MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Saturday, December 31, 2005

Memiliki adalah Menjadi

ILLUSTRATED BY SIMEON LIEBMAN
BENARKAH memiliki (sesuatu) berarti menjadi? Lupakanlah, bila Anda pikir saya hendak bersilat filsafat. Fenomena orang marah ber-handphone mengendapkan pertanyaan eksistensial: bagaimana orang-orang itu berkomunikasi sebelum punya telepon angin? Begitu punya, jadinya kok mereka kelihatan suka bicara dan merasa penting untuk melakukannya. Mereka bercakap melalui ponsel di atas eskalator, sambil antre karcis bioskop, mencari tempat parkir, menunggu bus, turun dari bajaj, memilih durian, membayar belanjaan di kasir, dan di mana-mana.

To have is to be mengandung nuansa hubungan khusus antara individu dan benda milik. Keterkaitan ponsel dengan penggunanya, sesungguhnya tak sekadar hubungan bersifat instrumental atau fungsional. Hubungan tersebut memungkinkan pengguna menegaskan pretensi sosial mereka.

Para produsen hafal betul kredo ini: kegunaan benda-benda selalu dibingkai oleh konteks budaya. Benda-benda dalam kehidupan sehari-hari mengandung makna kultural. Benda-benda bukan hanya digunakan untuk melakukan sesuatu, namun juga bertindak sebagai tanda-tanda makna dalam hubungan sosial.

Lihatlah, bagaimana produsen ponsel kelas dunia bertarung. Antara Amerika dan Eropa. Belakangan, baru sesama Asia (Jepang dan Korea). Nokia mewakili kubu Eropa yang mulai memasukkan unsur keindahan, desain, dan fashion setelah Amerika yang lebih mendahului lima tahun. Bahkan ia membagi produk sesuai sasaran penggunanya.

Untuk remaja tersedia seri 3 dan 5. Buat pecinta keindahan ada seri 8. Lalu bagi pekerja, menanti seri 6, 7, dan 9. Nokia praktis tak meninggalkan bentuk kubus, tapi diberi varian yang centil. Misalnya, cover yang bisa diganti warnanya, seperti pada seri 3210 dan 5110.

Estetikasi tadi mengisyaratkan, benda-benda sebetulnya memiliki kehidupan sosial. Lebih jauh – rujukan atas desain, kandungan teknologi, dan pemanfaatannya – menandakan seolah-olah sebagai karya seni. Antropolog Arjun Appadurai (1986) malang bilang begini: walau dari sudut teoritis manusia sebagai pelaku yang memaknai benda-benda, namun dari sedut metodologis pergerakan bendalah yang menghiasi konteks sosial dan kemanusiaan mereka.

Penjelasan analitis dapat ditelusuri melalui studi antropologis yang dilakukan oleh Marshall Sahlins (1976). Ia berpendirian, masyarakat modern telah mengganti obyek-obyek alamiah dengan obyek-obyek buatan pabrik. Pbyek buatan pabrik berperan sebagai totem baru dunia modern.

Sementara kelompok konsumen bagai suku-suku dalam masyarakat tradisional. Bandingkan dengan, misalnya, konsep totemisme Claude Lévi-Strauss (1964). Strauss mendefinisikan totemisme ialah asosiasi simbolik dari tanaman, hewan atau obyek-obyek lain (alamiah) atas individu atau sekelompok orang yang menandakan karakteristik masyarakat tradisional.

Sistem pakai kita merupakan contohnya. Ia tidak sekadar seperangkat obyek materi untuk membikin pemakainya merasa hangat, melainkan pula sebagai kode simbolik yang digunakan pemakainya untuk mengomunikasikan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial.

Melalui pendekatan serupa, kita pun dapat memahami munculnya klub-klub otomotif. Dari skuter, VW, moge (motor gede) sampai mobil tua. Para ­hog – sebutan bagi pemilik dan pengendara mode Harley Davidson – meyakini aura kebebasan tatkala berada di atas sadel, melintas jalan raya di akhir pekan. Simaklah, bagaimana mereka bergaya laksana koboi kota. Bersepatu but kulit, berkacamata rayban, berkaos tangan, berjam tangan bak meteran air, dan tubuh dibalut jaket denim penuh ornamen tanpa lengan. Serba (berlabel) Harley. Sepeda motor tak cuma dihargai sebatas kemampuannya memindahkan seseorang (medium transportasi), tapi sebagai totem maskulinitas yang merupakan bagian dari kode simbolik.

Menurut literatur tentang kehidupan hog di AS tahun 1982, disebutkan adanya semacam kode etik. Hubungan individual sesama hog lewat penggunaan moge menunjukkan hirarki dalam suatu klub. Hog yang setara teknis tahu seluk-beluk mesin, dikategorikan sebagai pengendara hati-hati. Ia, apa boleh buat, masuk di posisi bawah dalam hirarki internal klub. Hog yang berani mengambil risiko bahaya dan mempertaruhkan hidup, diposisikan pada hirarki atas tanpa mempertimbangkan keahlian mekaniknya. Jika ada hog yang tewas kecelakaan, ia dikubur penuh duka cita dan diberi gelar pahlawan.

Kegunaan benda-benda konsumsi posisional yang telah dimaknai oleh komunitas tertentu, seringkali dikaitkan dengan kehadiran sebuah kelompok sosial baru. Oleh Thorstein Veblen (1925), disebut kelompok senggang (leisure class). Kelas ini dicirikan ingin memamerkan statusnya kepada publik melalui penggunaan spektakuler benda-benda konsumtif selama masa senggangnya.

Mereka adalah kelompok yang cenderung meniru, latah tanpa wawasan memadai. Meski begitu, praktik-praktik konsuksi bukan hanya distimulasi oleh hasrat demi status. Rangsangan untuk ikut-ikutan bukan satu-satunya monster deman konsumen, tapi dipengaruhi pula oleh hedonisme, eskapisme, fantasi, hasrat akan sesuatu yang baru dan nilai identitas.

Legitimasi atas nilai identitas ini kian kukuh tatkala praktik-praktik seperti pengoleksian merebak. Bukankah atas nama seni semua benda bisa dikoleksi? Dari sejumlah obyek primitif, eksotik sampai arkais dapat dipandang sebagai seni. Berdasar pemahaman akumulasi kepemilikan, memiliki nilai identitas itu merupakan sejenis kekayaan tersendiri.

Singkatnya, memiliki adalah menjadi. Kebanyak orang memang mengilustrasikan benda-benda miliknya sebagai citra diri. Kehilangan benda milik dirasa sebagai siksaan pribadi yang berkomplikasi pada penurunan nilai identitas.

Sekali pun status ekonomi ditandai oleh kepemilikan benda, hal ini tidak otomatis indikator pemanfaatan benda-benda budaya. Sebagian masyarakat yang mengandalkan status sosial (minus ekonomi), justru sering menjadi indikator pembawa budaya; tidak selalu bertalian dengan kemakmuran ekonomi. Oleh sebab itu, jangan heran, di saat resesi ekonomi seperti sekarang, banyak orang melakukan praktik konsumsi otonom di luar rasionalitasnya.

Cimanggis, 30 Desember 2005

Tuesday, December 20, 2005

Natal Bersama Lutheran

ILLUSTRATED BY HYMNSAND
PENDETA itu masih berdiri tegak seperti menara Babel. Ini menit ke 55 sejak ia mengucap, “Shalom.” Sesekali merentangkan sebelah lengannya dengan gerakan anggun, tak peduli bahwa dengan begitu ia memperjelas baju batiknya berwarna kuning keemasan yang kusut. Ia sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan terbaik yang dimilikinya. Atau begitulah yang ia harapkan.

Kalau dipikir-pikir, jemaat zaman sekarang sudah keterlaluan. Terlalu banyak menuntut. Menguasai isi Alkitab di luar kepala, lalu menghubungkan konteksnya dengan tanda-tanda zaman, belumlah cukup. Seorang pendeta juga dituntut bisa menyenangkan jemaatnya dengan jokes segar yang dapat membekukan neraka. Ia juga mesti bisa bernyanyi merdu yang dapat membangunkan penghuni surga. Bisa menyembuhkan penyakit mematikan, itu bonus yang tiada tara. Tak ada pendeta yang menyerah pada kekurangan talenta yang akan menentukan prospek reputasinya, biar pun terkadang di luar tanggung jawab yang sanggup ia emban. Lebih baik menyerah pada tuntutan para domba, daripada domba-domba yang sama akan menyelinap keluar satu persatu untuk menemukan gembala lain. Hanya Tuhan yang tahu, betapa sengitnya pergulatan masing-masing pendeta sekarang menggembala domba-domba agar tetap tenang di kandangnya di saat rumput tetangga tampak hijau.

Anak-anak yang berseliweran, cekikikan, memekik, melengking, tak sanggup mengusik dedikasinya, seorang pendeta mana pun yang pernah Anda kenal. Mikrofon yang dicengkeramnya, membuat ia cukup percaya diri untuk tidak menyerah pada keadaan. Ia telah mengalami keadaan yang lebih buruk - bahkan terburuk sepanjang kariernya - daripada malam ini dan, seperti biasa, berhasil mengatasinya.

Domba-domba yang digembalakannya bersila di lantai beralaskan karpet dan lampit, menatap pendeta dengan mimik respek yang dapat diusahakan. Karena ini menit ke 55, mustahil seseorang bertahan dalam posisi yang sama terus-menerus. Saya dapat mengerti alasan orang berlatih yoga.

Keresahan mulai merayap. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal ialah bahwa perut kami keroncongan. Tapi, sebagian alam sadar seluruh orang di ruangan ini pasti segera mengenyahkan godaan yang memalukan itu. Manusia tak hanya hidup dari roti, bukan? Begitulah Kitab Suci bilang.

Meskipun begitu, berapa lama lagi si pendeta akan mengakhiri khotbahnya?

“Amen, Saudara?”
“Ameeen ...” Jemaat menyahut. Sayang, tidak serempak. Tidak apa-apa. Itu sudah cukup untuk membuat pendeta antusias melanjutkan khotbahnya.

Duduk di sini, tak berarti pikiran berada di sini (Descartes benar). “Pak Antonius, kita ini malu pada umat Islam. Meskipun ada yang NU dan Muhammadiyah, tapi mereka bisa mengadakan perayaan Lebaran bersama.” Seorang lelaki berumur datang ke rumah saya sepuluh hari yang lalu.

“Saya bahkan sering diundang menghadiri halal bihalal di kompleks ini.” Hampir saja saya mengatakan, kenapa mesti malu?

“Itu dia.” Matanya berbinar-binar. “Makanya, Natal tahun ini kita coba merangkul. Kristen dan Katolik merayakan Natal bersama. Sekalian untuk mempererat tali persaudaraan di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus.”

“Kalau begitu, yang Islam kita undang saja sekalian.” Saya tidak melucu, serius juga tidak. Inilah akibatnya kalau mulut lebih cepat ketimbang otak. Ia menatap saya sejenak. Ya Tuhan, matanya seolah mengisyaratkan ... ya sudah, mungkin benar saya payah.

Tamu saya tersenyum semisterius Mona Lisa. Sambil mencondongkan kepalanya ke depan, “Janganlah. Ada miss piggy di jamuan makan.”

Perhelatan Natal digelar di sebuah rumah seorang warga budiman di kompleks permukiman kami tinggal di wilayah Cimanggis, Depok. Rumahnya berlainan blok – sekitar 200 meter – dari rumah saya. Sebelum ini, saya belum mengenalnya. Tapi, jenis mobil yang diparkir di garasi dan rumah yang memancarkan kemakmuran, sekurangnya bisa menjadi awal perkenalan tentang status ekonomi pemiliknya. Memang tidak sopan menyinggung masalah penghasilan, tapi apa salahnya berhitung?

“Pasti di sana Kristen semua,” cetus istri sesaat sebelum saya bertekad pergi. Ia dan anak-anak enggan ikut. Ya sudah, karena saya tak terlalu berharap dan tak pernah untuk alasan yang bisa saya terima. Mungkin ia akan meneruskan kalimatnya, kau akan menyesal.

‘Tenang. Mereka tidak menggigit.” Dalam hati saya bersungut-sungut. Bukannya antipluralisme, meski ia menganggap dirinya pengikut Katolik Roma dari ujung rambut ke ujung kaki. Beberapa kali kok ia ikut perayaan Natal bersama di kantornya yang mengundang pendeta. Jadi, selain enggan, ia hanya menggoda saya agar mempertimbangkan kembali tekad saya. Baginya, tekad saya terasa ironi. Dari sekian banyak pertemuan antarwarga Katolik di lingkungan kami, kehadiran suaminya bisa dihitung dalam hitungan jari. Saya tak bisa diharapkan hadir pada – apa itu namanya? – oh ya, pendalaman iman.

Rumah tampak depan Asep J. Satyana, pemiliknya, berarsitektur Mediteranian atau seperti itu. Tiba-tiba Cimanggis rasanya terlalu dekat dengan Yerikho, kota yang didatangi Yesus setelah menyembuhkan seorang pengemis buta. Perawakan Asep yang bertubuh gempal mungkin mirip Zakheus yang digambarkan di Injil, seorang kaya di kota itu. Istrinya seorang perempuan berambut panjang dengan bibir penuh, ibu tiga anak, berkulit segar, lebih tinggi beberapa centimeter dari Zakheus, maaf, Asep. Garis rambut Asep mundur, bukan pertanda ia sudah tua. Tak ada lipatan di kulitnya yang tampak. Saya tak tahu pekerjaannya (yang sanggup menciptakan kemakmuran seperti ini), tapi rasanya bukan kepala pemungut cukai seperti Zakheus.

Setiap sisi dari seluruh dinding dalam rumah yang memanjang, ini dicat dengan warna berbeda. Ada biru langit cerah, hijau apel, ungu anggur muda, kuning markisa, juga warna pink flamingo. Ruangan tempat kami berkumpul merupakan voiding yang menghubungkan lantai satu dan dua, serta ruang tamu dan bagian belakang rumah. Saya menduga ini ruangan keluarga, karena banyak bingkai foto dan lukisan amatir bergambar sosok penghuninya terpampang di tembok; satu set home theatre; dan piranti play station. Keluarga ini agaknya kurang menyukai buku. Pendeta, pusat perhatian kami sementara ini, berdiri membelakangi wastafel dan kamar mandi. Di samping kiri punggung pendeta, ada organ yang dihubungkan ke penguat suara dan seorang pemainnya, lelaki gendut yang duduk dengan tatapan burung hantu. Ia memunggungi pohon Natal setinggi dua meter yang berkelap-kelip lampunya membentuk bayangan birai tangga di dinding.

Dengan gerakan yang tersamar, saya menyapu pandangan sejauh kepala dapat menoleh. Berpura-pura memuntir pinggang, saya menoleh ke belakang, ke kiri, ke kanan. Hasilnya tidak mengejutkan, tapi pasti membuat istri saya akan terbahak-bahak jika mengetahuinya. Cukup banyak orang di ruangan ini membawa Alkitab. Bukan saya berspekulasi bahwa yang tidak membawa Kitab Suci adalah Katolik, kendati itu sudah jadi desas-desus umum. Bisa saja mereka, katakanlah lupa, ketimbang saya yang memang tak pernah membawanya jauh sebelum dibaptis.

Temuan tersebut hanya menguatkan insting, jangan-jangan saya satu-satunya seekor anak domba asing di tengah keluarga besar domba berbulu putih. Ia tak peduli pada perbedaan apa pun sampai ia menyadari perasaan asingnya berasal dari bulunya sendiri yang berwarna abu-abu. Tak satu pun lagu yang dinyanyikan malam ini bisa saya ikuti. Sebaliknya, mereka bersemangat menyanyikannya serentak sampai kaca jendela bergetar. Tenang. Mereka tidak menggigit.

“Amen, Saudara?”

“Ameeen ...” Hadirin menggumam bak suara ratusan lebah. Dan, sebelum gelisah seperti pendosa berat yang berada di dalam gereja, saya berusaha menikmatinya sepanjang sisa malam yang ada. Amen.

“Ingat Saudara, perpuluhan tertulis di dalam Alkitab.” Kata ingat dan Alkitab memaksa saya mengembalikan telinga ke tempatnya.

Ia mengisahkan (kelihatannya ini jokes), ada seorang lelaki yang punya Rp 2.500. Dari rumah, lelaki itu mengeluarkan Rp 1.000 untuk ongkos angkot menuju gereja. Sisanya, Rp 1.000 – yang akan digunakannya sebagai ongkos pulang – dimasukkan ke dalam saku kanan dan Rp 500 ke saku kiri. Mendengar khotbah pendeta di gereja yang bersemangat dan penuh urapan, hatinya begitu riang. Keyakinannya bertambah, sekeras tabut yang dibawa turun Musa dari Gunung Sinai. Sebagai gantinya, kewaspadaan lelaki itu berkurang. Ketika sesi persembahan tiba, tangannya merogoh saku kanan, lantas memasukkan isinya ke dalam wadah kolekte. Seketika itu juga telapak kirinya menepuk saku kiri celananya, gerak refleks berdendang mengikuti ritme musik. Mendadak darahnya terasa mengalir deras seperti air sungai yang menggeleguk di dasar batu, muncul lagi sebelum menjadi air terjun. Terlambat.

Seusai prosesi peribadatan, lelaki itu bergeming di tempatnya. Ia menunggu orang-orang yang berhamburan keluar, sampai seseorang yang menurutnya dapat menolong dirinya, selesai bersalam-salaman.

“Bapak Pendeta, saya ...” Lelaki itu menyeringai lebar. “Saya tidak bisa pulang.”

Hadirin tergelak. Sang pendeta, si pencerita itu, terkekeh menampakkan sebagian geraham kanan atasnya yang ompong.

Entah berapa orang di ruangan ini yang menganggap kisah itu tak sekadar jokes, intermezzo, atau omong kosong. Bagi saya, kisah tadi tersirat pesan: berhati-hatilah, jangan pelit kau pada gerejamu. Sekurangnya, pada saat kolekte malam ini, berilah yang pantas atau ... Mana saya tahu?

Pendeta itu mengakhiri khotbahnya, persis ketika kami di ruangan ini belum sempat membayangkan mikrofon yang dipegangnya sebagai paha ayam goreng tepung. Hadirin beranjak berdiri. Pendeta meminta kami menengadahkan kedua telapak tangan di depan dada sebelum memimpin ritual rutin: banyak memohon, sedikit menyenangkan ego Tuhan. Pembawa acara menggaruk-garuk ketiaknya sebelum mengambil alih mikrofon. Ia mengenakan pantalon hitam dan kemeja lengan panjang berwarna gading dengan dasi yang terlalu lebar untuk ukuran tubuhnya. Tak apa-apa. Ia sangat terlatih dan tampak menyukai pekerjaan sampingannya ini; pantas mendapat kesempatan dua kali.

Ia mempersilakan seorang wanita muda maju mendekati organ. Pendeta di seluruh dunia berutang budi pada seorang pastur Jerman yang melawan hegemoni Vatikan di abad XVI. Berkat kegigihan dan pengaruhnya, malam ini pendeta bersuka cita merelakan istrinya, yang seanggun Katherine von Bora, bernyanyi. Berterima kasihlah kepada Martin Luther.

Kini, tibalah saatnya hadirin menerima ganjaran setimpal atas perbuatan mereka malam ini. Pertama-tama, mereka digiring oleh ketua panitia dengan menempatkan pendeta di depan iring-iringan, menuju belakang rumah. Bagian ini ternyata ruang terbuka, seluas 15 m x 20 m, lebih luas ketimbang ruang sebelumnya. Di tengahnya terdapat sebuah gazebo, lengkap dengan air mancur yang gemericik. Rumput dan aneka tanaman ditata rapi bagai gadis muda pada kencan pertamanya. Di sisi kiri, terdapat atap memanjang ke belakang – lebarnya sekitar 5 m –tanpa dinding. Berlantaikan keramik putih, koridor di bawah atap tersebut ditempati seperangkat lengkap alat band berikut audio system-nya yang terawat. Paling belakang terdapat sebuah ruang kerja berjendela kaca panjang yang dilengkapi pendingin ruangan. Demi Tuhan, keluarga ini pasti banyak melewatkan waktunya di sini.

Seluruh hidangan utama, camilan, hingga pencuci mulut diletakkan di atas beberapa meja di koridor itu. Semua ini sudah lebih dari cukup untuk menjadi bahan bersendawa bersama, kalau mau. Memang tidak sopan, tapi apa salahnya bersenang-senang sedikit? Menunya cukup beragam: ayam goreng, sup asparagus, lalapan plus sambal, ikan cakalang rica-rica, semur daging sapi, dan miss piggy alias BK (babi kecap). Jumlahnya tak sepadan; 2-3 kali lebih banyak ketimbang 30-40 orang yang hadir. Gerimis turun sejak sore; jadi cuaca bisa disalahkan agar tuan rumah tak terlalu berkecil hati. Memang tidak. Asep si tuan rumah justru pandai membesarkan hati tamu-tamunya. Duduk di belakang beduk band, bersama tetangga dekatnya yang siap dengan instrumen masing-masing, ia langsung beraksi. Tenang. Mereka tidak menggigit.

Cimanggis, 17 Desember 2005
Related article(s) :

Saturday, December 17, 2005

Sinterklas Memang Ada

ILLUSTRATED BY PEGGY ADAMS
TAK ada orang yang tidak tahu Sinterklas. Mungkin hanya Elvis Presley yang bisa menandingi popularitas Sinterklas. Sinterklas sendiri bahkan sudah menjadi kata sifat, yang menunjukkan kebaikan hati seseorang dengan semangat memberi (hadiah) penuh sukacita.

Sosok Sinterklas tentu tidak datang begitu saja. Setidaknya, jika Anda percaya pada sejarah keimanan gereja yang mengatakan, pada suatu hari hiduplah seorang anak yang lahir di Patara, Lycia, sebuah provinsi di Asia Kecil (kini Turki) pada tahun 300 sekian. Ia berasal dari keluarga Nasrani yang lumayan kaya, tumbuh, dan menikmati ketaatan pada pendidikan gerejawi. Kedua orangtuanya meninggal dunia (sekaligus meninggalkan warisan) ketika ia masih sangat muda. Anak yang malang (tapi beruntung) itu bernama Nikolas.

Sebuah kisah populer menyebutkan, ada seorang duda yang bermaksud menjual ketiga anak gadisnya ke rumah bordil. Sang duda putus asa karena tak dapat memenuhi mahar untuk menikahkan anak-anaknya. Nikolas mendengar berita itu dan memutuskan untuk membantu.

Di balik tabir malam yang pekat, ia menyelinap ke rumah sang duda, meletakkan sebuah tas berisik emas lewat jendela yang terbuka. Ia berharap, pemilik rumah akan menemukan emas itu untuk membayar mahar bagi anak gadisnya yang tertua. Nik memilih gaya tersendiri, khas seorang budiman tulen yang beroperasi pada saat orang-orang terlelap di malam hari.

Reputasi Nik menyebar. Pada usia muda ia diangkat sebagai Uskup Myra, menggantikan uskup sebelumnya yang wafat. Pada periode ini, ia mengalami banyak penderitaan. Ia ditangkap oleh tentara Kaisar Diocletian dan disiksa selama di penjara beberapa saat. Setelah Kristianitas diakui oleh penguasa, ia hadir di Konsili Nicea (325) dan bergabung dalam kelompok yang mengecam berhala Arianisme (paham yang tak mengakui keilahian Kristus).

Pada masa itu, cukup banyak warga yang sebetulnya tak bersalah dijebloskan ke dalam hukuman dengan dakwaan palsu. Salah satunya, tiga orang warga yang dijatuhi hukuman mati oleh gubernur korup Eustathius. Nik turun membela mereka, sambil menyadarkan Eustathius dengan melakukan penebusan dosa.

Nikolas dipanggil Bapanya pada 6 Desember 343 di Myra, dimakamkan di katedral setempat Hari wafatnya tersebut diperingati sebagai Hari St. Nikolas. Pada abad keenam, Kaisar Yustinus I mendirikan sebuah gereja untuk mengenang Santo Nikolas.

Jasadnya berhasil diselamatkan dari amuk Perang Salib I oleh saudagar Eropa pada 1087, lantas dimakamkan kembali ke gereja baru di Bari, Italia. Paur Urbanus II, pencetus Perang Salib memberkati makam tersebut dengan upacara besar. Sejak itu devosi kepada St. Nikolas menyebar ke seluruh penjuru barat. Lebih dari 400 gereja di Inggris didedikasikan baginya.

Selama beberapa tahun selama abad pertengahan, makamnya banyak dikunjungi oleh peziarah Eropa. Yang menarik, karena aroma mur seringkali tercium di makamnya, tak lama kemudian dia dianggap orang suci yang dijadikan pelindung para pembuat parfum.

Cerita tentang kebaikan hati Nik yang terkenal, entah kenapa, dihubungkan dengan Natal. Di Belanda, tempat budaya ini tampaknya bermula, Santo Nikolas yang di lidah mereka terucap Santa Claus (lidah kita mengucap Sinterklas), diyakini datang pada malam hari menjelang 6 Desember. Ia membawa hadiah bagi anak-anak berperilaku baik, yang biasanya diletakkan di dalam sepatu kayu mereka. St. Nikolas dalam hiasan-hiasan Natal di Belanda dan Jerman selalu digambarkan berkostum seperti seorang uskup, lengkap dengan topi dan tongkatnya; ditemani oleh malaikat yang memegang daftar nama anak-anak berkelakuan terpuji.

Devosi kepada St. Nikolas didistorsi oleh para penganut Protestan di Belanda, yang ingin menghapus ciri khas kekatolikannya. Mereka melucuti simbol-simbol kebesarannya sebagai uskup dan membuat ia terlihat lebih seperti orang Eropa Utara (Nordic), Bapa Natal berbaju merah. Mereka menjalin beberapa legenda tentang Dewa Thor yang mengendarai sebuah kereta kuda dan mengunjungi rumah-rumah melalui cerobong asap.

Pada abad 19, para pengarang Amerika turun berperan mengubah gambaran St. Nikolas. Pada 1820, Washington Irving menulis sebuah cerita tentang Sinterklas yang terbang dengan kereta kuda, membawa hadiah untuk anak-anak. Tiga tahun kemudian, Clement Moore menulis A Visit from St. Nicholas yang lebih dikenal dengan The Night Before Christmas. Cerita melukiskan Sinterklas sebagai seorang peri tua yang periang dengan perut buncit, pipi merah seperti mawar, dan hidung seperti buah ceri. Pada 1822, Thomas Nast menggambar wajah Sinterklas berdasarkan deskripsi Moore. Ia bahkan menambahkan Kutub Utara sebagai tempat kediamannya. Akhirnya, Haddom Sundblom, seorang pembuat iklan untuk Coca Cola, mentransformasikan Sinterklas sebagai tokoh periang yang memakai baju merah, gendut dan minum Coca Cola, sosok gambaran yang kita kenal sekarang ini.


Jakarta, 4 Januari 2006