MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Friday, July 07, 2006

Tanpa Kembang Api

PHOTO BY A. BAKTI TEJAMULYA
Fourth of July tahun ini dirayakan warga Philadelphia dengan sikap patriotik yang terbelah. Mereka menangis untuk tentara AS dan penduduk sipil yang tewas akibat perang yang memalukan di Irak.

MALAM masih muda ketika saya tiba di Penn’s Landing. Sebuah pelabuhan tua dalam kawasan Waterfront & Historical Park di tepi Sungai Delaware yang tenang, Philadelphia, Pennsylvania, AS. Atmosfernya mirip Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta Kota. Bedanya, seluruh bangunan di atas tanah seluas 13 hektar di sini dirawat baik untuk kepentingan plesir. Tiga kapal perang jenis cruiser peninggalan Perang Dunia I dan kapal selam Becuna bahkan dapat dimasuki turis. Salah satunya, bernama lambung Moshulu, disulap jadi restoran bergengsi.

Bukan hidangan seafood yang membawa saya ke sana. Malam menyongsong Fourth of July, Penn’s biasanya ramai pengunjung mengagumi letusan warna-warni kembang api sambil meneriakkan yel-yel God Bless America! Itu cerita dari mulut ke mulut sebelum saya bertolak ke Phila akhir Juni silam.

Saya tak beruntung menjadi bagian dari malam yang membanggakan bagi warga AS kali ini. Sejak di gerbang Penn’s, banyak pamflet bertuliskan NO FIREWORKS TONIGHT ditempelkan pada tiang-tiang lampu jalan. Banyak orang yang berharap seperti saya menelan kekecewaan malam itu. Sementara sebagian besar anak muda mengumpat sebelum berbalik arah ke South Street – yang situasinya mirip Kuta di Bali – sebagian lagi bertahan.

Tak ada yang bisa dinikmati di Penn’s di malam hari kecuali semilir angin kering musim panas. Tapi sepanjang siang hingga sore, tempat ini selalu penuh wisatawan yang haus sejarah Phila. Ada Independence Seaport Museum yang menerangkan jasa William Penn, bangsawan Inggris yang membangun tanah hadiah dari Raja Charles II pada 1681 menjadi sebuah kota. Di pelabuhan ini kapal Penn pertama kali berlabuh. Meski begitu, sosok Penn diabadikan dalam bentuk patung yang diletakkan di atas menara City Hall (Balai Kota Phila), di jantung kota di ruas protokol Broad Street. Tak jauh dari museum, berdiri patung perunggu penemu Benua Amerika Christopher Columbus.

Karena sejarah terkadang bisa membosankan, Penn’s menyediakan feri penyeberang menuju Camden yang terkenal dengan Adventure Aquarium; yang menyediakan teater 4D tentang kehidupan bawah laut dan mengajak wisatawan berenang bersama ikan hiu. Wow!

Sekujur kota berpenduduk 1,5 juta jiwa, ini sebetulnya terdiri dari bangunan bersejarah. Bukan bagi Phila semata, melainkan bagi Amerika sebagai negara. Puluhan bangunan berumur dua abad dari gedung kongres, perkantoran, gereja, rumah para bapak pendiri bangsa hingga beraneka macam museum masih tegak berdiri. Di sinilah, pertama kali kemerdekaan Amerika dideklarasikan pada 1776 di gedung yang kini disebut Independence Hall. Di tempat yang sama pada 1787 para patriot dan founding fathers seperti George Washington, Benjamin Franklin, dan Thomas Jefferson berkumpul merumuskan konstitusi. Jangan lupa, tahun 1790 Phila pernah menjadi ibukota negara sebelum akhirnya dipindah ke kota yang lebih mewakili ambisi AS ke Washington DC.

Ke sanalah akhirnya, saya menuju. Maksud saya ke Independence Hall, melewati sekitar delapan blok atau 45 menit berjalan kaki.

Hari masih seterang sore di Jakarta meski jarum jam di menara Independence Hall terlihat pukul 08:05 malam. Begitulah, musim panas di bumi Amerika membuat matahari seolah terlambat terbenam empat jam.

Dari segala penjuru, ratusan warga mulai memadati Independence Mall, sebuah lapangan rumput yang terhampar di seberang Independence Hall. Kebanyakan berbusana casual, menggenggam kaleng minuman soda, dan menenteng kursi lipat. Sepasang panitia berdiri di dekat Gedung Liberty Bell, membagikan bendera mini AS pada para peminat. Terletak di antara empat jalan yang mengelilinginya – Market St, 5th St, 6th St, dan Chestnut St, Independence Mall kini berubah menjadi lautan manusia.

Sebuah panggung besar berikut tata suara dan lampu sorot telah dipersiapkan, persis di depan halaman Independence Hall yang menghadap lapangan rumput. Kru teve dari jaringan teve nasional WPHL siap menayangkan langsung perhelatan yang kelihatannya dinanti-nanti oleh warga: The Philly POPS Orchestra. Wow!

Tak ada bla bla bla, kata sambutan atau semacam itu. Walikota John Street hadir, bergabung selayaknya warga yang ingin cari angin. Tepat pukul 08:30 malam, lagu kebangsaan Stars Spangled Banner mengawali acara. Komposisi biola dan cello yang bersahut-sahutan dalam irama klasik mengesankan sensasi megah dan berwibawa. Hadirin tak perlu berdiri. Mereka tetap merokok, menyesap soda, mengunyah camilan, dan duduk mengangkang.

Tapi, ini bukan pasar malam yang gaduh. Hanya tepuk tangan yang menggemuruh bagai suara lebah setiap simfoni berakhir. Kelihatannya saja santai dan tidak formal. Sebaliknya, kehadiran warga menikmati orkestra malam ini untuk mengenang jasa para tentara AS yang gugur di medan perang. Di bawah konduktor Peter Nero sekitar 50 musisi memainkan lagu-lagu seluruh angkatan perang AS. Yang terkenal, misalnya, The Marines Hymn. Hadirin larut dalam sepotong liriknya:

From the Halls of Montezuma,
to the shores of Tripoli.
We fight our country’s battles,
on the land as on on the sea.


First to fight for right and freedom
and to keep our honor clean;
We are proud to claim the title
of United States Marines.


Honor and pride. Duduk bersebelahan seorang veteran di kursi roda berumur 73 tahun, saya menyaksikan air mata puluhan orang meleleh. Tiba-tiba pikiran saya menerawang jauh ke Tanah Air, ke Istana Merdeka tempat pejabat tinggi merayakan 17 Agustus. Apakah mereka menemukan perasaan yang sama seperti saya sekarang?

Jika itu nasionalisme, pikirkanlah hal ini. Sejak 1 Juli hingga sore tadi, di sudut kiri lapangan rumput ini diadakan pameran terbuka bertajuk The Human Cost of the Iraq War. Menampilkan puluhan foto hasil bidikan Linda Panetta, fotografer yang tak gentar bekerja di wilayah konflik, pameran ini kembali menyadarkan pengunjung “harga” yang harus dibayar atas perang. Di atas pedestrian, dihamparkan puluhan pasang sepatu lars. Sepatu tersebut mewakili 2.536 tentara AS yang tewas di Irak. Pengunjung juga dapat melihat ratusan sepatu milik penduduk sipil Irak yang juga tinggal nama. Sebuah perbandingan konyol yang memalukan.

Penduduk AS 11 kali lebih banyak daripada Irak. Tiga ratus warga Irak yang terbunuh pada Rabu petang pekan kedua Juni 2006 – saat serangan F-16 menewaskan Abu Musab al-Zarqawi – ekivalen dengan 3.300 warga Amerika. Penyelenggara pameran, American Friends Service Committee menyindir, bagaimana seandainya 3.300 warga Amerika itu tewas dalam ledakan bom mobil, granat, dan serangan roket? Itu lebih banyak ketimbang kematian dalam Peristiwa 911. Lebih dari 100 ribu penduduk sipil Irak, termasuk anak-anak dan perempuan, tewas selama AS menduduki Negeri 1001 Malam itu. Jumlah tersebut sama dengan satu orang tewas setiap 16 menit sejak 19 Maret 2003.

Dua pekan menjelang perayaan Fourth of July, pusat kota Phila marak demonstrasi antiperang Irak. Salah satu kelompok pengunjuk rasa terakhir hari itu, Brandy Wine Peace, berkumpul di depan Gedung Pengadilan James A. Byrne, satu blok dari Independence Hall. Dengan tajuk orasi Declaration of Peace, mereka melanjutkan perjuangan John Murtha, seorang anggota kongres asal Pennsylvania yang menuntut pemulangan tentara AS di Irak.

Bagi warga Phila hari-hari ini, Murtha dianggap seorang pahlawan karena ialah anggota kongres pertama yang berani bersikap selayaknya seorang patriot di tengah hipokrisi Gedung Putih. Dalam konferensi pers di Capitol Hill pada November silam, ia berkata, “Perang di Irak bukan iklan perang melawan terorisme. Militer kita sudah menyelesaikan misinya. Pemerintah tidak dapat meminta lebih jauh. Inilah saatnya memulangkan mereka.”

Pernyataan Murtha kembali dikutip oleh media seperti The Philadelphia Weekly serta pengunjuk rasa. Serangan terhadap warga sipil yang menewaskan Zarqawi dan teman-temannya itu tak pelak disambut dingin. Sekali pun Washington membanggakan diri telah menghabisi salah satu pentolan Al-Qaidah, warga menganggap serangan tersebut sungguh memalukan; samasekali tidak mencerminkan bangsa Amerika yang memiliki honor and pride.
Warga tua Phila tahu benar bagaimana meletakkan honor and pride dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa kali saya menanyakan tempat bersejarah kepada warga saat berpapasan di jalan atau sambil menunggu subway. Mereka mengenal riwayat tempat-tempat itu sama baiknya dengan mengenal orangtua sendiri. Mereka merasa bagai para penjaga pusaka. Bukan saja karena proklamasi, konstitusi, dan embrio demokrasi dilahirkan dari rahim kota ini, tapi pencipta bendera nasional Stars and Stripes juga dijahit oleh Betsy Ross, seorang perempuan pejuang kemerdekaan. Rumahnya di 239 Arch Street, sebuah bangunan abad ke 18, masih dirawat untuk dikunjungi pelancong.

Saya tidak tahu, apakah mereka juga bangga atas fakta bahwa Phila merupakan kota multikultural pertama di AS yang melegalkan perkawinan sejenis? Satu hal yang pasti rata-rata warga Phila selalu menyapa, “Hi, how you doing?” kepada siapa saja termasuk pendatang berkulit sawo matang seperti saya. Pantaslah kota ini dijuluki the city of neighborhoods yang ramah.
Philadelphia, 7 Juli 2006