MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Thursday, May 20, 2004

Mandat Ilahiah Sharon

ILLUSTRATED BY CURTCRAW SHAW
TANAH Palestina benar-benar tak pernah kering dari darah dan air mata. Sedikitnya 15 warga Palestina tewas akibat serbuan puluhan tank dan buldoser Israel yang didukung sejumlah helikopter, pada 18 Mei 2004. Pertempuran tak seimbang itu terjadi di kamp pengungsi Mukhayyam Rafah, Jalur Gaza Selatan, dekat perbatasan Mesir. Beberapa analis menilai, serangan itu merupakan operasi lapis baja terbesar di wilayah pesisir yang padat penduduk sejak Israel menduduki Jalur Gaza pada 1967.

Israel menganggap wilayah ini rawan penyelundupan senjata yang dilakukan kaum militan Palestina, dari Mesir ke Gaza melalui terowongan bawah tanah. Harap maklum jika serangan bernama Operasi Pelangi, itu diklaim militer Israel sebagai upaya melindungi warga Palestina dari keterlibatan aksi terorisme.

Serbuan pekan lalu lebih tepat sebagai operasi balas dendam atas kematian enam tentara Israel pekan sebelumnya, ketika kelompok militan Palestina meranjau tank Israel. Segera Israel memuntahkan rudal dari tank dan helikopter Apache. Salah satunya mengenai masjid, menewaskan 13 warga Palestina dan seorang anggota Hamas. Esoknya, militan Palestina membalas dengan menyerang kendaraan lapis baja Israel yang tengah melintas di kamp pengungsi Rafah. Wilayah ini praktis menjadi ajang saling bunuh antara serdadu Israel dan militan Palestina, sejak dua pemimpin Hamas, Syekh Ahmad Yassin dan Abdul Aziz Rantissi terbunuh, dua bulan silam.

Serangan ke kamp pengungsi bukan sekali ini dilakukan. Bukan kebetulan jika waktu itu Israel dipimpin orang yang sama dengan sekarang, PM Ariel Sharon. Menyusul invasi militer Israel ke Lebanon sejak 6 Juni 1982, ratusan pengungsi tewas di kamp Sabra-Shatila, Beirut Barat, pada 16 September 1982. Peristiwa ini terkait dengan pembunuhan oleh orang-orang tak dikenal terhadap presiden terpilih Lebanon, Bashir Gemayel, pada 14 September 1982. Keesokan harinya, Sharon mengunjungi keluarga Gemayel untuk menyampaikan duka citanya. Pada 16 September 1982, Sharon mengijinkan sekitar 150 orang pendukung setia Gemayel dari kubu Phalangis Kristen memasuki kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Tujuannya, mencari gerilyawan Palestina yang diduga bersembunyi di situ. Namun, misi damai tersebut tiba-tiba berubah menjadi pembantaian. Tak kurang dari 300 pengungsi yang tak bersenjata, perempuan, dan anak-anak dibunuh seketika. Dan, itu dilakukan persis di depan mata tentara Israel.

Tragedi Sabra-Shatila menempatkan Israel dan PM Sharon sasaran kutukan dunia internasional. Israel pun dianggap provokator. Pemerintah Israel lantas membentuk komisi penyelidik yang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung Israel, Yitzak Kahan. Itu sebabnya, komisi ini lebih dikenal sebagai Komisi Kahan.

Berdasarkan temuan di lapangan, komisi ini menilai Sharon semestinya telah mengetahui rencana kelompok Phalangis yang sejak awal memang berniat membunuh warga Palestina. Ini berarti, demikian laporan Kahan yang dilansir Time, Sharon punya andil sehingga pantas dimintai pertanggungjawaban atas tragedi tersebut.

Berbulan-bulan lamanya Sharon berencana memanfaatkan Kelompok Phalangis untuk mengadakan “pembersihan” di kamp Sabra dan Shatila. Kahan menulis, Sharon sempat berdiskusi tentang rencana itu dengan Gemayel pada 12 September 1982 atau dua hari sebelum pemimpin Phalangis itu terbunuh. Laporan juga menyebut, pada hari presiden Lebanon terbunuh, Sharon berjanji kepada keluarga Gemayel akan memindahkan pasukan Israel ke Beirut Barat. Mereka membicarakan rencana balas dendam atas kematian Gemayel.

Israel di bawah Sharon jelas mimpi buruk bagi perdamaian di tanah Palestina. Dia tak mereken Amnesti Internasional yang memerintahkan agar penghancuran rumah-rumah termasuk kamp pengungsi oleh Israel – sebagai aksi kejahatan perang – dihentikan. Sebaliknya, Sharon semakin memupuk tunas kebencian. Medio April 2004, misalnya, terang-terangan Sharon mengancam akan membunuh Yasser Arafat, Presiden Palestina. Ultimatum tersebut bisa jadi sekadar tekanan kepada Arafat untuk menumpas kelompok militan Palestina. Ini menunjukkan, aksi militan Palestina selama ini mencemaskan Israel. Sebaliknya, aksi militer Israel yang didukung peralatan perang tak menggentarkan nyali warga Palestina.

Sharon kelihatannya tengah mengemban mandat ilahiah. Alasan agresi Israel seringkali dijustifikasikan secara teologis (Garaudy, 1990). Simbol mulia ketaatan tak bersyarat Abraham (Nabi Ibrahim) kepada Tuhan dan pemberkatannya kepada “seluruh bangsa di bumi,” dipelintir ke arah konsep sukuisme. Konsep “tanah yang ditaklukkan” dipelintir jadi “tanah yang dijanjikan” sebagaimana terjadi pada bangsa-bangsa lain di Timur Tengah, mulai dari Mesopotamia hingga Mesir Kuno. Alhasil, kedaulatan Palestina di tanahnya sendiri akan selalu berhadapan dengan “tanah yang dijanjikan” Israel.

Jakarta, Mei 2004