of the Cities, Steffens – bersama Will Irwin, Ida Tarbell dan Upton Sinclair – memukau publik dengan seni muckracking (sebelum istilah investigasi dalam jurnalisme diperkenalkan) sepanjang dekade pertama abad 20.

Stone, seorang reporter kawakan dari Washington, menerbitkan I.F. Stone's Weekly sejak 1953 hingga 1971. Laporan berkala yang ditulisnya sungguh-sungguh melawan pers mainstream Amerika kala itu. Seluruh pekerjaan yang nyaris dilakoninya sendiri menginspirasi generasi baru penulis aliran kiri. Steffens dan Stone dikenal sebagai wartawan sekaligus sejarahwan. Seldes tidak samasekali. Sejarah melupakan kehidupan dan karyanya. Padahal, Seldes terkait erat dengan reputasi Steffens dan Stone.

Kisah tentang George Seldes adalah cerita tentang abad 20. Dia menulis 21 buku yang mencerminkan seorang wartawan investigatif dan – ini yang terpenting – independen. Dialah saksi mata dan pelaku sejumlah peristiwa penting sepanjang abad 20. Seldes merupakan
satu dari empat wartawan yang masuk ke Jerman beberapa saat Perang Dunia I berakhir.

Tahun 1922 di Rusia, Seldes bertemu Vladimir I. Lenin, Leon Trotsky, dan para pendiri Uni Soviet. Selama setahun dia melakukan reportase di sana hingga pemerintah Soviet mengendus muslihatnya menghindari sensor. Dia menulis kronik awal berkuasanya Benito Mussolini di Italia pada 1920-an. Di sini, dia juga terpaksa hengkang karena menolak permintaan untuk menulis sesuai keinginan penguasa fasis. Bersama istrinya, Helen Larkin, dia bertolak ke Spanyol pada pertengahan 1930-an. Dia melaporkan peristiwa penggulingan pemerintahan terpilih secara demokratis oleh Jenderal Fancisco Franco yang dibantu Jerman dan Italia.

Perlawanannya terhadap sensor dan sikap berat sebelah media Amerika kelompok sayap kanan, dituangkan lewat penerbitan berkalanya, In Fact. Koran kecil – terbit sejak 1940 - 1950 – ini terjual sebanyak 176 ribu eksemplar. Meski begitu, independensinya menulis berita di atas nilai-nilai kebenaran, membuat Seldes tersingkir oleh arus utama pers Amerika.

Seldes lahir di Alliance, New Jersey, pada 16 November 1890. Memulai debutnya sebagai reporter di harian Pittsburgh Leader pada usia 19, sebelum jadi redaktur malam di harian Pittsburgh Post lima tahun kemudian. Setelah setahun mengambil kuliah di Universitas
Harvard – atas desakan kakaknya, Gilbert, penulis buku The Seven Lively Arts – dan menjadi penulis budaya, dia pergi ke London pada 1916 untuk bekerja di kantor berita United Press.

Sesaat usai Perang Dunia I meletus, pada 1917 dia meninggalkan United Press menuju Paris. Dia terpilih sebagai G-2-D – seksi pemberitaan di bawah koordinasi Jenderal John J. Pershing – atau koresponden yang diakreditasi sebagai wartawan perang untuk Marshall Syndicate. Setahun kemudian, dia menjadi redaktur pelaksana edisi Angkatan Darat AS di harian Chicago Tribune. Tugas ini yang membawa dia ke fase penting dalam karirnya: mewawancarai panglima tertinggi Angkatan Darat Jerman, Paul von Hindenburg.

Dalam wawancara, Hindenburg menyatakan peranan vital Amerika dalam kekalahan Jerman. “Pasukan Amerika,” ungkap Hindenburg, ”memenangi Perang Dunia ini lewat pertempuran di Argonne.” Para pembaca suratkabar Amerika tak pernah membaca kalimat tersebut. Menurut Seldes, penyensoran yang dilakukan Marshall tersebut justru membingungkan dunia. Karena berita yang ada mengesankan Jerman tidak kalah dalam pertempuran, tapi dikhianati kalangan sendiri oleh kaum sosialis, komunis, dan Yahudi. Belakangan diketahui bahwa inilah kebohongan utama yang dilakukan pendukung Nazisme.

“Kalau saja wawancara dengan Hindenburg lolos dari sensor si tolol Pershing waktu itu, pasti akan menjadi headline di seluruh dunia dan niscaya mengubah persepsi jutaan orang tentang sejarah,” tulis Seldes dalam Witness, ”itu juga akan menghancurkan pengaruh Hitler, mencegah terjadinya Perang Dunia II – suatu peristiwa terburuk dalam sejarah kemanusiaan – dan pasti akan menjadikan masa depan manusia lebih baik.”

Seldes menghabiskan 10 tahun reportase di Eropa untuk Chicago Tribune. Selama itu pula dia menyongsong peristiwa penting, di antaranya pergolakan di Uni Soviet. Ketika Seldes ke Rusia, pemimpin Revolusi Rusia, Lenin, baru saja ditumbangkan oleh Partai Komunis.

Di Moskow 1922, ratusan orang – dari pimpinan Partai Komunis, orator hingga anggota parlemen – berkumpul memperingati lustrum pertama Revolusi Rusia. Mereka mengusung tema “Internasional Ketiga.” “Situasi di ruangan begitu ramai. Tiba-tiba kami mendengar kegaduhan di pintu masuk,” Seldes bersaksi, ”kami melihat seorang lelaki berbadan kecil bertengkar dengan beberapa penjaga. Dialah Lenin yang rupanya tidak diperbolehkan masuk.” Toh, Lenin lantas berhasil masuk, menerima sambutan tepuk tangan yang meriah.

Usai Lenin berorasi dan pertemuan ditutup, di tengah hiruk-pikuk Seldes bersama beberapa wartawan Amerika mencoba mewawancarai orang kuat di Rusia itu. “Seseorang bertanya dalam bahasa Inggris,” kisah Seldes, ”tapi dia menjawab ‘I speak her, ze English, not zo vor goot’. Dia mulai menjawab dalam bahasa Jerman yang untungnya dapat saya kuasai.”

Seldes berada setahun di Uni Soviet meliput Lembaga Bantuan Kemanusiaan Amerika (American Relief Administration/ARA) yang tengah menolong korban kelaparan. Setiap berita yang akan keluar disensor oleh penguasa. Seldes dan wartawan lain yang bertahan pada prinsip kebenaran dalam reportasenya, punya cara menghindari sensor. Berita dikirim melalui kurir diplomatik ARA yang bebas dari pemeriksaan pemerintah Rusia “Kami melakukannya seperti menulis surat yang dimulai dengan kata ‘dengan hormat’, lalu bagian berita, dan diakhiri dengan kata ‘hormat kami’ sebelum dikirim ke London,” jelas Seldes.

Malang tak dapat ditolak, ulah Seldes tercium. Mei 1923, pembesar Rusia mengusir dia. Para wartawan lain seperti Walter Duranty dari harian New York Times mengalah pada penyensoran. “Duranty bilang kepada saya, bahwa pekerjaan bergengsi di Amerika adalah
menjadi wartawan Times,” ujar Seldes, ”tak seorang pun mau kehilangan kesempatan itu (meski harus mengalami sensor).”

Boleh dibilang Seldes merupakan kelompok wartawan pertama Amerika yang berani menulis “apa adanya” tentang fasisme. Tahun 1925, Chicago Tribune menempatkan Seldes di Italia, saat Mussolini mulai berkuasa. Setiap wartawan memiliki salinan pengakuan seseorang yang membunuh Giacomo Matteoti (pemimpin Partai Sosialis sekaligus seteru politik Mussolini). Dokumen tersebut sangat jelas mengindikasikan Mussolini di balik peristiwa itu, toh tak seorang pun berkeinginan menerbitkannya. ”Saya tetap menulisnya,” cetus Seldes.

Berita yang ditulis Seldes ini menghiasi halaman depan Chicago Tribune edisi Paris. Tapi berita itu pula yang memaksanya bergegas ke luar dari Italia setelah sekelompok orang berbaju hitam mencoba membunuh Seldes. Suratkabar utama Amerika pada masa itu memang tengah mendukung fasisme. Mereka beranggapan Mussolini mereformasi Italia dan menjadikan perekonomian di sana lebih baik. “Ini justru menjadikan para wartawan makin sulit melaporkan kejadian sebenarnya,” kata Seldes.

Seldes dikirim ke Meksiko pada 1927, ketika pemerintah AS sedang merebut kembali hak atas pertambangan perusahaan AS yang sebelumnya dicuri oleh penduduk setempat. Dia menulis serial isu tersebut untuk Tribune beberapa saat. Isu yang dimuat ternyata telah disensor untuk menyesuaikan pandangan politik Kolonel Robert McCormack, pemilik dan penerbit Tribune. Seldes menilai sikap McCormack sangat ironis. Terhadap para wartawan yang bertugas di Eropa, McCormack mendukung kebebasan menulis berita sebenar-benarnya. Tapi tidak untuk para wartawan domestik. Pengalaman ini meyakinkan Seldes – wartawan tidak bisa menikmati kebebasan – hingga dia meninggalkan Tribune dan menulis sesuai keinginannya.

Seldes berhenti dari Tribune tahun 1929, melanjutkan obsesinya sebagai wartawan independen. Dua buku pertamanya, You Can’t Print That! (1929) dan Can These Things Be! (1931) merupakan catatan sejarah yang tak pernah dilaporkannya di Tribune. Buku berikutnya, World Panorama (1931), bahkan merupakan catatan naratif tentang sejarah pasca Perang Dunia I.

Tahun 1932, dia menikahi Helen Larkin, seorang mahasiswi psikologi di Sorbonne. Mereka bertemu di sebuah pesta pada 1929 di Paris. Seldes antusias bercerita tentang pengalaman yang mencekam di Uni Soviet. Dia juga bercerita tentang perlawanannya terhadap rezim diktator komunis. Di lain pihak Helen berniat bekerja pada Ivan Pavlov, seorang psikolog Soviet, kelak setelah studinya selesai. Ini membuat perasaan Helen tidak nyaman karena Seldes seolah
menyindir. “Saya tak berharap akan bertemu Anda lagi, Mr. Seldes,” ucap Helen.

Mereka bertemu lagi tiga tahun kemudian, tanpa pernyataan cinta pada pandangan kedua. Setelah tiga minggu berpacaran, mereka menikah di Paris. Dengan pinjaman uang 5 ribu dolar AS dari Sinclair Lewis, mereka membeli rumah di Woodstock, Vermont. Helen membantu seluruh proyek penulisan Seldes sampai dia meninggal tahun 1979. Usai menyelesaikan penulisan riwayat Gereja Katolik (The Vatican: Yesterday-Today-Tomorrow) dan hipokrisi industri alat perang (Iron, Blood and Profits) pada 1934, Seldes mulai melengkapi laporannya tentang kehidupan Mussolini (Sawdust Caesar) sampai tahun 1935. Sejak itu, Seldes memfokuskan perhatiannya pada isu kebohongan pers Amerika, seperti Freedom of the Press (1935) dan Lords of the Press (1938). Dalam buku Freedom, misalnya, Seldes berpendapat, ”Bukan pemerintah, pengiklanlah penguasa utama yang menekan kebebasan pers Amerika.” Tekanan tersebut biasanya tidak langsung. Pers sendiri yang “menyesuaikan diri” tanpa diminta, pada keinginan pengiklan.

Dalam rentang waktu pengerjaan dua buku tersebut, suami istri ini berangkat menuju Spanyol (1937), meliput Perang Saudara di sana untuk harian New York Post. Jerman dan Italia yang di belakang kekuatan pasukan Jenderal Franco, memanfaatkan Spanyol sebagai tempat uji coba senjata dan taktik yang licik. Kaum Republiken yang berjuang merebut kembali negerinya memang menang dalam hal jumlah. Tapi, ”Mereka tak bersenjata, tak punya makanan atau obat-obatan. Pers juga tak memihak perjuangan mereka; sebaliknya pers menjulukinya Kaum Merah (komunis) dan membiarkan mereka tewas,” tutur Seldes kesal.

Suratkabar utama Amerika kala itu hanya melihat dari perspektif Franco, yang digambarkan sebagai pembebas dari komunisme Spanyol. Ini mirip pencitraan terhadap Mussolini dan Hitler yang membebaskan negerinya dari ancaman Kaum Merah. New York Post merupakan sedikit dari harian Amerika yang meletakkan “perspektif lain” pada pemberitaan tentang Perang Saudara tersebut. Tapi akhirnya harian ini mengalah dari tekanan sayap kanan dan gereja Katolik Amerika – keduanya pendukung Franco – yang sebelumnya sempat mengancam boikot. Hal ini mengilhami lebih dari tiga buku Seldes seperti You Can’t Do That! (1938) yang melaporkan penindasan sayap kanan terhadap hak-hak sipil di Amerika; The Chatolic Crisis (1940) yang mengungkapkan keterlibatan gereja dalam organisasi fasisme; dan Witch Hunt (1940) yang memaparkan penyiksaan Kaum Merah di Amerika.

Spanyol jadi katalis bagi Seldes memulai penulisan isu-isu penting sambil membongkar kepalsuan media massa lewat laporan berkalanya, In Fact. Dengan percaya diri Seldes – sebagaimana tercantum dalam masthead – menulis motto An Antidote for Falsehood in the Daily Press (Penawar bagi Kebohongan Suratkabar). Seorang kritikus pers, A.J. Liebling, dalam bukunya The Wayward Pressman (1947) mengomentari, ”In Fact adalah pengganggu kecil yang bagus, persembahan luar biasa dari seorang lelaki dan istrinya.”

Edisi pertama In Fact, mengetengahkan kaitan rokok dan penyakit kanker. “The Nation, The New Republic, The Progressive … tak satu pun dari harian itu menulis isu ini,” kenang Seldes, “selama 10 tahun, kita hidup bersama rokok sebagai racun legal yang kita beli di Amerika.” Isu-isu terpinggir seperti itu yang diangkat Seldes. Para wartawan yang tulisannya tidak dimuat di harian tempatnya bekerja, sering memberikannya kepada Seldes dengan diam-diam. In Fact pun sukses. Ini memperlihatkan banyak orang seperti Seldes di Amerika percaya, tak ada kebenaran yang mereka peroleh dari suratkabar yang ada.

Dekade In Fact, begitu Seldes menyebutnya, menghasilkan empat buku penting. Pertama, “The Facts Are …” (1942) memperlihatkan bagaimana pers Amerika menyesatkan khalayak. Kedua, Facts and Fascism (1943) mengungkapkan motif bisnis di balik fasisme di Eropa dan Amerika. Ketiga, 1000 Americans (1947) memaparkan daftar orang dan perusahaan yang mengendalikan Amerika. Keempat, The People Don’t Know (1949) menjelaskan asal-usul Perang Dingin.

Penindasan terhadap Kaum Merah yang tiada henti dan keputusasaan Kaum Kiri Liberal memaksa Seldes menghentikan In Fact tahun 1950. “Saya dianggap komunis,” ujar Seldes, ”saya tidak pernah, sekali pun tidak akan pernah menjadi komunis, meski Earl Browder (pemimpin Partai Komunis AS) meminta saya bergabung.”

Federal Bureau of Investigation (FBI) memuat daftar – dibuat oleh agen J. Edgar Hoover – pembaca In Fact. Banyak dari mereka lantas membatalkan niat berlangganan karena takut dicap subversif. Beberapa kolumnis suratkabar, terutama Westbrook Pegler, George
Sokolsky, dan Fulton Lewis Jr. seringkali melempar fitnah terhadap Seldes. “Mereka memang bangsat,” maki Seldes, ”mereka menulis dengan mengatakan saya dibayar Rusia lewat agennya yang datang setiap minggu ke kantor saya. Sayang, saya tidak punya uang untuk menggugat mereka. Penasihat hukum saya bilang, ini akan selesai bertahun-tahun. Mungkin saya memenangi gugatan itu, yang jelas habis itu saya pasti tak punya uang sepeser lagi. Tak ada cara yang bisa saya lakukan untuk melawan mereka.”

Seldes mencurahkan waktu, karir, dan kehidupannya selama bertahun-tahun untuk In Fact. Pandangannya tentang pers Amerika tertuang dalam empat buku, masing-masing Tell the Truth and Run (1953), Never Tire of Protesting (1968), Even The Gods Can’t Change History (1976), dan Witness to a Century (1987). Dia juga mengumpulkan gagasan dan kutipan terbaik dari para pemikir besar dunia ke dalam dua buku, The Great Quotations (1960) dan The Great Thoughts (1985).

Faktanya, nama Seldes dalam sejarah jurnalisme benar-benar terkunci di antara kebesaran nama Steffens dan Stone. “Lincoln Steffens adalah bapak baptis kita semua,” Seldes merendah, ”dia memang lebih berpengalaman ketika saya bertemu dengan dia tahun 1919. Dia seorang wartawan investigatif pertama dalam dunia pers. Sering dia mengingatkan, jangan memulai sesuatu dengan imbalan reputasi yang buruk. Tapi saya tidak cemas karenanya.”

Steffens mengilhami Seldes untuk menjadi seorang wartawan investigatif. Sebaliknya, Seldes mengilhami Stone untuk mendirikan suratkabar. “Dia ingin menghidupkan kembali In Fact yang sudah saya tutup,” ujar Seldes, ”tapi saya mengingatkan betapa buruknya risiko yang mesti ditanggung. Lalu, saya berikan daftar pelanggan yang kami sebut Kebebasan Lima Dolar sebelum dia serius mendirikan suratkabarnya.”

Bagi orang yang menyaksikan dan terlibat dalam banyak peristiwa bersejarah, Seldes termasuk lelaki yang rendah hati. Dia samasekali bukan tipe orang yang suka bernostalgia pada kenangan-kenangan manis. “Sungguh sulit memahami betapa bobroknya suratkabar pada masa itu,” kenang Seldes, ”semua sama bejatnya. Mutu suratkabar sekarang jauh lebih bagus.”

Tak ada yang sia-sia dari usaha Seldes. Dialah orang pertama yang menulis bahaya rokok, pada saat sedikit sekali orang Amerika menyadarinya. Dia menjadi penulis pertama yang memelopori pembelaan kepentingan konsumen (consumer reporting). In Fact yang mengilhami lahirnya pers kritis, diadopsi oleh media politik yang bertahan hingga sekarang seperti The Nations, The Progressive, Mother Jones, Tikkun, Utne Reader, In These Times, Z, dan Village Voice.

Meski berada di tengah banyak pertempuran, tak membuat Seldes bersikap konformis pada ideologi tertentu. Sebaliknya, dia terus menemukan kebenaran dan membiarkan fakta berbicara sendiri. Oleh sebagian orang, dia dianggap Kaum Kiri tapi kenyataannya dia menolak ideologi politik Kiri ortodoks dan sektarian. Tulisannya mencerminkan seseorang yang berpandangan terbuka dan tidak memihak. “Tengah-tengah jalan memang tempat yang ramai. Di sana bahkan banyak kendaraan besar yang siap menggilas; radikalisme dan reaksi pasti mendorong kita memilih Kiri atau Kanan,” tulis Seldes dalam bukunya Tell the Truth and Run.

Frasa “tell the truth and run”, menurut Seldes, merupakan peribahasa kuno orang Yugoslavia. “Banyak orang tidak suka pada judul itu,” kata dia, ”mereka bilang, mestinya Tell the Truth and Stay (Katakan Kebenaran dan Tetaplah). Tetap tapi mati! Menurut saya, lebih baik kita lari dan mencari kesempatan lain untuk mengatakan kebenaran.”

Bicara tentang bagaimana dia bisa melampaui waktu satu abad, dia membagi tiga resep, ”Saya tidak minum alkohol, saya setia hanya pada perempuan yang saya kawini selama hampir 50 tahun, dan saya berhenti merokok sejak 1931.”

“Sayalah satu-satunya orang dalam keluarga yang mencapai usia 100 tahun, saya sendiri tidak tahu kenapa. Sekarang saya hanya berbaring seharian di tempat tidur. Padahal, saya ingin keluar dan berteriak bahwa sayalah jahanam di Amerika. Saya tak bisa keluar, karena dokter melarang saya pergi jika tidak ditemani. Saya telah merencanakan penulisan sebuah buku yang nanti berjudul To Hell with the Joys of Old Age. Penerbit bilang, membaca judulnya saja pasti buku itu laku sekitar 20 ribu eksemplar. Saya tidak tahu, apakah masih ada waktu untuk saya,” tutur Seldes lirih.

Usai pertemuan pertama, Holhut mengunjungi dia secara rutin. Sering mereka menikmati makan siang di rumah Seldes, di Hartland-Four-Corners, Vermont. Seldes tua sangat menyukai es krim coklat yang dihiasi biskuit oreo di atasnya. Semangkuk besar bisa habis. Setelah makan siang, biasanya Holhut meminta dia bercerita sekuatnya. Meski berulang kali cerita yang sama, Holhut merasa tak bosan mendengarnya.

Holhut tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang saksi banyak peristiwa bersejarah bisa diabaikan begitu saja oleh kalangan media? Padahal, pada kursus penulisan kolom para wartawan Amerika, buku-buku Seldes acapkali direferensi. Bagi Holhut, buku-buku Seldes mudah dipahami dan sangat membantu. Inilah yang memunculkan ide untuk menerbitkan antologi karya Seldes yang berisikan otobiografi, peristiwa bersejarah abad 20 versi Seldes, kritik terhadap pers, dan kisah petualangannya. Holhut menawarkan ide ini kepada Timothy, keponakan Seldes, seorang agen buku sastra di New York. Ide ini menjadi kenyataan setahun kemudian, sejak Holhut berbincang pertama kali dengan Seldes di kamarnya. Di kamar ini pula, bersama Seldes Holhut menandatangani kontrak penerbitan buku The George Seldes Readers yang disuntingnya. Diterbitkan oleh teman lama seldes, Lyle Stuart, di bawah bendera Barricade Books.

“Mungkin saya tak bisa hidup lebih lama untuk menikmati royaltinya,” ujar Seldes hari itu. Seldes telah mengistirahatkan mesin tiknya. Tapi, dia tampak bahagia, merasa orang lain membantu mengangkat beban berat di pundaknya. Lebih dari sekadar royalti, buku ini merupakan pengakuan dan penghargaan yang tak pernah dia dapat sebelumnya.

Jakarta, 5 Desember 2003

Pelari Cepat di Kelas Maraton

ILLUSTRATED BY PANTAU
SEPERTI sebuah mobil melaju di jalan tol yang direm mendadak, penghentian majalah Pantau medio Februari 2003 membuat orang-orang di dalamnya berhamburan. Tidak ada yang tewas (kecuali korban luka-luka ringan), karena ini bukan kecelakaan serius; ini cuma kejadian biasa bagi kendaraan yang salah urus. Suatu kebiasaan buruk kaum “orang kaya baru” yang awam dalam berinvestasi; tak bisa membedakan antara aset dan liabilitas; besar pasak daripada tiang.

Mungkin tak ada media yang dikelola sepintar dan setolol Pantau. Sebagai majalah bulanan, ia mempekerjakan tak lebih dari 15 orang yang separuhnya mengurusi redaksi. Ia tak perlu menggaji banyak wartawan berstatus karyawan tetap yang bekerja padanya (pintar). Sebagian besar isinya mengandalkan keringat wartawan lepas yang disebut kontributor. Ia membayar produktivitas setiap kontributor senilai Rp 400 per kata atas naskah yang diterbitkan.

Banyak kontributor sudi menulis di Pantau karena media ini menawarkan ”kemewahan" lain. Mereka bisa menulis apa saja dengan cara, sudut pandang, dan gayanya masing-masing. Penulis Pantau sangat menghagai kemewahan ini, sebab mereka berkarya dari dalam cita rasa sendiri, minat besar sendiri, dan kepentingannya sendiri; bukannya dari dalam opini atau dugaan akan apa yang digemari orang untuk dibaca.

Untuk membayar gaji karyawan dan honor penulis (termasuk ilustrator serta pelukis untuk halaman depan dan belakang) saja, Pantau menghabiskan sekitar Rp 60 juta (!). Untuk mencetak 3.000 eksemplar tirasnya, ia mengeluarkan sekitar Rp 25 juta. Hebatnya, media sebesar kutu ini bisa menghabiskan Rp 20 juta untuk reportase (tolol). Total jenderal Pantau menghabiskan rata-rata Rp 120 juta per bulan.

Bagusnya, Goenawan Mohammad sendiri menilai struktur pembiayaan Pantau “tak masuk akal”. Itu sudah cukup halus ketimbang, misalnya, “ngawur”, “ngaco”, “sinting”. Itu merupakan kerendahan hati dari orang yang, kita kira, menganggap uang tak berarti apa-apa dibandingkan misi menegakkan benang jurnalisme bermutu. Suatu sikap terpuji yang meletakkan kemampuan di atas kemauan.

Saya tidak bilang pengelola Pantau tinggi hati (walau terkadang pilihan sikap independen bisa membuat orang terkesan “tidak butuh bantuan pihak lain”). Sebuah majalah memang bisa lahir dari peluang dan spekulasi. Bukan kebetulan Pantau lahir dari rahim bernama angan-angan tentang perlunya media yang memantau sepak terjang media lain; tentang perlunya mengapresiasi satu judul tulisan panjang yang tak bertele-tele tapi menawan (walau ada juga yang mengklaim isi Pantau merupakan karya sastra yang tergesa-gesa); tentang perlunya segi dramatik selain substansi cerita. Sumber pendanaan yang jauh dari pretensi komersial memungkinkan Pantau mewujudkan sebuah maket jurnalisme sebenar-benarnya. Maket tersebut diusung, berdiri sendiri menapaki jalannya di tapal batas etika dan estetika. Tepat di tapal batas itulah terdapat pasir bergeser, tempat sebuah komunitas sedang mencoba memancangkan benderanya bernama tanggungjawab profesionalisme.

Pantau, sebagaimana orang yang mencoba peruntungan di bisnis media, punya ”penyakit cakrawala”: melihat publik sejauh mata memandang. Selebihnya, ia menghadapi persoalan pernapasan pada kelas lari maraton. Ia tidak tahu pasti kapan mencapai garis finish; ia harus pandai mengatur napas agar terus bisa berlari. Seorang pelari maraton kawakan selalu bisa mengontrol ritme detak jantungnya; sehingga meski tampak payah, tapi menjelang garis finish dia masih menyisakan daya untuk berlari cepat mengejar lawan-lawannya. Sayangnya, Pantau memilih berlari cepat (sprint) meninggalkan garis start, di mana penonton mengira ia akan memecahkan rekor baru kelas maraton. Atau, mungkin ia merupakan pelari cepat (sprinter) yang bermain pada kelas maraton. Ia kehabisan napas sebelum garis finish.

Oleh sebab itu, kematian Pantau tak perlu disesali. Cukup ditangisi sebentar, jika itu cukup menolong untuk melepas kekecewaan.

Jakarta, 1 April 2003

Monday, November 21, 2005

Goyangan Itu

ILLUSTRATED BY RUDOLPH PEN
DIALAH sripanggung yang sekarang membuat malamnya lelaki jadi impian dan siangnya jadi kenangan. Dia seorang perempuan 24 tahun dari Pasuruan bernama Ainul Rokhimah. Tapi, biar berkesan gimanaaa gitu, dia dipanggil Inul Daratista.

Mirip legenda Rara Mendut pada zamannya – seorang perempuan rupawan yang sukses mengilusi rokok sebagai simbol sensualitas dan birahi – goyangan Inul menerkam perhatian massa. Menghisap lisong yang dikulum dan dinyalakan dari bibir Mendut, bisa membakar adrenalin lelaki mana pun saat itu. Menyaksikan (maaf) bokong Inul yang berputar-putar seperti ngulek sambel, konon bisa menggoyang iman.

“Iman sih kuat. Tapi si amin ini … alamaaak!” cetus seorang teman berkelakar.

Atraksi Inul yang kini dipergunjingkan di mana-mana, kembali menegaskan bahwa dunia ini sebetulnya di bawah otoritas lelaki (jujur saja, sebagai lelaki, saya malu karenanya). Sebuah dunia yang menempatkan kaum perempuan sebagai medium fantasi kaum lelaki. Dunia fantasi. Dan untuk urusan fantasi, perempuan tak memiliki sebanyak lelaki. Cinta, misalnya, merupakan sejarah lengkap kehidupan perempuan; tetapi hanya sepenggal episode dalam kehidupan lelaki. Meski begitu, pemahaman lelaki terhadap dunia yang digenggamnya tidak juga lebih baik. Jika ada lelaki yang memuji-muji perempuan, tak berarti dia mengenalnya; pada kenyataannya, tidak mengenal perempuan itu. Tapi, lelaki yang memanfaatkan perempuan, mengenal lebih sedikit lagi. Menyaksikan goyangan Inul, hanya membuat kaum lelaki lebih mudah membaca pornografi daripada mengalami seks.

Inul, suka tidak suka, muncul di persimpangan jalan antara moral dan hiburan. Setiap pihak yang memilih jalannya masing-masing saling berpapasan muka, kemudian saling menoleh ke samping, saling menengok ke belakang, sebelum akhirnya bertemu lagi entah kapan. Tak ada kesepahaman, tapi bermusuhan pun juga tidak. Seringkali mereka bahkan tidur di satu ranjang.

Ketidaksepahaman terjadi karena orang memperlakukan moral dan hiburan secara terpisah. Mereka tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Yang tidak seharusnya mereka lakukan, mereka lakukan. Mereka sedang meyakinkan diri, bahwa perubahan akan menyelamatkan mereka tanpa perlu melewati serangkaian azab. Hei, apa yang sesungguhnya terjadi? Tenang, tidak ada apa-apa. Yang terjadi hanyalah keterbelahan kepribadian masyarakat. Kita.

Kita tidak bisa melenyapkan pornografi dengan melarang perwujudannya. Jika kita menyetujui logika bahwa perempuan yang bergoyang aduhai akan mendatangkan fantasi yang macem-macem, kita juga mungkin menyetujui logika bahwa perempuan yang makan pisang ambon di tempat umum akan mendatangkan fantasi yang enggak-enggak. Kegusaran moral adalah kecemburuan bermahkota. Hanya ada satu landasan moralitas yang dibentuk berdasarkan premis bahwa masyarakat sudah cerdas: berhentilah berbohong selamanya.

Saya tidak bisa menerima teori bahwa Inul menyebarluaskan hasrat pemerkosaan dan horor. Saya juga berpendapat bahwa nilai-nilai yang dianutnya patut dikecam. Mungkin juga tidak perlu dikecam, tapi jelas tidak bisa dibanggakan.

Orang yang menilai goyang Inul sebagai “gairah murahan” mungkin tidak terbiasa; mereka terbiasa dengan goyangan Camelia Malik, Kristina atau Liza Nathalia. Tidak ada perempuan tua atau gemuk dalam pertunjukan dangdut sebenarnya. Saya tidak menganjurkan seharusnya ada, tetapi tampaknya jika joget merugikan orang, orang itu adalah perempuan yang tidak bagus untuk ditampilkan di panggung pertunjukan.

Tak diragukan lagi bahwa ada sejumlah perempuan di negeri ini yang mau seperti Inul, (bahkan ada pula yang mau menanggalkan bajunya di depan mata penonton atau kamera), oleh karena itulah satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mencari makan.
Jakarta, 20 Februari 2003

Dua Hati, Satu Denyut Jantung

ILLUSTRATED BY JAMES RYMAN
KISAH suatu perkawinan bisa dimulai dari pasangan bercinta. Saya punya paman, seorang duda tanpa anak. Hidungnya besar, kacamatanya tebal. Dia baru punya teman kencan yang kesekian. Umurnya dua kali lebih muda daripada umur paman. Enam tujuh bulan yang lalu, pernah saya bertanya, ”Apakah dia sudah bilang bahwa dia mencintai paman?”

“Belum.”

“Kenapa paman tidak tanya?”

“Terus terang, aku tidak berani. Tadi kamu bilang apa? Cinta?”

“Ya. Paman mencintai dia, kan?

“Begini ya. Berapa umurmu sekarang?”

“Tiga enam.”

“Oh.”

“Oh?”

“Orang seusiaku … ck, kamu pasti tidak akan mengerti.”

“Oh.”

“Ah, sudahlah.”

“Saya hanya mencemaskan paman.”

“Kenapa cemas? Kamu pikir aku sudah tidak waras?”

“Saya memikirkan kebebasan paman. Hidup paman.”

“Aku terharu mendengarnya. Terima kasih.”

“Saya serius.”

Suasana hening beberapa saat.

“Bagaimana dia?” tanya saya kemudian.

“Menurutku cantik, penuh perhatian, lembut … God damn it, aku kesepian selama ini!”

Cantik? Pertanyaan itu menggelitik saya – sambil membayangkan hidung besarnya – sampai bertemu lagi dengan paman di sebuah restoran yang sama, sepekan setelah pertemuan pertama. Kali ini dia berjanji akan membawa teman kencannya.

“Kenalkan, ini calon bibimu,” ujar paman saat saya datang terlambat.

God damn it! Gadis ini tidak bisa dianggap cantik. Cantik sekali! Mendadak saya kikuk dan merasa dunia ini tidak adil terhadap saya. Saya jadi “obat nyamuk” (yang tak henti-hentinya mencuri pandang gadis itu) bagi mereka. Ingin rasanya saya berkata kepada paman, ”Tolong belikan rokok di Cirebon.”

Di tengah obrolan makan malam yang “berkecamuk” itu, sering saya melihat air muka Paulina, nama si gadis itu, memancarkan rasa bahagia setiap mendengarkan paman berbicara. Tak habis pikir dan tak dapat tidak, muncul pertanyaan dari lubuk hati saya: bagaimana paman bisa memukau gadis semolek itu? Padahal, sulit bagi saya menemukan ketampanan wajah paman. Toh, rupanya tidak sulit bagi Paulina.

Kadangkala, ketampanan memang bukan menjadi soal. Modulasi suara saja seringkali cukup. Ada lelaki yang menggairahkan bila dia mulai berbicara. Sebaliknya, ada lelaki tampan yang sebaiknya jangan membuka mulut karena ditakdirkan bersuara sumbang. Saya memetik pelajaran: orang yang punya pikiran sehat tentang cinta, tidak bisa mencintai. Justru orang yang tidak punya pikiran sehat tentang cinta, bisa mencintai. Dengan kata lain: mencintai adalah mengagumi dengan hati; mengagumi adalah mencintai dengan pikiran.

Lagi-lagi, kita suka memenjarakan pikiran dengan hal-hal stereotype tentang suatu kisah cinta. “… demikianlah, Cinderela akhirnya dipersunting oleh pangeran yang baik hati,” begitu kalau Hans Christian Anderson mengisahkan tokoh-tokoh dongengnya. Romeo dan Juliet. Anthony dan Cleopatra. Paulo dan Francesca. Heolise dan Abeolard. Aucassin dan Nicolette. Sampek dan Engtay. Kita – Anda dan kekasih Anda, saya dan kekasih saya – bagaikan pasangan yang akan naik kapal Nabi Nuh. Macan dan macan. Zebra dan zebra. Tutul-tutul dan tutul-tutul. Garis-garis dan garis-garis.

Kita tidak antusias mendengar dongeng yang lain tentang kisah cinta Quasimodo – lelaki bongkok di Notre Dame – dan Esmeralda atau Beauty and the Beast. Pada kenyataannya, “pasangan janggal” seperti itu lebih banyak memenuhi kapal Nabi Nuh.

Kita boleh tak percaya bahwa dengan label “cinta” saja mereka mau menyandarkan harapan dan kepercayaan satu sama lain. Ketahuilah, cinta memiliki logikanya sendiri (seperti juga matematika cinta: satu ditambah satu sama dengan segalanya; dua dikurangi satu sama dengan tidak ada). Kata “cinta” seringkali dipakai sebagai label bagi gairah seksual kaum remaja; bagi kebiasaan kaum setengah baya; dan bagi saling ketergantungan kaum lanjut usia. Tapi bagi orang yang sudah dewasa (seperti paman), cinta hanya merupakan keinginan memiliki seseorang yang mengkhawatirkannya ketika dia pulang larut malam.

Dalam kehidupan berpasangan (boleh baca: perkawinan) sesungguhnya, terdapat hal-hal yang sepadan maupun tak sepadan. Memang klise, namun tak ada cara lain kecuali saling mengisi. Keburukan ditanggung bersama dan saling memikirkan. Bersama satu tujuan dan keinginan, di situlah mereka tumbuh. Dua hati dengan satu denyut jantung.

Di atas kertas, dua orang yang telah saling mencintai, saling percaya, dan saling menghormati, bisa saja bersepakat menghabiskan sisa hidup bersama. Mereka akan membangun sesuatu yang bagi orang lain tampak sepele, tapi sebenarnya sangat rumit, yaitu sebuah bahtera yang akan bertahan terhadap segala cuaca. Pada praktiknya, orang menikah karena berbagai alasan. Mereka menghabiskan seluruh sisa hidupnya dalam rakit terpisah yang diikat dengan seutas tali. Rakit itu akan tetap terapung selama orang yang membuatnya lebih suka membicarakan kerusakannya daripada ancaman buaya atau angin topan. Sebuah kapal mungkin hanya menjadi suatu alat untuk mempertahankan diri. Atau, alat untuk menemukan suatu tempat. Jalannya mungkin tak tentu arah dan perbaikan strukturnya serampangan. Tapi jika kapal itu masih terapung, ia, dengan segala keunikannya tetaplah sebuah kapal.

Satu-satunya hal yang tidak menguntungkan dari kehidupan perkawinan, barangkali adalah kita hanya memiliki seorang teman dalam dunia yang acuh tak acuh. Oleh sebab itu, saya percaya bahwa perkawinan yang berhasil bukanlah hadiah; itu merupakan prestasi. Sebab, kelihatannya saja cinta merupakan hal tercepat di dunia, tetapi sebenarnya pertumbuhan cinta adalah hal yang terlambat di dunia. Tak seorang pun yang benar-benar mengetahui bagaimana cinta yang sempurna itu, hingga mereka telah menikah selama seperempat abad, bahkan mungkin seumur hidup.

Jakarta, 14 Februari 2003

Wajah Paman Sam

ILLUSTRATED BY ROBBIE CONAL

TAMATNYA Perang Dingin telah mengakhiri zaman pertikaian ideologis. Namun, ia tidak menyudahi sejarah imperialisme. Satu perangkat penaklukan diganti dengan perangkat penaklukan berikutnya. Dan, sejalan dengan era kesejagatan, imperialisme bukanlah teladan masa depan, tapi contoh masa lalu.

Tahun 1895, Jepang mulai mengasah kukunya sebagai kekuatan imperialis baru dengan menyabot Taiwan dari Cina. Tahun 1905, ia memperoleh pampasan perang berupa separuh Semenanjung Sakhalin di Siberia, Semenanjung Liaotung, dan sebagian besar ekonomi Rusia di Manchuria. Tahun 1910, Jepang menganeksasi Korea. Ia juga menggasak banyak perusahaan Jerman di pesisir Pasifik dan Shantung selama Perang Dunia I. Tahun 1920, dunia menandai Jepang sebagai kekuatan imperialis besar di Asia Utara.

Bagi Jepang, penaklukan wajib hukumnya, mengingat kebutuhan ekonomi Tokyo sedang tumbuh waktu itu. Pertumbuhan industri yang melampaui potensi pertanian, membutuhkan barang-barang mentah. Di benak sebagian orang Jepang, kebutuhan-kebutuhan itu bercampur dengan hasrat penaklukan, dominasi, dan (boleh jadi) pembalasan. Penaklukan wilayah utama tersebut tak jauh berbeda dengan operasi para bandit umumnya. Terkadang penaklukan di depan mata terjadi begitu saja, tanpa sebab-sebab yang jelas.

Saat dunia memasuki bagian pertama abad ke 20, rangsangan imperialisme terkait dengan ditemukannya sumber minyak bumi di Arab Saudi, Bahrain, dan Kuwait. Bentangan wilayah antara Maroko dan Irak – terletak di tepi Laut Tengah yang menghubungkan benua Asia, Afrika, dan Eropa – merupakan sumber penghasil minyak yang tiada tara. Sumber-sumber minyak tadi menguatkan nilai strategis dari aspek siasat perang, setelah raja-raja setempat menjadi kaya raya karenanya.

Ketika Perang Dunia I selesai, Prancis memperoleh mandat kekuasaan di Suriah dan Lebanon, hingga menjelang akhir Perang Dunia II. Sedangkan wilayah Palestina diserahkan ke tangan Inggris. Mandat ini berakhir tatkala Israel dimaklumatkan sebagai suatu negara pada 1948, dengan mengabaikan kebencian sebagian besar pemimpin Arab dan syekh-syekh Jazirah Arab. Nama Transyordania sayup-sayup terdengar sebagai mandat Inggris, setelah negeri tersebut menjadi suatu kerajaan pada 1846. Abdullah – seorang putera dari Syarif Husein dari Hedjaz dan saudara dari Faisal – diangkat sebagai raja. Untuk sementara Faisal menjadi raja di Suriah, sampai diusir oleh Prancis dari sana. Tahun 1927, Inggris melantik dirinya sebagai raja di Irak. Di antara negeri yang dijadikan daerah mandat oleh Liga Bangsa Bangsa, Lebanon yang pertama kali memproklamasikan dirinya sebagai republik pada 1941. Irak? Irak memang tak dapat menandingi Suriah dalam hal khazanah kebudayaan, namun Irak merupakan kerajaan Arab pertama yang melepaskan diri dari cengkeraman (mandat) asing. Kemerdekaan Irak diproklamasikan pada 1930 dan mandat atasnya berakhir pada 1932. Itu pun setelah tercapai perjanjian dengan Inggris, yang menjamin pengaruh Inggris di Irak (perjanjian serupa juga diteken dengan Mesir tahun 1936) selama 25 tahun. Tapi tahun 1948, perjanjian tersebut sudah tak ditoleh lagi.

Imperialisme selama Perang Dunia I mengakibatkan negeri-negeri Arab sebelah timur terpecah belah, menciptakan ethnonationalism (nasionalisme yang bercorak etnis lokal) Arab. Perlawanan terhadap imperialisme Eropa di negeri Arab bukannya tidak ada. Cita-cita menuju Pan-Arabisme – mempersatukan segala bangsa yang berbahasa Arab, bukan persatuan dunia Islam – jatuh bangun dipermainkan oleh berbagai kepentingan. Bahkan usai Perang Dunia II – saat ancaman zionisme kian terasa oleh bangsa-bangsa Arab – usaha mewujudkan cita-cita tersebut bagai memahat awan. Baru pada Maret 1945 di Kairo, terbentuklah Liga Arab yang beranggotakan Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Yaman, Lebanon, Suriah, Libya, dan Yordania. Meski demikian, dalam setiap urusan genting (seperti upaya mencegah Perang Teluk) Liga Arab selalu menghasilkan resolusi jalan buntu.

Peristiwa periode Perang Dunia I dan II, diikuti robohnya Uni Soviet, memaksa Amerika Serikat tampil ke muka sebagai sebuah negara yang paling besar kekuasaannya. “… kaya, berpengaruh, dan menurut standar siapa pun sangat berhasil,” puji The Economist, majalah bergengsi dari Inggris. Bisa dimengerti, jika AS mesti pandai-pandai menyesuaikan diri dengan kemauan bangsa-bangsa lain saat berurusan. Di tengah kesadaran seperti itu, AS telah lama memandang dirinya sebagai tempat suaka bin merdeka bagi orang-orang yang tertindas dan dianiaya – dengan demikian telah menghasilkan hal-hal yang begitu baik bagi dirinya dan dunia – sehingga jika ada negeri lain yang tak bisa melihat kebaikan ini, akan mengguncang jiwa Amerika. Di mata AS, masa depan perdamaian dunia bergantung pada kapasitas imajinasi bangsa lain memahami e pluribus unum (satu milik semua). Tak heran, jika dalam hampir setiap pergolakan domestik di suatu negeri, selalu ada orang Amerika di baliknya (yang melakukan pekerjaan sebenarnya).

Orang Amerika mau melakukan apa saja demi memelihara impian dan kebaikan mereka. Tapi, hanya Tuhan yang tahu betapa buruknya bangsa ini gagal dalam menggapai cita-citanya; betapa menyedihkan tafsiran-tafsiran mereka dikuasai oleh prasangka-prasangka buruk; oleh obsesi-obsesi tentang patriotisme yang membutakan terhadap masa depan perdamaian dunia. Mereka dibelenggu oleh pengalaman mereka sendiri, diombang-ambingkan ke sana ke mari – sama seperti semua orang fana berdosa lainnya – oleh sikap berat sebelah, dogma, prasangka, ketakutan sekaligus pengharapan.

Pada tahun sesudah kemenangan Perang Teluk jilid I, etos “Kita adalah nomor Satu” lahir kembali di AS. Presiden George Bush berseru mantap, ”Kita adalah pemimpin dunia yang tidak diragukan lagi.” “Masih tetap nomor satu!” begitulah tulis The New York Times kala itu. Manakala pasukan AS kembali dari Timur Tengah, bangsa ini diliputi perasaan bangga secara berlebihan, hingga mengalihkan diri secara sadar (mungkin juga tidak) dari keruwetan urusan dalam negeri. Perang itu melenakan sesaat dari soal merosotnya hubungan AS dengan Jepang, Prancis, Jerman dan negara-negara industri maju lainnya.

Di sebuah negara, tempat para penguasa dan pengusaha bisa duduk semeja pada pagi hari, ketamakan memang mudah dirancukan artinya dengan patriotisme. Tambahkanlah dengan dosis kekuatan militer yang mencolok, hasilnya niscaya menohok. Untuk tujuan patriotisme, AS kini menerima Inggris, Australia, sebagai cikal bakal bersatunya energi almasih.

Pada tahun menyongsong Perang Teluk jilid II, AS mencampuradukkan unsur-unsur patriotisme, kekuatan militer – ke dalam satu loyang etos “Kita adalah nomor Satu” – dengan kecerdasan visioner dan wahyu kenabian. Perang Teluk jilid II merupakan sebuah seruan untuk bersatu kembali melawan satu kekuatan yang tak tertahankan. Maka, jika sebelumnya Kuwait sudah tahu cara berterima kasih kepada AS saat Perang Teluk jilid I, kelak dunia dibuat menyesal atas ketidakberpihakannya pada AS saat Perang Teluk jilid II. Misi bangsa ini, sebagaimana umumnya bangsa Eropa, memenuhi keinginan “Tuhan yang memihak”: Gesta Dei per Francos untuk bangsa Prancis; Gott mit uns untuk bangsa Jerman; In God we trust, umpatan yang tertera pada setiap lembaran dolar, tuhan yang maha kuasa monoteisme uang dan pasar (menurut Roger Garaudy).

Eropa memang sumber kejahatan imperialisme, bukan Amerika (oya, tentu saja). Kejahatan-kejahatan Eropa terhadap bangsa-bangsa kecil di luar hukum geopolitik (Stalinisme, Hitlerisme, dan hal lain seperti ini) sudah terkenal. Tapi kejahatan-kejahatan itu tidak mengubah secuil fakta sejarah lainnya, bahwa Eropa merupakan tempat lahir Amerika; bahwa Amerika merupakan suatu perluasan peradaban Eropa; bahwa sekitar 80 persen orang-orang Amerika adalah keturunan Eropa. Jadi, apakah itu Eropa atau Amerika sama saja. Jika Eropa adalah contoh imperialis di masa lalu, Amerika adalah contoh imperialis di masa sekarang.

AS sebagai penguasa sementara dunia, kini sedang bersekongkol untuk merampas minyak bumi dari Timur Tengah yang merupakan syaraf pertumbuhan Dunia Barat. Bagi mereka, tidak penting sistem apa yang akan diberlakukan supaya dapat menyelamatkan minyak Timur Tengah. Yang penting, minyak tersebut terus bisa diperoleh. Untuk memenuhi kebutuhannya, hukum-hukum internasional dan perjanjian damai direkennya sebagai kliping gombal. Sementara itu, Israel telah melancarkan program disintegrasi terhadap seluruh negara Timur Tengah.

Jakarta, 7 Februari 2003