MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Friday, March 17, 2006

Suami Berpengalaman

ILLUSTRATED BY TAMARA DE LEMPICKA
SEBELAS tahun berbagi tempat tidur dengan satu perempuan yang sama, ternyata tidak lantas menjadikanku suami berpengalaman. Terima kasih apabila Anda bersimpati padaku, meskipun harus kukatakan bahwa bukan itu yang kumaksud. Kehidupan seks kami – jika itu yang Anda kira – masih berkobar-kobar, tetap panas, sepanas nyala api unggun. Setidaknya, sampai sejauh ini.

Harus kuakui, aku bukanlah jenis lelaki yang memesan tempat eksklusif untuk makan malam dalam keremangan cahaya lilin dengan pramusaji yang berjas dasi kupu-kupu. Selain tidak memenuhi harapannya, hampir pasti tidak memenuhi anggaranku. Aku juga bukan jenis lelaki yang memperlakukan pasangannya seperti porselen berharga, sehingga harus hati-hati merawatnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, aku bukan seseorang yang menjadi buntut istrinya – lebih praktis menunggu di toko buku – ketika shopping. Aku tak khawatir ketika, misalnya, ia pergi sendirian ke Pasar Tanah Abang. Sebab, aku merasa ia bisa melakukannya. Aku pernah membukakan pintu mobil untuknya, pernah menumis kangkung, pernah mengoperasikan mesin cuci, tapi apakah itu yang namanya suami berpengalaman? Sepertinya memang begitu.

Istri sebelas tahunku adalah seorang pembaca novel romansa tulen, yang rela melewatkan adegan seks untuk memperoleh “bagian yang menggetarkan.” Suatu bagian ketika si jagoan berjuang mendapatkan kembali kekasihnya, teguh mempertahankan prinsip yang diyakininya benar, yang membela cintanya sampai maut memisahkan mereka. Ia menyukai pengarang yang terbukti tak pernah gagal membuat pembacanya mengurai air mata, yang menghias adegan-adegan cinta dengan dialog cerdas, ucapan-ucapan yang tidak picisan seperti, “Andrea, kau tahu apa yang dokter temukan ketika membedahku? Ia menemukan namamu terukir di jantungku.” Atau, kalimat Mr. Fight yang berkata kepada Mrs. Right, “Duduklah, biar kubereskan.”

Semua pengarang itu telah mengajarkan poin penting kepada istriku: seorang lelaki tak harus menjadi arkeolog untuk menjadi suami berpengalaman, yang semakin mencintai istrinya sampai tua. Kedengarannya luar biasa, aku ingin sekali memercayai hal itu. Apa ada suami berpengalaman seperti itu dalam kehidupan nyata? Ada, bahkan mungkin banyak; pokoknya, terkecuali aku.

Pada suatu hari Minggu yang malas, kami memutuskan untuk mengunjungi teman lama, Aris dan Fitri. Mereka telah menikah selama 12 tahun, tanpa anak. Aris bekerja 9 to 5, Fitri berkarier penuh waktu sebagai housewife. Boleh dibilang, mereka sedikit dari pasangan yang sanggup menepis sinisme cinta sejati; bahwa cinta sejati itu seperti hantu, banyak yang membicarakannya tapi hanya sedikit yang pernah melihatnya. Atau, skeptisisme tentang perkawinan; bahwa perkawinan adalah perjamuan membosankan dengan hidangan pencuci mulut yang disajikan di awal acara. Aris yang tampan dan Fitri yang menarik, tidak seperti itu. Satu sama lain tidak sukar disenangkan; bisa sependiam pohon. Sopan santun; tahu kapan mereka harus berbicara. Kisah cinta mereka, konon, tidak punya masa kedaluwarsa.

Di mataku, Aris adalah lelaki yang menggunakan sebagian besar sisa hidupnya untuk menuju dan dari istrinya. Dari cara Aris memperlakukan istrinya, sudah membuatku mawas diri. Ketika ceret air mencuit-cuit di atas nyala kompor, belum sempat istrinya beranjak, Aris berkata, “Duduklah, biar aku yang lakukan.”

“Makasih, honey.” Dan, Fitri meneruskan obrolannya bersama kami. Mataku spontan beradu pandang dengan istriku yang mesam-mesem.

Ketika telepon berdering, terdengar suara Aris dari dapur, “Biar aku yang angkat, sayang!” Istriku sengaja memandangku sebentar. Alisnya terangkat, tersenyum penuh arti.

Beberapa saat kemudian, saat ketukan gembok di pintu pagar membuyarkan perhatian, Fitri mengintip dari balik gorden. Setelah meletakkan gagang telepon, Aris berseru, “Ya! Tunggu!”

Lalu, ia berkata lembut kepada istrinya, “Duduklah, biar aku yang lakukan.”

Kali ini, aku sudah siap memalingkan wajah dari pandangan yang sama dari orang yang sama.

Aris benar-benar sigap, sesigap tentara marinir dalam pendaratan pertama, berlari ke sana ke mari, benar-benar bisa diandalkan. Ia seakan tahu betul bagaimana seharusnya melayani dan melindungi. Sementara aku, si suami yang tak berpengalaman ini, begitu lamban, terutama saat tenggelam di sofa dekilnya bersama suratkabar.

Suami berpengalaman milik Fitri, itu pasti telah mengundang ratusan kupu-kupu berpesta pora di dalam pikiran istriku. Aris yang tampan saja bisa, kenapa kau tidak?; begitu mungkin benaknya. Ya, aku memang jauh dari tampan, tapi tak berarti tak punya perasaan. Aku justru jatuh kasihan pada Aris; sebaliknya, perasaanku terhadap sikap hangat Fitri berkurang.

Suami berpengalaman – dalam banyak cara – menyerupai komidi putar. Bisa menyenangkan, bisa pula memabukkan. Sementara ini aku tak berhasil memetik pelajaran dari mereka, karena menurutku, perempuan akan lebih menarik jika dapat membuat lelaki jatuh ke dalam pelukannya, bukan ke dalam genggaman tangannya.

Cimanggis, 16 Maret 2006

Monday, March 13, 2006

Sudah Waktunya

ILLUSTRATED BY DANA HANSON
JIKA Anda normal seperti saya, pasti pernah terpikir: bagaimana para pengikut awal Yesus begitu yakin pada keputusannya? Kedua belas orang itu bukanlah pengangguran yang luntang-lantung ketika Yesus menemukan mereka. Jika pada zaman itu sudah ada tabloid gosip, mungkin akan tercetak headline: “12 Pekerja Diduga Tertipu Tukang Kayu.”

Ini bagian terpenting bagi siapa saja yang antusias mempertanyakan keimanan terhadap keilahian Yesus. Salah satu bagian terbaik untuk menjawabnya terdapat pada Matius 16:13-20. Bayangkan, Anda seorang saksi mata yang beruntung, yang waktu itu mendengar Yesus bertanya kepada murid, “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Rekonstruksi percakapan mereka kira-kira seperti ini:

“Teman-teman,” Yesus berkata, “kalian pasti sudah baca koran yang memberitakan kegiatan kita. Jerusalem Post bahkan menurunkan tajuk rencana. Menurut mereka, siapa sih Aku ini?”

“Ehm,” seseorang berdehem.

“Ya, Thomas, silakan,” ujar Yesus.

“Beberapa perempuan bilang padaku bahwa karena Kau menitikkan air mata saat berkhotbah, Kaulah si tua Yeremia yang hidup kembali,” ucap Thomas.

“Orang lain berpikir bahwa karena Kau telah melakukan banyak mukjizat, Kaulah Elia yang datang kembali,” sambung Yohanes.

“Sebagian dari orang-orang itu mengira Kau Yohanes Pembaptis,” tambah Yakobus.

“Ada spekulasi lain yang beredar,” potong Andreas.

“Apa?” tanya Yesus.

“Karena berkhotbah dengan lugas dan tegas, ada yang beranggapan bahwa Kau titisan Nabi Musa.”

“Begitu, ya?” Yesus mengangguk-angguk. “Tapi menurut kalian sendiri, siapakah Aku ini?”

Hanya suara jengkerik yang terdengar. Yesus memandang satu persatu, berharap seseorang merespons.

Dengan suara lembek dari biasanya, Petrus angkat bicara, “Aku tahu siapa Kau.”

“Katakan,” kata Yesus agak tak sabaran.

“Kau adalah ...” Petrus berhenti, seolah takut salah, “... Mesias, Anak Allah yang sebenarnya.”

Keheningan tiba-tiba menyergap lebih lama daripada yang diduga. Yesus menatap tajam Petrus, beralih ke sebelas murid, kembali ke Petrus yang jakunnya naik turun. Dalam hati, sebagian besar murid mengutuk Petrus si mulut besar dan sok tahu. Mereka tahu desas-desus soal orang-orang yang mengklaim diri sebagai mesias. Setiap mesias telah melambungkan harapan orang-orang yang memercayainya. Lalu, puf ... lenyap, menghempaskan harapan dan impian. Lalu, apakah Yesus hanyalah satu dari orang-orang aneh itu?

“Seratus buat Petrus,” Yesus memecah keheningan, “rupanya Allah, BapaKu, memberitahukannya kepadamu dengan cara yang langsung menggugahmu, sehingga kata-katamu akan menjadi batu karang bagi GerejaKu, menyiarkan kepada seluruh dunia tentang siapa Aku sebenarnya.”

“Sudahlah, kabar sudah tersebar,” lanjutNya, “kalian pun sudah tahu. Berdasarkan kebenaran itu, bersandar fakta bahwa Aku adalah Kristus, MesiasAnak Allah yang hidup – Aku akan membangkitkan suatu kekuatan yang tidak akan terhentikan. Kekuatan ini jauh lebih kuat daripada neraka. Tapi Aku harus minta tolong.” Ia tidak berkata apa pun – jangan heran, ini memang khas Yesus – selama beberapa saat.

“Ehm!” lagi-lagi Thomas berdehem.

“Jangan beritahu siapa-siapa, setidaknya jangan sekarang, bahwa Aku Allah, bahwa Akulah Kristus, bahwa Akulah Mesias. Belum waktunya.”

Belum waktunya? Belum terlambat apabila kalimat tersebut harus dibaca: “Beritahu semua orang, sekarang juga, bahwa Aku Allah, bahwa Akulah Kristus, bahwa Akulah Mesias. Sudah waktunya.”
Cimanggis, 12 Maret 2006

Saturday, March 11, 2006

Jalu

ILLUSTRATED BY SANDY BYERS
TIGA bulan sejak kepergiannya, Jalu pulang ke rumah. Semula aku ragu ia adalah Jalu, anggota keluarga yang pernah menjadi bagian dari keriangan dan kasih sayang kami. Ciri-cirinya sudah sulit dikenali. Di tempat yang seharusnya tumbuh bulu, tersisa carut-carut luka bakar dan kulit kemerahan yang lengket. Daun telinganya rusak. Ekornya buntung. Apa pun yang menjadi ciri utama seekor kucing nyaris hilang, kecuali eongannya yang memilukan.

Aku berdebat terlebih dahulu dengan istriku, melawan pendiriannya. “Terserah! Jalu atau bukan, aku tak mau ikut campur,” aku mengancam, meninggalkan istri dan anak-anakku di garasi bersama pasiennya.

Ini bukan pertama kali kami bertengkar soal hewan yang terluka atau kelaparan yang, entah kenapa, selalu datang ke rumah memohon welas asih. Dan setiap kali pula aku menyerah pada kelembutan istriku, sebelum memilih untuk menyayangi hewan-hewan itu.

Sikap tak mudah menyayangi hewan, kurasa, terkait dengan pengalaman masa kecilku. Hewan-hewan piaraanku – kebanyakan anjing – mati karena alasan yang tak jelas, menurut ukuran anak kelas empat SD waktu itu. Pernah suatu kali aku menemukan burung tekukurku mati mendadak. Aku memergoki Nero, seekor anjing kampung yang gagah, menggonggong di depan kandang. Om Ramlan, seorang anak buah ayahku yang tinggal di rumah, memastikan burung itu mati ketakutan diteror Nero.

Petang harinya, ketika hendak memberi makan, aku tak melihat Nero. Aku mencari ke sana ke mari sambil memanggil-manggil namanya. Seluruh penghuni rumah tak ada yang tahu, kecuali Om Ramlan. Disertai nenek, ia menjelaskan duduk perkaranya. Bahwa setelah melihat tekukur mati, ia memutuskan untuk mengobati kesedihanku. Dengan suara turun dua oktaf dari biasanya, Om Ramlan berterus-terang telah membereskan Nero. Dalam satu hari, aku pun menangis dua kali.

Dua kematian yang berlangsung sehari, mungkin telah dilupakan Om Ramlan sepanjang sisa hidupnya. Sementara aku mengenangnya sepanjang sisa hidupku, banyak momen sepele yang tak terduga antara peduli dan masa bodoh terhadap nasib hewan liar seperti Jalu. Dengan wujudnya sekarang, aku malah berharap sebaiknya ia tak kembali. Lebih baik ia mati daripada hidup menderita.

Nama Jalu membuatku tak terkendali. Dua tahun yang silam, ia seekor kucing mungil yang malang. Di saat usia yang semestinya menyusu, ia kutemukan di dalam got depan rumah. Ia terpisah dari saudara-saudaranya. Ibunya mungkin putus asa mencarinya. Mungkin juga tak peduli, kawin lagi dengan kucing lain yang lebih mapan. Jadi, aku yang kemudian mengambil alih tanggung jawab.

Hari demi hari, Jalu tumbuh menjadi seekor kucing yang terpandang. Bulunya lebat selembut kapas, berwarna coklat muda-putih, bersih kemilau di siang hari. Tubuhnya terkesan kekar, menyembunyikan lemak hasil kemalasannya. Reputasinya memang tak bisa dibanggakan. Hanya kalangan tikus ingusan yang mengira Jalu seekor kucing yang tangkas dan tangguh. Selebihnya, ia tak lebih dari buntelan kapuk yang menyerupai kucing. Meski begitu, kami sekeluarga bangga dan menyayanginya.

Jalu memang seekor kucing, tapi ia tidak bodoh dengan menerima kehidupan monoton seumur hidup. Kami memaklumi jika sesekali ia ke luar rumah, mengendurkan otot, menghirup hawa pagi sambil menebar pesona pada para betina. Namun, kehidupan bebas penuh tantangan menggoda Jalu terlalu jauh.

Sejak acara melancongnya yang pertama, Jalu lebih suka keluyuran ketimbang tinggal di rumah. Dan setiap kali pulang, ia tampak lusuh, compang-camping, limbung seperti seorang pemabuk amatir. Tak jarang tubuhnya terluka, kakinya pincang, kelopak matanya berdarah akibat perkelahian tak seimbang. Istriku yang biasanya mengobati luka-luka itu. Tak heran jika ia lebih mengenal rupa Jalu daripada siapa pun.

Kejadian nahas tak pernah menjadikan Jalu jera. Sebaliknya, pola hidupnya semakin serampangan dan kurang ajar. Berkali-kali aku harus membersihkan karpet dari muntahannya dan membuang kotoran perutnya dari lantai dapur. Tepat di tapal batas kesabaran, pada suatu malam mulailah kupacu mobil sejauh empat kilometer untuk menjalankan misi rahasia. Persis di depan Pasar Cisalak, Jalu kuturunkan, “Good night and good luck.”

Nyatanya, ia benar-benar lucky cat. Padahal, tak banyak orang berperasaan seperti istriku terhadap Jalu, terutama mereka yang belum pernah melihatnya. Di dalam keranjang bekas parsel, tempat Jalu terbaring menjalani perawatannya, seringkali ia menatapku. Kucing sialan ini membuatku merasa bersalah.

Aku mulai melakukan apa yang bisa kuperbuat. Sementara istriku mengganti kain kasa yang membebat luka-lukanya, aku dan anak-anak bergantian menyuapinya susu dan air dengan pipet hingga ia dapat makan sendiri.

Tapi, Jalu tak pernah menjadi kucing yang kuat. Pada suatu pagi yang mendung, aku menemukannya terbujur kaku di lantai teras. Tubuhnya dingin, jantungnya berhenti berdetak. Istri dan anak-anakku berhamburan. Aku segera mempersiapkan penguburan yang pantas di halaman belakang rumah.

Sepekan sesudah kematiannya, aku belum berhenti menyalahkan diri sendiri. Aku mulai berpikir banyak hal yang diajarkan Jalu kepada kami: kesabaran, ketulusan, pantang surut memberi pertolongan, dan keberanian bersikap teguh meskipun banyak orang meragukan. Dari lubuk hati aku berbisik, “Maafkan aku, Jalu.”
Cimanggis, 8 Maret 2006

Friday, March 03, 2006

Kebun Binatang Jakarta

ILLUSTRATED BY PATRICK MCCARTHY
TANPA Kebun Binatang Ragunan, Jakarta sendiri sebetulnya bisa disebut kebun binatang. Mungkin itu berlebihan. Di kebun binatang, seluruh penghuninya – dari yang berkaki dua hingga berkaki empat, dari yang melata hingga berdiri tegak, dari yang tak bisa bicara hingga yang fasih berbahasa – hidup berdampingan dalam sebuah harmoni. Jakarta? Dua hari silam seorang tukang parkir ditemukan tewas di tepi Sungai Ciliwung, kemarin seorang anak berusia empat tahun tewas di tangan ayah tirinya, hari ini puluhan pengunjuk mengerang di unit gawat darurat RS Cipto Mangunkusumo. Entah besok.

Terjebak dalam kemacetan lalu lintas – apalagi di musim hujan seperti sekarang – soal biasa bagi warga Jakarta. Malah sepertinya sudah menjadi bagian hidup. “Bukan Jakarta namanya kalau nggak macet,” begitu katanya.

Toh, eskalasi kemacetan yang terjadi hari ke hari merisaukan juga. Terutama di jalan-jalan yang biasanya lancar, mendadak macet total. Kalau sudah begitu, hanya tiga kemungkinan: ada demonstrasi, kerusuhan, atau tawuran.

Aparat kepolisian segera menutup jalan, bila iring-iringan konvoi pengunjuk rasa membludak, sebelum diarahkan ke jalan alternatif. Selama macet, jangan heran jika ada pengemudi mobil (diikuti oleh lainnya) tiba-tiba memutar arah kendaraannya, melawan arus lalu lintas.

Kerusuhan bisa dilecut oleh amuk sekelompok orang yang merasa terancam hak hidupnya. Ambil contoh, ketika para pedagang cakram (VCD/DVD) di Glodok dirazia oleh petugas pada Mei 2000. Keesokan harinya mereka mengamuk. Arus lalu lintas sepanjang Hayam Wuruk dan Gajah Mada pun lumpuh.

Tawuran antarwarga, tak kalah gentingnya. Sedikit saja percikan perselisihan di wilayah Matraman dan Bukitduri (Manggarai), memicu warga turun ke jalan. Jika kerusuhan atau tawuran terjadi, berharaplah kendaraan yang Anda tumpangi selamat.

Tak peduli, apakah Anda kerabat pejabat (rumah Gubernur DKI Sutiyoso saja pernah digranat) atau petugas keamanan. Jika amarah massa sudah di ubun-ubun, apa yang mereka lihat langsung dibakar. Apa itu restoran, kantor, rumah, mobil, sepeda motor, bahkan orang (!) yang dianggap pesakitan.

Kerisauan warga Jakarta pernah memuncak, tatkala awal 2001 dikabarkan akan ada “perang besar” antara pro dan antiGus Dur. Merasa wilayahnya akan dijadikan ajang adu nyali, warga meresponsnya dengan propaganda. Hampir di setiap persimpangan jalan, terpajang spanduk tanpa pajak. Dari yang simpatik, sampai bernada menganca: “Warga DKI Cinta Damai”, “Damai itu Indah”, atau “Énté Jual, Ané Beli”. Tak kurang dari beberapa perhimpunan warga asli Betawi mengadakan pawai perdamaian di sepanjang jalan protokol.

Itu di jalan. Di gedung-gedung perkantoran, menanti kecemasan lain. Sepanjang tahun 1998-2000 tak kurang dari 200 ancaman pengeboman datang melalui kabel telepon. Semula, tim penjinak sibuk dan para karyawan kalut. Belakangan, seiring sebagian besar ancaman hanya isapan jempol, mereka menanggapinya dingin. Mereka berseloroh, kalau bisa setiap hari diancam bom supaya dengan begitu kantor diliburkan.

Isu kerusuhan sudah menjadi bahan perbincangan umum bagi warga Jakarta. Warga telah terlatih saling menelepon teman atau kerabat. Saling mengecek kebenaran isu atau situasi yang terjadi. Mereka memantau perkembangan situasi lalu lintas, baik lewat radio maupun internet.

Tak cukup puas dengan cara itu, banyak warga saat ini menggunakan radio komunikasi genggam (handy talkie). Lewat HT inilah, mereka tak cuma bisa memantau, tapi juga berkomunikasi satu sama lain membahas situasi mutakhir dan lengkap di Jakarta.

Sebuah perusahaan radio panggil atau seranta (pager), bahkan secara khusus menyiarkan perkembangan situasi Jakarta. “Terjadi bentrokan mahasiswa dengan aparat di sekitar gedung MPR/DPR,” “Terjadi perkelahian antarpelajar di Blok M,” “Ratusan demonstran Forkot dihadang petugas di Jalan Cikini.” Berkat pesan-pesan yang kini muncul di layar seranta, pelanggan bisa mengantisipasinya.

Pengalaman warga Jakarta atas kerusuhan Mei 1998, mengasah sense of security mereka. Pengalaman itu mengajarkan, keamanan tak bisa lagi mengandalkan kemampuan negara. Karena dari waktu ke waktu, lembaga negara pun tak mampu membendung kerusuhan politik di tingkat elit. Kalau begitu, Jakarta memang masih memerlukan Kebun Binatang Ragunan. Setidaknya, kepada siapa pemimpin dan rakyat negeri ini dapat bercermin.

Cimanggis, 27 Februari 2006