MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Thursday, July 10, 2003

Pers Kebakaran Jenggot

PHOTO BY LIBRARY OF US CONGRESS
ISU mutakhir yang dianggap momok pers hari-hari ini adalah gugatan yuridis dari publik. Berbeda dengan kalangan militer dan polisi yang sekarang belajar lebih bijak menghadapi momok HAM, pers terkesan kebakaran jenggot menghadapi momoknya. Momok ini sejenak mengalihkan perhatian mereka dari momok lain yang lebih serius, yaitu persaingan bisnis antarmedia massa.

Oleh pers, gugatan yuridis direspons politis sebagai ancaman kebebasan pers. Ancaman ini dikhawatirkan melumpuhkan fungsi kontrol sosial pers. Lebih jauh, tuntutan hukum penggugat dapat membangkrutkan institusi pers (tergugat). Terlepas dari mengapa publik tidak menggunakan hak jawabnya melalui ombudsman atau dewan pers, pers Indonesia kini memperlihatkan ketidaksiapannya pada kemungkinan digugat secara hukum oleh publik.

Belum kering dari ingatan kita, semasa politik kekuasaan pemerintah orde baru mengontrol ketat pers dengan sistem pembredelan, pers sendiri yang menawarkan kemungkinan lembaga peradilan sebagai jalan terakhir yang terbaik. Tak kurang dari pakar hukum dan tokoh pers kawakan mengecam pembredelan sebagai tirani yang tidak saja memasung kebebasan pers yang ada dan bertentangan dengan asas-asas demokrasi, melainkan juga melenyapkan lapangan pekerjaan. Jalur hukum kemudian dinilai fair, karena dengan demikian pers memperoleh kesempatan untuk membela dirinya, sebelum palu putusan hakim diketuk. Namun, ketika publik menempuh kemungkinan tersebut, kini justru pers beringsut tidak percaya pada sistem lembaga peradilan yang dinilainya kotor.

Penilaian itu – meski sulit disangkal, toh tetap perlu dibuktikan – memunculkan kegusaran baru pada benak publik. Karena, pertama, pers seolah mengasumsikan sistem peradilan pada rezim pemerintahan otoriter orde baru (saat pembredelan masih menghantui) lebih bersih ketimbang sekarang. Kedua, klaim terhadap lembaga peradilan sekarang yang dinilai kotor memposisikan diri pers satu-satunya institusi sosial yang paling bersih sepanjang masa. Ketiga, klaim itu pada akhirnya mengesankan pers seperti pihak yang selalu ingin menentukan medan pertempurannya untuk memonopoli ruang interpretasi publik.

Bukan itu saja. Di tengah situasi pers kebakaran jenggot, sebagian kalangan malah melontarkan sinyalemen adanya kolaborasi antara konglomerat dan alat negara untuk melawan kebebasan pers demi kepentingan konglomerat. Kalangan ini seakan-akan menutup mata pada sinyalemen sama yang berlaku di dunia pers. Publik juga tidak terlalu bodoh untuk dapat melihat kenyataan bahwa pers telah menjadi sebuah konglomerasi, di mana pemilik modal menguasai berbagai usaha dengan sama rakusnya. Banyak hal yang terkait dengan hidup-matinya suatu entitas bisnis tergantung pada cara konglomerat pers menjalankan hubungannya dengan kekuasan di ruang publik.

Hubungan konglomerat pers dan jaringan usaha di sekelilingnya memang “sedekat gigi dan bibir”. Alhasil, institusi pers demikian merupakan semacam gabungan antara sebuah perguruan tinggi dan sebuah perusahaan bisnis. Kombinasi yang janggal ini membentuk suatu kekuatan yang mencengkam bagi suatu sistem komunikasi yang bebas dari pemerintah. Institusi pers yang menggurita seperti itu bukankah telah mengkhianati kepercayaan publik? Di masa sekarang, pengkhianatan pers semacam itu lebih merupakan kelaziman tinimbang kekecualian (sekurangnya di mata para korbannya). Seluruh cerita tentang pengkhianatan pers sesungguhnya bermula dari perseteruan lama antara uang dan kekuasaan, dan dari pengorbanan oleh rejim-rejim yang mengatasnamakan kearifan surgawi untuk menyembunyikan korupsi duniawi.

Ironinya, sementara konglomerat institusi pers kian kaya, nasib para wartawan yang dipekerjakannya sangat menyedihkan. Bagi kebanyakan pekerja pers sendiri, institusi pers diakui sebagai pelayan yang baik; tetapi majikan yang mengerikan. Jangan heran jika di kalangan pers sendiri budaya amplop, misalnya, masih menjadi perdebatan yang tiada akhir.
Menganggap publik sebagai sebuah massa yang besar adalah kesalahan jamak dilakukan. Dunia, negara, kota, desa – masing-masing, lewat fakta eksistensinya, mencerminkan satu atensi komunitas, bahkan masing-masingnya juga mengandung beraneka ragam perhatian dan kepentingan yang sangat banyak. Dusun yang terkecil pun sesungguhnya terbentuk dari kelompok-kelompok yang masing-masing memiliki kesetiaan politis, ketaatan religius, tradisi sosial, dan sebagainya yang berbeda-beda. Apa yang dianggap penting oleh suatu khalayak, mungkin akan dipandang sebagai bukan apa-apa oleh khalayak lain. Terlebih, definisi mengenai masing-masing publik juga tak pernah statis; berubah-ubah sesuai perubahan persoalan. Maka, meski suatu usaha komunikasi massa tak dapat menjangkau setiap orang, keberhasilannya tergantung pada penerimaan khalayak terhadapnya.

Kedokteran dan hukum melayani klien-klien secara perorangan. Jurnalisme melayani publik, dan oleh sebab itu ia memilih menyebarkan informasi demi kepentingan khalayak ramai sekali pun barangkali tidak menyangkut kepentingan pribadi seseorang. Profesi lain cenderung mengontrol informasi yang merupakan dasar kekuasaan mereka, raison d’etre (dasar keberadaan) seorang wartawan adalah demi menyebarkan informasinya kepada publik. Pers harus berdiri sendiri menapaki jalannya di tapal batas etika. Tepat di tapal batas itulah terdapat pasir bergeser, di atas mana telah banyak pihak mencoba memancangkan bendera yang bernama tanggungjawab.

Cuma segelintir orang setengah waras di negeri yang memilih demokrasi, tidak menginginkan kebebasan pers. Sebagian besar orang tetap mendambakannya. Karena publik berharap dan percaya, bahwa setiap skandal atau penyelewengan terhadap apa yang sebenarnya terjadi, akan menimbulkan luka lebih parah bagi masyarakat pada jangka panjangnya dibanding menghilangkan rasa sakit pada segelintir anggota masyarakat untuk saat ini.

Di dalam masyarakat mana pun, manusia dapat seolah-olah bebas – betapa pun otoriternya pemerintahan masyarakat itu – selama ia mau menerima dalil-dalil yang dituntut oleh masyarakat; tetapi manusia hanya dapat benar-benar bebas di dalam suatu masyarakat yang sungguh-sungguh mengijinkan dalil-dalil tersebut dipertanyakan.

Oleh karena itu, demokrasi kita pahami sebagai suatu bentuk masyarakat, tak peduli klasifikasi politiknya, tempat setiap orang memiliki kesempatan dan tahu ia memilikinya. Demokrasi juga merupakan suatu bentuk pemerintahan yang memegang teguh prinsip, bahwa cara jauh lebih penting daripada tujuan. Demokrasi mengandalkan publik yang sarat informasi dan memberi informasi kepada publik adalah fungsi utama pers.

Jalinan hubungan pers dan publik, seperti hubungan cinta lain, melibatkan banyak khayalan dan harapan yang indah-indah. Satu-satunya keniscayaan – berupa kontroversi –yang tak terhindarkan ialah bahwa seringkali keduanya menggunakan standar yang berbeda. Standar pers berasal dari tradisi dan pengetahuan kecakapan mereka. Standar publik berasal dari kepekaan dan pengaruh kuat atas suatu berita. Penekanan penilaian pers terhadap penerimaan publik lebih pada terpeliharanya kredibilitas mereka, daripada pada kepekaan publik atas pengaruh berita yang dilaporkan.

Kontroversi tak selayaknya serta merta diartikan sebagai ancaman kebebasan pers. Mengutip pandangan Walter Lippmann – teori tentang suatu pers bebas ialah bahwa kebenaran akan muncul dari reportase bebas, bukan bahwa kebenaran itu disajikan dengan sempurna dan seketika demi kepentingan seseorang – mengisyaratkan kemungkinan pers bisa menjadi alat untuk menyebarkan kebencian dan memfitnah orang lain yang kebetulan bukan seorang teman. Pers (karena ia bukan malaikat) juga boleh jadi dibelenggu oleh pengalaman mereka sendiri, diombang-ambingkan ke sana ke mari – sama seperti semua orang fana berdosa lainnya – oleh sikap berat sebelah, dogma, prasangka, skepsitisme, kegentaran sekaligus pengharapan.

Kontroversi berupa protes, kritik, somasi bahkan gugatan yuridis, seharusnya mendorong pers untuk lebih profesional dan terdidik kepekaannya. Misalnya, kepekaan terhadap reportase lincah bergaya sastra yang acapkali menonjolkan segi dramatik, ketimbang substansi suatu berita. Dalam banyak hal, ia mirip karya sastra yang terburu-buru. Tak heran jika ada pemeo: kewartawanan adalah profesi yang menerangkan sesuatu yang ia sendiri tak mengerti. Selain itu, apa yang disebut investigative reporting sendiri mengalami dilema hingga hari ini. Yaitu, bagaimana pers melaksanakan kewajiban memberi informasi kepada publik, tanpa mengambilalih tugas eksekutor (jaksa). Ada kecenderungan, wartawan dewasa ini dituntut untuk menjadi seorang pendidik yang lebih mengutamakan memberi penjelasan tentang berita yang ia laporkan, daripada menjadi orang pertama yang datang di tempat kejadian. Tentu ada yang salah atau sesuatu sedang berubah.

Melaporkan kebenaran memang merupakan tujuan kewartawanan, tetapi “berita yang benar” boleh jadi jalinan ketidakcermatan fakta dan perdapat. Tak seorang pun benar-benar memahami kebenaran sebelum ia sendiri menghadapinya. Dalam konteks ini, kebebasan pers tidak semestinya mengandaikan bebas dari kemungkinan salah, bebas dari kemungkinan dipersalahkan, bahkan bebas sebebas-bebasnya. Hanya tanggungjawab pers sendirilah yang akan mengamankan kebebasannya.

Pers selayaknya belajar dari profesi-profesi lain. Profesi bidang kedokteran, misalnya, juga kerap dirundung berbagai masalah etis. Tuntutan akibat malpraktik, perdebatan sengit mengenai apa yang harus dilakukan terhadap pasien yang berada dalam keadaan koma, pro-kontra mengenai pengguguran janin, ini semua merupakan sebagian kecil dari pokok persoalan. Demikian pula profesi bidang hukum, telah siap mengantisipasi segala kemungkinan tuntutan yang terkait dengan praktik mereka.

Upaya publik untuk memejahijaukan pers merupakan teladan sikap demokratis. Jadi, biarlah lembaga peradilan menjadi tempat terhormat untuk menemukan kebenaran yang dimaksud, tanpa perasaan kalah atau menang. Bukankah kemungkinan ini yang dulu diharapkan oleh pers sendiri?
Jakarta, Juli 2003