MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Sunday, February 19, 2006

Romantisme Vampir

ILLUSTRATED BY SHEILA GILL
LELAKI Indonesia terlanjur ditandai oleh lawan jenisnya sebagai makhluk yang tidak romantis. Mereka yang, merasa beruntung, pernah atau sedang menjalin asmara dengan lelaki bule biasanya merupakan kelompok pertama yang blak-blakan. “Lelaki Melayu payah. Kasar, nggak romantis, nggak peka, selfish ...” protes seseorang dari mereka.

Diam-diam, istriku masuk ke dalam kelompok kedua yang mendukung protes itu. Yang lebih keterlaluan, ia bahkan menjulukiku “papa gorila.”

Biar kuluruskan faktanya. Aku tidak semirip gorila yang pernah Anda temui. Ini tak berarti aku sejenis gorila Kongo yang ganas dan langka. Julukan provokatif itu lebih menekankan temperamen ketimbang spesimen gorila. Tak banyak cingcong, cool, tapi gampang meletup-letup kalau ketenangannya terusik. Satu-satunya kemiripan kami barangkali warna kulitku yang gelap. Itu pun tidak sehitam-pekat gorila. Kopi rasa moka barangkali lebih mendekati. Maksudku, ada manisnya gitu loh.

Bagi istriku, julukan “papa gorila” melebihi hiburan domestik. Ia menganggapnya katarsis setelah menelan kekesalan – ngeselin adalah kata favoritnya akhir-akhir ini – terhadap sikapku yang berubah. Menurut dia, aku memperlakukannya sebagai sekadar teman. Teman tidur. Bukan kekasih. Sikapku sekarang disamakannya dengan burung bul-bul, yang hanya berkicau beberapa bulan selama musim semi. Selebihnya, setelah menetaskan telur-telurnya, mereka akan bungkam. Nyaris tak peduli dan membiarkan pasangannya mengambil keputusan sendiri.

Itu salah. Salah besar. Aku mencintainya, tapi tidak seperti cara ia mencintaiku. Ia membutuhkan banyak cinta. Ia menginginkannya 24 jam sehari. Ia telah membutakan dirinya dengan terlalu berharap pada romantisme perkawinan.

Di masa pacaran hingga tahun pertama perkawinan kami atau sebelum melahirkan, ia mengenang aku seorang lelaki yang penuh perhatian, lembut, dan bisa mengatakan hal yang paling pahit dengan cara yang paling manis. Aku tak pernah mengeluh apalagi mengkritik masakannya, meski steak buatannya sealot sendal jepit. “Lumayan,” komentarku saat ia bertanya, “dagingnya benar-benar terasa.” Dengan begitu, lain hari ia akan memasak lagi dan berusaha agar steak-nya selezat Sizzler. Aku juga tak merengut apalagi bersungut-sungut sewaktu berjam-jam mengantarkannya shopping, menggandengnya ke luar masuk toko di Pasar Baru yang sumpek, hanya untuk menyelamatkan beberapa ribu perak. Kalau ia bertanya, “Capek?”, dengan senyum pengertian aku menjawab, “Nggak terlalu.”

Setelah menikah pun, konon (aku sendiri lupa), aku masih suka membuat kejutan-kejutan kecil. Di hari ulang tahun, aku memberinya bunga mawar sebanyak umurnya saat itu. Buket yang diantar kurir ke kantornya, itu disertai ucapan: cinta adalah apa yang dimiliki oleh bunga mawar dan tidak dimiliki bunga apa pun. Di hari lain, pada jam kerja di akhir pekan aku menelepon, melancarkan rayuan maut untuk meruntuhkan benteng terakhir pertahanan dirinya. Pura-puranya jadi pasangan gelap yang mabuk kepayang, kami bertemu di sebuah hotel di Jakarta untuk memadu hasrat.

Aku tersipu bercampur malu saat menemukan (kelihatannya, istriku yang membiarkan aku menemukannya) kartu-kartu ucapan dan surat-surat lama yang dikumpulkannya di laci lemari. Aku membatin, bagaimana si gorila bisa mengarang kata-kata cinta? Kuat, indah, sekaligus konyol (ia menyebutnya romantis). Kini, untuk mengatakannya saja aku harus diminta terlebih dahulu.

“Cintakah kau padaku?” godanya belum lama ini.

“Pasti,” sahutku mantap, kembali menutup wajah dengan suratkabar.

“Katakan.”

Kucondongkan kepala ke arahnya, “Di sini?”

Ia mengangguk, menanti.

“Di restoran bakmi A Boen yang pengap dan berminyak babi ini?” kataku, melirik kiri-kanan,” oh, romantis sekali.” Aku tertawa mengejek.

Ngeselin. Terakhir kita dinner di TGIF yang nyaman, kau malah sibuk dengan iga panggang.”

“Begitu, ya?”

“Kau hanya beraksi di ruang yang sepi ... dan gelap.”

Kerongkonganku mendadak tercekat. Sepi dan gelap. Itukah persepsiku tentang romantisme selama ini? Romantisme kedengarannya seperti vampir, yang takut pada ramai dan terang. Sekiranya memang demikian, aku tak takut pada vampir. Dengan cara yang tak kumengerti, keberanianku muncul.

“Kau yakin aku takkan berani di sini?” Kuraih telapak tangannya, berulang-ulang mengusapnya lembut.

“Tadinya iya. Sekarang kau malah membuatku takut.”

Aku tertawa. “Pssstt ..” ia tersenyum simpul.

“Kau masih ingat pertanyaanku pertama tadi?” tanyanya.

Aku menerawang, “Ingat. Dan aku menjawab, ‘Pasti.’”

“Seberapa banyak?”

“Sebanyak yang kau rasakan,” sahutku, asal-asalan.

“Berarti sedikit. Huh, ngeselin.”

Socrates, saat ditanya manakah yang lebih baik: menikah atau tidak, menjawab, “Apa pun yang kau pilih, kau akan menyesalinya.” Jadi kupikir, masih untung ia bilang ngeselin, bukan menyesali perkawinan. Seburuk-buruknya perubahan yang ada, ia – baiklah, aku juga – masih mengerang mesra di tempat tidur sambil mendesis, “Mon Dieu.”*
Cimanggis, 20 Februari 2006
*bahasa Prancis: Ya Tuhan.

Thursday, February 09, 2006

Welcome, Playboy Indonesia!

ILLUSTRATED BY PLAYBOY MAG
SETIAP kali memikirkan majalah Playboy, saya membayangkan Hugh Marston Hefner dengan kimono sutera sedang bersantai di Playboy Mansion West miliknya di Los Angeles, melepas kepenatan bersama 6-8 TTM (teman tapi mesra)-nya yang berpinggul brontosarus. Atau, ia tengah menyesap red wine bertahun kelahirannya, 1926, di dalam pesawat jet pribadi yang melesat di atas 36.500 kaki Samudera Atlantik. Bersamanya, dalam perjalanan mengunjungi imperium bisnis Playboy, ia didampingi seorang asisten pribadi berambut panjang yang diikat dengan scarf, menampakkan leher yang jenjang. Blus katun biru ketat yang dipakainya menonjolkan lekuk lembut payudara yang kencang. Perutnya mengintip sedikit, bercelana panjang putih dari katun dan membungkus tungkai panjang yang terjulur dengan betis ditumpangkan pada kaki yang lain.

Anda pasti mengira hidup bapak pendiri Playboy itu menyenangkan (saya kira juga begitu), sehingga ada banyak sekali lelaki di dunia mau menukar kehidupannya dengan Hef meski satu hari saja. Mungkin itu sebabnya Opa Hef panjang umur. Sewaktu merayakan 50 tahun penerbitan Playboy pada Januari 2003, ia berseloroh, “Ada tiga penemuan besar dalam peradaban, yaitu api, roda, dan Playboy .“

Penyetaraan api, roda, dan Playboy tak berlebihan jika sebuah “temuan kecil yang menghasilkan implikasi besar” jadi ukuran. Satu dekade sejak terbit perdana tahun 1953, Playboy terjual lebih dari sejuta eksemplar per bulan. Tahun 1960-an, Hef sudah menjadi ikon “lelaki sukses karena impiannya.”

Tahun-tahun itu, ia memandu sebuah acara populer bertajuk Playboy’s Penthouse yang ditayangkan melalui sindikasi televisi. Ia juga mendirikan Playboy Mansion dan membuka Playboy Club pertama di kota kelahirannya, Chicago. Hef menulis rutin editorial Playboy (The Playboy Philosophy) yang memperjuangkan hak-hak sipil seperti kebebasan berekspresi. Kolumnis Bob Greene, pada masa itu menyebut Hef dan Playboy sebagai “a force of nature” (kekuatan alam). Tahun 1971 sejak Playboy Enterprises go public, sirkulasi majalah Playboy mencatat 7 juta eksemplar per bulan.

Itu belum seberapa. Playboy Enterprises juga mengelola 23 Playboy Clubs, sejumlah resor, hotel, dan kasino dengan lebih dari 900 ribu anggota dari penjuru dunia. Tahun 1980, komunitas Hollywood mengabadikan nama dan cap kedua telapak tangannya dalam walk of fame. Di usia menjelang 80 tahun (9 April mendatang), Hef masih sibuk dan menyibukkan diri. Pertengahan 1980-an, setelah kewenangan sebagai CEO Playboy Enterprises diserahkan kepada puterinya, Christie Hefner, ia kembali meneruskan kepemimpinan di redaksi penerbitan serta tevekabel dan produksi video Playboy.

Kepemimpinan Hef dikenal sangat inspiratif dan visioner. Dikenal juga sebagai seorang pemimpin ber-IQ 152 dan ia suka memublikasikan parameter kecerdasan yang membanggakan ini. Dengan begitu, seolah ia ingin berkata kepada dunia, “Anda pikir otakku cuma setingkat ini?” (sambil menunjuk bagian bawah perutnya).

Citarasa komunikasi visual dan sense of humour-nya yang genial menjadikan Playboy dikenal luas hingga sekarang. Orang-orang boleh tak suka pada foto-foto Playboy yang – menurut mereka – porno, tapi tidak lantas merasa muak dan membencinya seumur hidup. Spektrum isi yang luas dan fleksibel terhadap isu-isu mutakhir tentang segi-segi kehidupan dan digarap penuh dedikasi, memungkinkan Playboy diapresiasi layak, baik oleh kalangan yang pro maupun kontra. Singkatnya, Playboy berhasil melakukan sublimasi kultural: mengubah dorongan naluri primitif menjadi sesuatu yang dapat diapresiasi oleh masyarakat yang beradab.

Fakta bahwa Playboy merupakan majalah yang diterima luas – semisal dengan adanya Kanal Playboy, pertunjukan Playboy Bunny, dan aneka pertunjukan di Playboy Club oleh aktor yang juga psikolog Bill Cosby – berarti ia dianggap masyarakat tak merugikan secara keseluruhan. Elaine Fox, eksekutif hubungan masyarakat untuk Playboy pernah berkata, “Playboy belum pernah terbukti bersalah secara pornografis di pengadilan mana pun.” Setiap model (terutama yang pernah berpose untuk Playboy) umumnya melukiskan Playboy “erotis dan sensual,” tapi sama sekali tidak pornografis.

Di Indonesia, banyak sebetulnya orang kita yang (diam-diam) menyukai Playboy. Ada yang memang berlangganan, oleh-oleh dari luar negeri, meminjam koleksi teman atau berjuang mendapatkan edisi lawasnya di lapak-lapak dekat Terminal Senen.

Di kalangan pembaca serius dan rakus bacaan seperti saya, Playboy menjanjikan liputan tentang isu penting yang ditulis mendalam dan memikat, sekaliber reportase yang dilakukan oleh para kontributor majalah feature seperti The New Yorker, Granta, Harper's Magazine, dan Vanity Fair. Begitu pula wawancara dengan tokoh-tokoh penting dunia – taruhlah Jimmy Carter dan Donald J. Trump – acapkali menyajikan kedalaman perspektif dan tetap menghibur.

Dari aspek jurnalisme, Playboy patuh pada standar etis-profesional pers, sesuatu yang masih diabaikan (atau memang tidak tahu) oleh majalah yang mencoba jadi epigon Playboy di sini. Ambil contoh by line (pencantuman nama penulis/wartawan di depan artikel dan firewall (pagar api atau garis tipis pemisah antara artikel dan iklan), sudah lama Playboy menerapkannya.

Jika atas nama pornografi – karena kini DPR sedang menggodok RUU Antipornografi dan Pornoaksi – Playboy dilarang terbit, maka bukan saja orang-orang seperti saya akan kehilangan kesempatan menikmati Playboy rasa Indonesia; tindakan itu tergolong diskriminatif dan cenderung represif.

Kita tahu, keberhasilan Playboy melahirkan para epigon lokal. Tahun 1991, kepada saya mantan Wakil Pemimpin Redaksi N. Riantiarno, terang-terangan mengakui isi majalah Matra menggabungkan konsep majalah Playboy dan Esquire. Dibanding Matra, majalah Popular justru lebih erotis dan sensual. Ada pula lisensi seperti For Him Magazine (FHM) yang ke-playboy-playboy-an. Jadi, kalau penerbit Playboy Indonesia telah menjamin takkan meniru kelakuan Playboy induknya dan mengatur distribusinya jatuh ke tangan yang tepat, lalu mengapa kita bersikukuh menolaknya? Tidakkah sebaiknya kita memberi kesempatan yang sama? Penerbit pasti cukup mafhum pada kepekaan sebagian masyarakat Indonesia terhadap reputasi kontroversial Playboy selama ini.

Kita tidak dapat mencegah terbitnya Playboy Indonesia dengan alasan kekhawatiran di tengah liberalisasi media pascareformasi sedang berlangsung. Tidak juga bisa melarang perempuan untuk berpose – ini hanya soal waktu – tapi kita dapat menggugah orang untuk meninjau kembali nilai-nilai dan tindakannya, serta berbagai pengaruh yang mungkin timbul akibat keputusannya itu. Misalnya, bagaimana penerbit Playboy Indonesia menepis tuduhan kaum feminis? Bahwa Playboy mengukuhkan stereotip seksual dengan menggambarkan perempuan sebagai obyek seksual. Jangan lupa, gerakan perempuan dewasa ini mengaitkan pornografi dengan perempuan yang digebuki, perkosaan, incest, penganiayaan anak, dan pelecehan. Demikian pula kalangan kontra, yang sebetulnya tak cuma mempersoalkan perempuan telanjang atau ketelanjangan; pornografi menyangkut kekerasan, bukan sensualitas.

Playboy mengkhawatirkan justru karena sudah diterima begitu luas dalam masyarakat. Tanpa kehadiran Playboy pun, banyak media cetak dan situs cabul lokal di internet beredar. Orang membayangkan, bagaimana seandainya Playboy ada? Penerimaan publik terhadap majalah Playboy dikhawatirkan merangsang terbitnya publikasi lain yang lebih ofensif secara seksual dan lebih eksplisit seperti majalah Hustler. Pornografi lunak (soft-porn) Playboy memungkinkan pornografi keras kelak menjadi makin keras (hard-core), untuk disiarkan di media massa. Ini berarti, Playboy Indonesia turut bertanggung jawab untuk menjamin bahwa penerbitannya tak merugikan masyarakat luas sebagaimana kekhawatiran para penentangnya.
Cimanggis, 9 Februari 2006
Related article(s) :

Wednesday, February 08, 2006

Hantu Kebebasan Pers (Sebenarnya)

ILUUSTRATED BY JOHN KEANE
PERAYAAN Hari Pers Nasional biasanya tak luput dari pernyataan mengasihani diri sendiri. Hampir pasti, menjelang dan beberapa hari setelah 9 Februari petinggi organisasi kewartawanan merasa perlu menyerukan uneg-uneg, bahwa pers masih terancam kebebasannya. Di Indonesia, ancaman itu kebanyakan datang dari pengusaha dan politisi. Mereka dianggap hantu kebebasan pers, karena setiap saat bisa menggugat pers ke meja hijau. Tak pelak, dalam pandangan stereotip para wartawan, mereka merupakan demagog ambisius yang tak punya perasaan dan menggambarkannya demikian.

Dari dulu hingga sekarang, pers mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang tertindas, terutama saat mereka tengah menghadapi teguran, somasi apalagi gugatan. Sebaliknya pengusaha dan politisi dipersepsikan sebagai pihak yang menindas. Seringkali bahkan ia memeras rasa belas kasihan publik atas nasib yang menimpa pers. Di mata pers, masa depan demokrasi bergantung pada kapasitas imajinasi publik memahami kebebasan pers.

Selalu Ada Udang di Balik Batu
Harian The Jakarta Post merupakan satu dari sedikit media massa di Indonesia yang sudi memuat otokritik pers. Awal Juli 2004, ketika musim gugatan terhadap sebagian institusi pers sedang bersemi, ia menurunkan opini Ong Hock Chuan bertitel Threats Against the Press: Media Own Enemy. Ong mengingatkan, “It is not the courts nor the businessman nor the politicians that the media needs to fear in regards its freedom. It is media itself that is its greatest enemy.”

Tujuh puluh tahun silam, wartawan sekaligus kritikus pers George Seldes, dalam bukunya Freedom of the Press, lebih eksplisit menulis, “Bukan pemerintah, pengiklanlah penguasa utama yang menekan kebebasan pers.” Tekanan tersebut biasanya tidak langsung. Pers sendiri yang “menyesuaikan diri” tanpa disuruh, pada keinginan pengiklan.

Enam puluh lima tahun kemudian, pengiklan masih menghantui kebebasan pers. Sebuah survei yang dilakukan terhadap 55 anggota Perkumpulan Redaktur dan Penulis Bisnis Amerika (Society of American Business Editors and Writers/ABEW) tahun 1992 mengungkapkan, tekanan pengiklan semacam itu sudah jamak. Delapan puluh persen menilai tekanan dipicu oleh perkembangan masalah; 45 persen mengakui pemberitaan mereka merupakan hasil kompromi dengan pengiklan.

Survei majalah Advertising Age (1993) menemukan, tekanan kepada pers sering muncul dari dealer mobil. Dealer ingin liputan lengkap yang bisa mendongkrak penjualan dan keluhan atas kesulitan ekonomi tidak ditulis. Toko-toko grosir dan pengacara yang mengiklankan diri lewat teve, termasuk di dalamnya.

Tekanan pengiklan terhadap media siar lebih mencemaskan. Tahun 1996 di Los Angeles, wartawan kawakan KCBS-TV David Horowitz menjadi tumbal, ketika pengiklan mengadukan berkali-kali ke redaksi tentang laporan yang menyoal keselamatan sebuah merk mobil. Horowitz dipecat. Tapi manajemen KCBS-TV berkilah, ”Kami prihatin pada kasus ini bukan karena benar atau salah, tapi karena ini harga dari kontrak iklan.”

Sebagaimana ditulis kolumnis Chicago Sun-Times Robert Feder, Chicago’s WLS-TV juga menyunting bagian naskah berita yang melaporkan risiko bahaya kendaraan Ford. Alasannya, tak ingin melukai hati dealer yang beriklan di stasiun teve tersebut.

Kemesraan pengiklan dan pers terus berlangsung di harian berpengaruh di AS, New York Times. Per 29 April 2003 pada rubrik Metro, di halaman depan harian ini memuat 1.300 kata, dua foto besar, yang isinya memaparkan riwayat pertumbuhan bisnis kopi di Manhattan. Dimunculkan pula anekdot, betapa warga New York sangat menyukai (kopi) Starbucks. Dalam isi cerita, pembaca diyakinkan bahwa Starbucks merupakan bagian dari gaya hidup New York. Nukilannya, ”Kopi menjadi teman Anda menjalankan pekerjaan di rumah, menulis skenario, melakukan rapat bisnis, sosialisasi setelah bekerja atau membaca suratkabar.” Beberapa pekan kemudian harian ini menurunkan feature perayaan Starbucks pada halaman depan. Selain berupa pemuatan kampanye nasional Starbucks, Times juga terikat kontrak promosi penjualan produk kopi di jaringan pertokoan milik harian itu.

Meski orang Eropa jengah melihat budaya ini, Starbucks tetap menuai sukses baru. Di lain pihak, Times juga merasa tak terusik oleh kontrak promosi semacam itu. Pada edisi 9 Juli 2003, seolah tak peduli pada kenyataan sejumlah merk kondang di Jepang, Times menulis, ”Di Jepang, Starbucks adalah merk yang digemari.”

Anda yang intens mengikuti program “60 Minutes II” lewat tevekabel, pasti mengenal Charlie Rose. Selain koresponden CBS, ia juga pembawa acara talkshow di PBS. Empat tahun yang lalu, ia juga memperoleh “job” baru. Rose memperoleh perlakuan istimewa dari pada pertemuan para pemegang saham Coca Cola (MCing) di Madison Square Garden, New York. Padahal, kebijakan CBS selama ini melarang koresponden beritanya terlibat dalam promosi suatu produk komersial. Tapi seorang pejabat resmi jaringan, sebagaimana dikutip oleh Washington Post (23 April 2002) bilang, “Coca Cola merasa oke-oke saja tuh bekerja sama dengan Rose pada pertemuan itu.”

Rose juga menganggap tak ada persoalan etis dalam kasus ini, sebab ia hanya dibayar “sedikit” atas penampilannya di sana. Di pihak lain – seperti dilaporkan oleh Post – bagi Coca Cola jumlah yang menurut Rose “sedikit”, setidaknya berjumlah “enam atau tujuh bilangan dalam dolar”. Ini juga tidak jadi masalah bagi Rose yang bilang kepada Post, ”Saya tak pernah melakukan wawancara dengan seseorang yang mensponsori ’60 Minutes II’ di PBS.”

Bagaimana halnya di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada bagusnya organisasi kewartawanan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melakukan riset lapangan. Siapa tahu hasilnya memperlihatkan pers Indonesia tak seburuk di AS (bisa lebih buruk).

Hantu Sebenarnya
Reformasi yang mendorong liberalisasi pers melimpahkan politik kekuasaan sepenuhnya kepada pengiklan, pemilik perusahaan media, dan segerombolan orang berpengaruh. Merekalah hantu-hantu kebebasan pers sebenarnya. Jadi, jika pemberitaan media dianggap memengaruhi publik, maka hantu-hantu inilah sebetulnya yang memengaruhi media. Para pimpinan redaksi dapat saja mengklaim bahwa kehadiran hantu-hantu ini takkan berpengaruh pada kebijakan redaksional, namun skeptisisme publik tak dapat diabaikan begitu saja.

Ledakan media massa yang memanaskan persaingan antarmedia, di satu sisi dapat mengendurkan self control terhadap bingkai-bingkai kepatutan. Pada saat bersamaan, media dapat menjadi sangat toleran terhadap kesalahan tampak sumber berita yang kebetulan seorang teman. Situasi ini mendorong pengelola media massa mengonsolidasi kekuatannya demi kepentingan pragmatis. Alhasil, ruang redaksi kini bukanlah sebuah tempat untuk berbicara tentang jurnalisme, melainkan presentasi bisnis soal untung rugi.

Sebagian besar jurnalisme bukanlah jasa yang harus dibeli (The Elements of Journalism, 2001). Orang yang bekerja di pemberitaan tak menjajakan produk yang berisi kepentingan pelanggan. Mereka membangun hubungan dengan khalayaknya berdasarkan nilai-nilai yang dianut, kewenangan, keberanian, profesionalisme, dan komitmen kepada komunitas. Dengan ketersediaan ini media menciptakan ikatan dengan publik, yang selanjutnya disewakan kepada para pemasang iklan. Jadi, dari pengiklan, pemilik perusahaan media, tim sukses, pejabat humas hingga segerombolan orang berpengaruh, harus menyadari bahwa publik tetaplah raja yang harus diutamakan kepentingannya.

Cimanggis, 7 Februari 2006

Thursday, February 02, 2006

Berhenti Meneliti sebagai Obyek

ILLUSTRATED BY CLAIRE CART
IA seorang model yang menakjubkan bagi anak-anak perempuan. Ia melakukan segala yang mereka impikan dan inginkan. Ia punya koleksi baju bagus dan seorang teman lelaki klimis. Ukuran tubuhnya (lingkar dada-pinggang-pinggul), bukan main, 39-18-33.

Sungguh sukar dibantah, model idaman bernama Barbie tersebut hanyalah boneka. Kata “hanyalah” mungkin berkesan skeptis, untuk sosok paling populer selama empat dekade. Melebihi popularitas Marilyn Monroe, seorang manusia. Selama itu pula, Barbie telah mengalami metamorfosis dari career girl Barbie, mementaskan Barbie-Q dan doctor Barbie, hingga astronout Barbie. Sun jewel Barbie, model berkalung permata dan berbikini model fuschia tergolong Barbie yang paling laris. Ia juga tepat secara politis sebagai gadis berambut pirang, dengan model Jamaican Barbie, Hispanic Barbie, dan Chinese Barbie yang mengisi kesenjangan budaya. Semuanya demi mempertahankan citra Barbie sebagai gadis yang selalu ceria.

Barbie membingkai impian setiap perempuan. Punya karir, punya baju bagus, dan punya - meski kurang jantan -pasangan bernama Ken. Toh, dalam perjalanannya Barbie menciptakan musuh sendiri. Sewaktu memasuki Inggris pada 1970-an, Sindy (tentu saja boneka), 36-22-36, telah merajai pasar sejak mengenakan busana lengkap tahun 1962. Sejak 1965, ia juga punya pasangan bernama Paul (samalah dengan Ken, kurang jantan) yang digemari oleh gadis-gadis setempat.

“Sindy benar-benar gadis Inggris,” ujar Sara Howard, seorang agen penjual. Menurutnya, pakaianlah yang membedakan antara Barbie dan Sindy. Seluruh pakaian malam dan resmi Barbie - outerwear fashions - sangat persis dengan Ivana Trump, seorang janda menawan dari raja properti AS, Donald J. Trump.

Jauh sebelum Barbie lahir, pakaian sendiri sudah merupakan medium nilai yang dianut pada masa-masa tertentu. Setidaknya, ada 10 era penting yang merepresentasikan medium nilai tersebut. Yaitu era directoire and empire (1795–1815), era romantik (1815–1840), era awal Victorian (1840–1870), era akhir Victorian ( 1870–1890), era art nouveau (1890–1911), era awal art deco (1911–1929), era akhir art deco (1930–1946), era akhir perang: the new look (1946–1955), era akhir perang: St Laurent (1955–1963), serta era anak muda dan perubahan (1963–1973).

Dilatarbelakangi oleh revolusi Prancis dan Amerika, busana perempuan pada era directoire and empire mengadopsi gaya Yunani klasik dan Romawi. Selain panjang, busana dikenakan tanpa korset, sempit, dan berpinggang tinggi (high-twisted) di bawah payudara. Warnanya pun dominan putih dan berbahan katun lembut.
Setelah tahun 1815 (romantik), mulai muncul pernak-pernik yang dekoratif. Busana terbagi menjadi dua, blus dan rok. Rok di sini berlapis-lapis (menghindarkan dari hawa dingin), mengenakan korset, dan pinggang kembali pada posisinya. Pada periode ini, kaum perempuan dicitrakan sebagai penjaga moral keluarga/masyarakat dan pendidik anak-anak.

Mode busana era selanjutnya (awal Victorian), dipengaruhi oleh Ratu Victoria dari Kerajaan Inggris yang naik nakhta pada 1837–1901. Selama kepemimpinannya, Victoria dicitrakan sebagai ibu dari sembilan anak yang bisa menyeimbangkan antara urusan keluarga dan kerajaan. Gaya busananya - rok berlapis-lapis dengan petticoats (suatu perangkat yang membuat rok mengembang permanen) - memengaruhi kaum perempuan.
Kendati begitu, mode busana ini menimbulkan protes sebagian perempuan lain. Menurut mereka, busana Victoria terasa membelenggu saat beraktivitas. Sebagai gantinya, diadopsi kostum perempuan Turki yang tanpa petticoats. Busana alternatif ini disebut bloomers, sebagai pengingat atas orang yang pertama kali memopulerkannya, Amelia Jenks Bloomer. Jika pada era romantik, topi berukuran besar, pada 1860 topi pelengkap busana mengecil.

Setelah suaminya meninggal dunia pada 1861, Victoria berkesan mengasingkan diri. Kesedihan yang mendalam diperlihatkannya dengan menggunakan busana berwarna hitam. Hitam pun menjadi warna populer pada masa akhir Victorian (1870–1890). Bentuk busana juga mengalami perubahan cukup drastis. Aksentuasi ketat pada bagian depan gaun, berpindah ke bagian belakang yang penuh rumbai. Era ini ditandai dengan makin banyaknya perempuan yang bekerja di luar rumah, munculnya gerakan pembelaan hak-hak perempuan (feminis), dan kesadaran atas emansipasi.

Periode art nouveau, dalam beberapa hal mengulang tampilan pada era awal romantik. Semisal, adanya mode leg-o-mutton (seperti berkaki domba), kerah tegak, dan bahu tinggi. Seiring dengan penemuan sepeda, celana olahraga perempuan dan pakaian santai lain (casual) mulai diperkenalkan di depan publik.

Tahun-tahun eksperimentasi berlangsung pada era awal art deco (1911–1929). Berlatar belakang Perang Dunia I, banyak perempuan kehilangan suami. Dalam pada itu, pertumbuhan populasi kaum terdidik memicu apresiasi terhadap fashion. Berlangsung sejak 1911–1919, mode busana bergerak lebih santai, agak ketat, dan panjang rok mulai naik ke mata kaki. Nama-nama perancang seperti Poiret dan Chanel juga mulai dikenal sebagai trendsetters.

Masa resesi ekonomi AS tahun 1930-an (akhir art deco), perempuan dicitrakan sebagai figur kehidupan tradisional. Gelombang pengangguran menempatkan perempuan sebagai tulang punggung keluarga, hingga menjelang Perang Dunia II pada 1941. Uniknya, fashion dipengaruhi oleh fantasi-fantasi Hollywood yang mengaksentuasikan erotisme tubuh perempuan. Seperti bahu dan punggung terbuka (U can see), serta rok sebatas lutut. Bahan busana yang digunakan pun dipilih kain krep lembut, sifon, dan satin. Pada era ini aktris Merlene Dietrich dan Katherine Hepburn dikenal sebagai perempuan pertama yang “berani” mengenakan pantalon (trousers) di depan publik.

Sesudah masa perang berakhir, kaum lelaki mulai bebas memilih karier (era akhir perang: the new look). Sementara, kaum perempuan merasa tenang menjadi ibu rumah tangga. Dengan latar belakang ini, mode busana perempuan didominasi oleh gaya feminin. Seorang perancang Prancis, Christion Dior, memperkenalkan apa yang disebutnya the new look tahun 1946. Yaitu, busana dengan keliman panjang, bahu sempit, ketat di tubuh, dan rok bulat (bukan V).

Ketika meninggal pada 1955, Dior mewarisi asistennya segudang ide. Asisten berumur 21 tahun itu, namanya Yves St. Laurent (era akhir perang: St. Laurent). Laurent menghasilkan banyak inovasi rancangan busana perempuan yang mengesankan kemewahan. Secara umum, rok yang diciptakannya lebih bulat (tubular). Pesohor seperti Audrey Hepburn dan Jacqueline Kennedy merupakan idealisasi fashionable woman. Pada masa ini, perancang Givenchy, Claire McCardell dan Bonnie Cashin juga turut berpengaruh.

Era 1963–1973, isu sentral dunia diwarnai oleh gerakan penegakan hak-hak sipil dan perempuan, serta Perang Vietnam. Tatanan sosial dan politik bergolak. Pasca Perang Dunia II menghasilkan apa yang dikenal sebagai baby boomers, atau “generasi sekolahan”. Mereka dicirikan sebagai pribadi muda yang eksperimentatif, revolusioner, dan inovatif. Fashion pada era ini merefleksikan semangat tersebut. Yang mencolok, misalnya, muncul rok mini. Untuk pertama kali, fashion tak lagi didikte oleh perancang, tapi justru lahir dari jalanan.

Demikianlah, pakaian tidak sebatas fungsinya, menutupi bagian tubuh. Ia tidak sekadar seperangkat obyek materi untuk membikin pemakainya merasa hangat, melainkan pula sebagai kode simbolik yang digunakan pemakainya untuk mengomunikasikan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial. Pakaian tidak saja menunjukkan perbedaan gender, kelas, tetapi sifat berbeda yang dianggap ada di antara mereka. Pakaian mengomunikasikan apa yang dianggap “kehalusan” perempuan dan “keperkasaan” lelaki; apa yang dianggap “kesopanan” kelas atas dan “kekerasan” kelas bawah.

Sistem pakaian seperti itu, secara antropologis memang menjelaskan adanya nuansa hubungan khusus antara individu dan benda milik. Keterkaitan pakaian dan pemakainya, kini bukan lagi hubungan bersifat instrumental atau fungsional. Hubungan tersebut memungkinkan pemakai menegaskan pretensi sosial mereka.
Penjelasan analitis tentang hubungan tadi, dijelaskan oleh Marshall Sahlins (1976). Bahwa masyarakat modern telah mengganti obyek-obyek alamiah dengan obyek-obyek buatan pabrik. Obyek buatan pabrik berperan sebagai totem dunia modern. Kelompok konsumen bagai suku-suku dalam masyarakat tradisional. Merujuk risalah Claude Lévis-Strauss (1964), totemisme ialah asosiasi simbolik dari tanaman, hewan atau obyek-obyek lain (alamiah) atas individu/sekelompok orang untuk menandakan karakteristik masyarakat tradisional.

Pencitraan terhadap pakaian, secara efektif dimediasi oleh majalah kaum perempuan. Majalah tersebut - berisi seputar fashion, kosmetika, tips, masakan, rumah selebritas - kelihatannya saja ingin menampilkan komoditas. Tetapi sesungguhnya sedang berusaha menjual citra dan sebuah dunia. Kaum perempuan yang dulu dikenal berpenampilan sebagai istri dan ibu, kini bergeser menuju individu feminin yang glamor dan sensual. Mereka perempuan baru yang (dipaksa) ideal. Mandiri tapi feminin. Berkarir tapi a nice housewife. Gemuk tapi fashionable. Jelek tapi sensual.

Jika dulu, rata-rata kecantikan dianggap sebagai anugerah alami, kini nyaris tidak lagi. Kaum perempuan sekarang percaya pada konsep baru. Bahwa kecantikan sebagai elemen feminitas, dapat dimiliki oleh setiap perempuan melalui penggunaan produk, mode pakaian atau terapi kecantikan yang tepat. Di lain sisi, konsep ini juga memunculkan kecemasan-kecemasan elementer. Bahwa bila perempuan tidak memenuhi standar tertentu, maka mereka takkan dicintai. Entah oleh pasangan, atau pun oleh lingkungannya. Pandangan kaum perempuan terhadap feminitas semacam itu, oleh Janice Winship (1987), disebut masquerade alias penyamaran. Yaitu transformasi diri yang menjelmakan tiga sosok sekaligus: “sebagai konsumen bagi diri sendiri”, “sebagai hak milik”, dan “sebagai komoditas”.

Hal ini mudah dipahami melalui psikoanalisis ala Freud. Bahwa dibanding lelaki, perempuan mempunyai gejala narsisisme. Yakni kecenderungan mengagumi tubuh sendiri, menampilkannya di depan orang lain, sehingga orang lain dapat menikmati pula kekaguman itu. Sejak kecil, perempuan terlatih untuk meneliti diri sendiri. Inilah preseden historis yang mesti ditanggung sepanjang hayatnya. Mereka melihat diri sendiri sebagai obyek. Di kala lelaki melihat perempuan, perempuan melihat dirinya sendiri yang sedang dilihat lelaki.

Sementara itu, makna kecantikan pernah mengalami retrospeksi kritis. Sebagai contoh, diperkenalkan istilah inner beauty. Sahibul hikayat, terdiri dari unsur brain (kecerdasan), behaviour (perilaku), dan beauty (cantik). Semula, 3-B tadi diduga sebagai wujud resistensi gerakan feminis yang sudah bosan dieksploitasi aspek fisik keperempuanannya.

Namun dalam perkembangannya, proses inner beauty tak semulus seperti tuntutan kaum feminis terhadap emansipasi. Karena “musuh bersama” yang dihadapinya kali ini justru datang dari diri mereka sendiri. Masyarakat kelihatannya dipaksa menerima realitas: seorang lelaki boleh jelek, asal pintar. Tapi, seorang perempuan harus cantik (atau seksi) dan kalau bisa (entah bagaimana caranya) pintar.

Lebih dari sekadar pencerahan, kaum perempuan sekarang perlu melakukan cut off terhadap mitos kecantikan. Kalau perempuan masih berpikir bahwa lelaki lebih tertarik pada paras yang cantik, ia bisa lupa mengembangkan sisi-sisi lain yang lebih penting. I harus berhenti dari kegiatan meneliti diri sendiri sebagai obyek. Lagipula, tak seorang pun perempuan baik-baik yang ingin dicintai hanya karena secara erotis hanya karena penampilannya. Kalau begitu, ia akan selalu mudah dilukai oleh perempuan lain yang lebih cantik, yang tertangkap mata kekasihnya.Berdandan tentu sah-sah saja. Piranti make up dan fashion harus dipahami sebagai pelengkap, bukan mengubah bentuk tubuh. Ia berfungsi menonjolkan kelebihan elemen tubuh dan menutupi kekurangan untuk sementara. Pendek kata, jika perempuan ibarat lukisan, fashion adalah bingkainya.


Cimanggis, 1 Februari 2006
Related article(s) :