MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Sunday, April 30, 2006

Fundamentalis versus Progresif

ILLUSTRATED BY TIM SLOWENSKI
*Untuk Yasraf Amir Piliang
KEKERASAN mewarnai perlawanan masyarakat terhadap keberadaan perusahaan asing di daerah – itu kegagalan negara. Anarki mengancam pemilihan kepala daerah – itu kegagalan negara. Demonstrasi menyertai pro-kontra rancangan undang-undang – itu kegagalan negara. Kebrutalan umat beragama meruyak saat menghadapi penghayat “ajaran sesat” – itu kegagalan negara. Tak ada lagi ruang dialog bagi pertentangan pendapat – itu kegagalan negara. Betapa negara telah menjadi penjelasan yang begitu hebat bagi semua persoalan.

Saya berharap, Bung Piliang sedang bercanda ketika mencetuskan Demokrasi Fundamentalis (Kompas, 29 April 2006). Fundamentalis kelihatannya sekadar seloroh yang biasanya digunakan oleh kelompok liberal untuk menggambarkan kurangnya kedewasaan intelektual kelompok yang berpandangan konservatif. Ia juga tampak tidak serius ketika melontarkan pandangan sugestif, bahwa ada pertentangan antarfundamentalis dalam merespons persoalan mutakhir bangsa.

Pandangan tersebut tidak mengejutkan jika ditempatkan pada sebuah konteks amatan yang tepat. Sebuah perbandingan perlu menggabungkan pemahaman sejarah dan konteks peristiwa. Sukar dibayangkan jika dalam memahami fundamentalisme kita memisahkannya dari konteks sosial, ekonomi, dan politik yang merupakan salah satu pelecutnya. Namun, secara umum penyikapan terhadap sejumlah persoalan di Indonesia hari-hari ini – yang berakhir dengan huru-hara atau kekerasan – tidak lebih dari pertentangan antara kelompok fundamentalis dan kelompok progresif.

Klaim bahwa fundamentalisme penyebab terfragmentasinya masyarakat ke dalam kelompok sektarian, bisa diterima sebagai reaksi; bukan aksi yang sekonyong-konyong terlibat dalam konflik sekuler. Pembedaan ini penting, sekurangnya agar kita bisa memahami hakikat fundamentalisme dalam proporsi faktual. Sebab, kendati acapkali menggunakan aksi kekerasan, tidak semua fundamentalis berarti kekerasan sebagaimana tidak semua kekerasan bersifat fundamentalis. Bahkan seandainya kelompok sektarian terfragmentasi menjadi pelbagai pleton kecil masyarakat yang sama-sama fundamentalisnya, fundamentalisme bukanlah satu-satunya monster demokrasi yang menakutkan.

Pleton-pleton kecil tersebut umumnya bersifat dogmatis, doktriner, terlalu membesarkan-besarkan perbedaan kecil, dan beroperasi di luar batasan umum dalam sistem hukum. Sifat bawaan ini justru membuat mereka mudah terpecah-belah dan ditekuk negara.

Dengan corak yang ingin dikesankan sebagai watak fundamentalis, kelompok reaktif ini sebetulnya merupakan penyamaran (masquarade) dari premanisme. Pada kasus kerusuhan dalam pemilihan kepala daerah, gejalanya bahkan sudah terang-benderang. Tak terkecuali pada beberapa kasus, gejala penggunaan simbol atau atribut khusus juga bagian dari penyamaran untuk mencapai posisi tawar yang diharapkan. Singkatnya, refleksi kekerasan kaum fundamentalis sejati sebatas pretensi defensif (reaksi); bukan ofensif (aksi) dan partikular tanpa kejelasan artikulasi sebagaimana yang ditunjukkan oleh para preman.

Mereaksi Perubahan
Secara sosiologis, istilah “fundamentalis” ditujukan untuk menyebut gerakan-gerakan yang melancarkan reaksi terhadap persoalan akibat modernisasi. Di mata fundamentalis modernisasi adalah sumber segala kejahatan, seperti halnya kapitalisme dipandang dengan cara yang sama oleh kaum kiri revolusioner. Gerakan ini tumbuh dari komunitas lokal, berkembang secara persuasif dengan mengajak masyarakat luas agar taat pada tradisi nilai-nilai fundamental dan teks-teks otentik yang (dianggap) tanpa kesalahan. Tak segan-segan ia mencoba melirik kekuasaan politik – meraihnya jika diperlukan – demi mendesakkan kejayaan tradisi masa lampau.

Sebagaimana gerakan radikal lainnya, fundamentalis tidak berwajah monolitik terutama tentang watak kekerasan yang melekat dalam dirinya. Sebagian menganggap kekerasan sebagai suatu kewajaran – bahkan keharusan – sebagian lagi menentang keras. Perbedaan penyikapan terhadap kekerasan ini menentukan derajat toleransi mereka terhadap perbedaan atau the others.

Ukuran fundamentalisme sendiri dalam beberapa hal bersifat situasional. Penduduk Aceh dan Sumatra Barat mungkin sama-sama berhasrat untuk mengutamakan nilai-nilai tradisi keagamaan, melebihi ketaatan mereka terhadap norma-norma masyarakat. Penduduk Aceh tidak lebih fundamentalis ketimbang penduduk Sumatra Barat; penduduk Aceh hanya hidup dalam situasi yang lebih sulit.

Ketika menemukan “musuh bersama”, mungkin kita beranggapan bahwa kelompok fundamentalis akan bersatu. Memang demikian, seperti yang terjadi pada kelompok proRUU APP. Akan tetapi, kelompok kontra yang juga sama ngototnya tidak serta-merta merupakan fundamentalis. Atau, dalam tulisan Bung Piliang disebut “fundamentalisme keagamaan ultradogmatis” bertemu dengan “fundamentalisme kultural ultraliberalis.” Keduanya memang membela suatu prinsip yang menurut mereka fundamental, tapi tidak lantas kelompok kedua “harus” menjadi fundamentalis. Sebaliknya, kelompok kontra justru merepresentasikan relativisme, sesuatu yang amat dibutuhkan dalam demokrasi.

Relativisme praktis tidak mempertentangkan berbagai interpretasi atas kitab suci atau tradisi keagamaan, sehingga seharusnya ia mampu memuluskan interaksi sosial dan mengurangi munculnya pertentangan. Akan tetapi, relativisme justru merupakan ancaman bagi kaum fundamentalis yang mengklaim hanya ada satu kebenaran dan telah mereka dapatkan.

Oleh sebab itu, lebih tepat jika pertentangan mereka disebut “kelompok fundamentalis” bertemu dengan “kelompok progresif”. Kelompok pertama – ditandai oleh kelas sosial yang paling sedikit menikmati kesejahteraan ekonomi – menilai manusia berada dalam posisi sarat dosa dan berbahaya; mereka menuduh kelompok progresif sebagai iblis. Kelompok kedua, yang biasanya didukung oleh bukti kesuksesan manusia modern dalam mengendalikan dan memajukan lingkungannya, cenderung melihat kehidupan sebagai sesuatu yang baik dan membaik.

Peran Negara
Kegagalan negara umumnya disodorkan sebagai alasan ketika pertentangan antarkelompok masyarakat berujung kekerasan. Alasan tersebut cukup menentramkan, karena selain tak ada pihak yang bertentangan akan merasa dipersalahkan, negara bisa dipertukarkan dengan bersama.

Di masa lalu, saat demokrasi sosial gaya lama memandang keterlibatan pemerintah dalam kehidupan keluarga sebagai sesuatu yang terpuji, alasan tersebut masih relevan. Pada masa-masa di mana campur tangan negara terhadap pasar masih besar dan hak-hak politik warga terbelenggu, kegagalan negara pada banyak urusan merupakan tesis yang tak perlu diperdebatkan.

Globalisasi, betapa pun orang tak menyukainya, telah membuat demokrasi sosial gaya lama terpinggirkan. Ini tak berarti globalisasi menjadikan negara-bangsa sebuah “rekaan”, seperti klaim Kenichi Ohmae (The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies, 1995), sehingga pemerintah pun usang. Pada kenyataannya, globalisasi hanya “mempreteli” negara-bangsa dalam arti bahwa kekuasaan yang dulu terpusat pada negara, kini diperlemah oleh tuntutan desentralisasi dan distribusi kekuasaan dalam masyarakat madani (civil society).

Badan-badan di luar pemerintah yang tak memiliki ciri transnasional tapi justru lokal, kini turut berperan dalam pemerintahan. Menurut Anthony Giddens dalam The Third Way: The Renewal of Social Democracy (1998), tak ada batas-batas permanen antara pemerintah dan masyarakat madani. Terkadang pemerintah masuk sampai jauh ke dalam arena masyarakat, kadangkala mundur dari arena itu, tergantung konteksnya. Situasi ini akan membuat negara akan kehilangan efektivitasnya jika ia bertahan pada pemusatan kekuasaan, apalagi bila dilakukan represif. Mau tak mau negara membatasi intervensinya.

Ketiadaan peran negara yang menyediakan “ruang dialog” bagi pertentangan antarkelompok masyarakat, hanya mengafirmasi tanda “negara tanpa musuh” (demokratis baru) versi Giddens, bahwa Indonesia di bawah pemerintahan sekarang memang menerapkan neoliberalisme. Mengikuti ortodoksi neoliberal – pasar-pasar global dibiarkan bebas menguasai, karena seperti pasar-pasar lainnya, mereka merupakan alat pemecah persoalan – pertentangan antarkelompok dewasa ini juga “dipaksa” menciptakan ekuilibrium.
Cimanggis, 30 April 2006

Thursday, April 13, 2006

Sains di Tengah Publik yang Berharap

ILLUSTRATED BY TRIGGISON
UNTUK alasan yang berbeda, banyak orang memelihara skeptisisme terhadap sains. Sementara sebagian masyarakat memandang takzim operasi transplantasi seraut wajah oleh tim dokter Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, sebagian lagi menganggap sains masih berutang obat HIV/AIDS. Sains juga ditunggu pencapaiannya menyembuhkan penyakit flu burung.

Alih-alih sains menuai kritik, sudah cukup lama skepsitisme versi lain tumbuh di ranah laboratorium. Sekurangnya tiga tahun sebelum pergantian milenium (1997), terbit sebuah buku yang melukiskan skeptisisme ilmuwan. Di bawah judul The End of Science: Facing the Limits of Knowledge in the Twilight of the Scientific Age, John Horgan, penulisnya, melontarkan antitesis pemujaan terhadap sains bahwa – seperti halnya entitas organik – sains sedang menuju abad senjanya. Ini bukan lantaran adanya skeptisisme kalangan ilmuwan yang sofis, tapi justru sains telah bekerja dengan sangat sempurna (?).

Sains tak menyisakan celah eksploratif bagi munculnya temuan dan terobosan besar. Ahli astrofisika Amerika Serikat Martin Hewit meramalkan, nasib sains berada pada posisi terbaiknya tahun 2000. Pada tahun itu, sains telah mengungkapkan separo dari seluruh fenomen semesta yang tertangkap oleh manusia. Sekitar 90 persen dari fenomen tersebut, apa boleh buat, baru bisa diakses pada 2200. Sisanya akan turun tetes demi tetes dengan tingkat kecepatan seperti proses terbentuknya stalagtit dan stalagnit dalam gua beribu-ribu tahun.

Publik yang Berharap
Isu ketidakmampuan sains mengangkat martabat kehidupan, muncul sejak awal abad ke 20. Pandangan masyarakat yang mendewa-dewakan sains mulai berubah kritis sejak implikasi buruk dari aplikasi fisika atom terasa sepanjang Perang Dunia II. Sains sejak itu selalu dicurigai, diawasi, dan dicegah jika dianggap berpotensi mengancam kehidupan. Paralel dengan itu, banyak riset – baik pemerintah maupun swasta, baik sipil mapun militer – dirahasiakan dari pengetahuan publik.

Kecurigaan mendalam kembali memuncak menjelang abad ke 21, ketika virus bernama bovine spongiform enchephalophaty (BSE) ditemukan di Inggris. Penyakit yang menyerang sistem syaraf sapi, itu dipercaya dapat menginfeksi daging dan menurunkan penyakit lain yang disebut Creutzfeldt-Jakob (vJCD) atau BSE yang menyerang manusia. Kita mengenalnya sebagai penyakit sapi gila.

Penderita vJCD ditandai oleh gejala gelisah atau depresi. Koordinasi otot-ototnya kacau. Pasien menjadi kikuk, sering menjatuhkan sesuatu atau terjatuh begitu saja. Fungsi-fungsi kognitif seperti ingatan mulai terganggu, tak dapat lagi mengenali lingkungan sekelilingnya. Ini sangat fatal dan tak ada obatnya. Di Inggris saja, hingga 2001 lebih dari 100 nyawa melayang.

Teori utama tentang bagaimana epidemik BSE, bersandar pada bangkai domba yang terinfeksi scrapie dan masuk lewat pakan ternak. Pemberian sisa tulang-belulang domba pada ternak dinilai aman oleh para ilmuwan, meski itu jelas tidak alami. Sampai korban berjatuhan, tak ada teori lain. Laporan ilmuwan yang ditunggu-tunggu terkesan terlampau hati-hati dan tak kunjung usai mengindikasikan kegagalan dalam identifikasi awal hubungan antara BSE dan vCJD. Masyarakat harus menanti berbulan-bulan untuk mengetahui adanya risiko serius terhadap kesehatan manusia. Padahal, setiap orang yang berpikiran waras pasti mengerti bahwa tak mungkin sehat memberi makan sisa tulang-belulang domba pada sapi. Jadi, mengapa para ilmuwan tidak mengatakannya lebih awal?

Di tangan ilmuwan, urusan sepele jadi rumit dan mahal. Pada November 2001, proyek riset senilai 217 ribu poundsterling (sekitar Rp 3,36 miliar) untuk menyelidiki kemungkinan BSE menyebar dari sapi ke domba menjadi sia-sia ketika terungkap bahwa para ilmuwan mungkin telah mengacaukan sampel otak sapi dengan domba. Celakanya, dua penelitian lanjutan yang bernilai 55 ribu poundsterling gagal memastikan benar-tidaknya kekacauan itu. Kecemasan baru muncul pada Januari 2002 saat tersiar kabar bahwa vaksin polio yang terinfeksi telah menyulut tercetusnya vCJD, sebagaimana temuan di laboratorium tentang penyebab penyakit itu.

Kasus sesamar sapi gila kini terjadi pada flu burung. Sejak ditemukan pertama kali pada 1996 di Hong Kong, virus maut flu burung telah menyebar sejauh tujuh ribu mil melintasi Asia Pasifik. Sejauh ini penularan dari unggas ke manusia tercatat 192 kasus; 109 di antaranya meninggal dunia (Kompas, 12 April 2006). Tak kurang dari 150 miliar ekor unggas mati karenanya. Kematian yang merenggut keluarga Iwan Siswara Rafei di Tangerang dan Rini Dina di Jakarta Selatan pada September 2005, menyisakan misteri: dari mana penularan virus flu burung bersumber?

Teori sentral yang sampai hari ini bertahan sekaligus menjadi perdebatan antarilmuwan adalah burung migran berperan sebagai salah satu sumber penular. Ini dikaitkan dengan kematian ribuan burung migran di China dan Siberia pada Juli dan Agustus 2005. Biasanya burung-burung malang ini tidak menunjukkan gejala penyakit; hanya berperan sebagai pembawa virus ke hewan lain. Burung migran diduga menjatuhkan kotorannya dari udara, lantas menginfeksi unggas domestik melalui sumber air minum.

Teori tersebut untuk sementara dapat diterima, karena cara penularan serupa pernah ditemukan pada babi yang menjadi pencetus penyakit radang otak akibat virus Nipah di Malaysia. Berdasarkan penelitian epidemiologis, babi sebagai inang virus Nipah memperolehnya dari kotoran kelelawar yang jatuh ke tanah. Kelelawar bersarang di pepohonan dekat peternakan babi. Lalu, manusia terinfeksi virus ini melalui kontak dengan babi yang sakit.

Selain obat, sains berutang vaksin berkualitas. Sebab, meski kualitasnya tergolong baik, vaksin itu tak mampu membunuh 100 persen virus di dalam tubuh unggas yang telah divaksinasi. Alhasil, kendati unggas tidak jadi sakit, ia tetap membiarkan sebagian kecil virus hidup.

Dua contoh kasus diatas memberi kontribusi terhadap skeptisisme publik bahwa ilmuwan tak bisa lagi diharapkan untuk memperbaiki keadaan. Ilmuwan dan dokter menyatakan kepada publik sesuatu itu aman, padahal tidak; atau sesuatu itu tidak aman, tapi mereka tidak dapat atau tak bersedia menegaskannya.

Sains Takkan Mati
Skeptisisme semacam itu menerangkan mengapa penyembuhan alternatif berkembang melampaui batas kemampuan sains kedokteran dalam sejumlah kasus. Para penyembuh alternatif bahkan cepat bermetamorfosis, dari sosok yang berbaju gelap kumal dan bersolo karier menjadi sosok yang berbaju putih bersih dan punya beberapa asisten medis. Meski belum ada selentingan para penyembuh ini dapat mengobati penyakit sapi gila dan flu burung, di mata publik reputasi mereka setara dengan dokter. Masyarakat malah cenderung lebih toleran terhadap ketidakmanjuran terapi alternatif, ketimbang sedikit kesalahan yang pernah dibuat oleh dokter.

Dalam beberapa hal, sains dianggap sebagai otoritas tertinggi, namun dalam hal lain tak dipercaya dan dipersalahkan karena menimbulkan ancaman baru. Masyarakat mengenali fenomen bahwa obat-obatan sekarang tidak pernah muncul tanpa risiko. Artinya, jika kita menginginkan manfaat dari obat-obatan hasil riset sains, maka kita harus berani menghadapi efek samping yang merugikan.

Tali empiris-rasional ternyata bukan simpul yang menguatkan ikatan sains dan publiknya. Ketergantungan publik pada sains memang begitu besar, tapi publik berharap agar ilmuwan dapat menenggang rasa dengan tidak menciptakan temuan-temuan memukau tapi ironis. Misalnya, di saat Eropa tengah bergelut melawan penyakit sapi gila, pada 25 November 2001 para ilmuwan di Massachussetts, AS, mengumumkan keberhasilan mereka mengkloning embrio manusia. Tentu saja dinyatakan, eksperimen ini bukan bertujuan menciptakan bayi-bayi unggul, melainkan untuk landasan riset lanjutan tentang kloning terapeutik manusia. Kelak riset tersebut membuka kemungkinan lebih luas pada penyembuhan sejumlah penyakit seperti Alzheimer dan Parkinson. Toh, selain bikin bulu kuduk berdiri, temuan tadi telanjur dianggap takabur.

Dalam kasus lain, ironi serupa berlangsung di Indonesia. Ketika masyarakat setempat mencemaskan nasib 2.163 pengidap HIV/AIDS – suatu prevalensi yang meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir di Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat (Kompas, 12 April 2006) – tim dokter di Surabaya sedang memantau hasil operasi mereka yang menakjubkan terhadap nasib Siti Nur Jazilah setelah wajahnya tersiram air keras.

Hubungan antara sains dan publik kian renggang setiap kali penghargaan prestisius seperti Nobel diberikan kepada ilmuwan brilian. Prestasi sains mereka mungkin bermanfaat di masa mendatang; jelas bukan sekarang, yang sebetulnya lebih dibutuhkan. Tugas-tugas mendasar Newton, Mendel, Darwin, Bohr, Einstein dan ilmuwan lain sudah paripurna. Tapi, skeptisisme ilmuwan bahwa sains akan mati paripurna secara perlahan tak berarti banyak bagi publik, tempat sains mengabdikan dirinya.

Publik abad ke 21 mungkin tak memerlukan lagi temuan mutakhir sekaliber para ilmuwan di dua abad sebelumnya. Mungkin benar bahwa hasil riset pada abad ini dan mendatang – sebagaimana klaim biolog kawakan Richard Dawkins dalam The Blind Watchmaker (1986) – sekadar catatan kaki bagi temuan-temuan besar di masa lalu. Tapi, apa urusannya temuan besar atau catatan kaki bagi publik?

Refleksi atas perkembangan dalam sains modern mengisyaratkan, sains tidak terwujud dari dasar hukum-hukum abadi yang menguasai pemikiran manusia, sebagaimana tradisi pemikiran Kantian. Eksistensi sains tidak berasal dari suatu pendasaran logis atau filosofis, namun bergantung pada duduknya persoalan suatu ilmu pada saat tertentu dalam perkembangan historisnya.

Zaman kita sekarang, menurut filosof sains Gaston Bachelard (1884-1962), ditandai oleh le nouvel esprit scientifique (suasana ilmiah yang baru), fase ketiga dalam perkembangan sains. Fase pertama (prailmiah) yang meliputi zaman purba hingga renaissance ditandai oleh bentuk-bentuk pengenalan yang konkret. Fase kedua (ilmiah) dimulai pada akhir abad ke 18, tatkala berdasarkan penggunaan ilmu ukur muncul bentuk-bentuk abstraksi yang pertama atau “konkret-abstrak”. Di fase terakhir, yang tengah berlangsung, sains mendapat sifatnya yang benar-benar abstrak. Bachelard berpendapat, temuan Einstein mengawali fase ketiga (1916-sekarang).

Ciri mencolok di fase ketiga ialah bahwa praktik ilmiah secara radikal terpisah dari pengalaman sehari-hari. Misalnya, dalam fisika atau kimia modern, obyek tak lagi merupakan suatu data yang terjangkau oleh pengamatan indrawi. Sains modern tak menemukan obyek-obyeknya; bagian-bagian atom hanya berada sebagai obyek berkat teknik dan teori ilmiah. Sains tak lagi meneliti – tapi menghasilkan – fenomen-fenomen, sebab yang disebut fenomen sekarang merupakan efek dari aktivitas teknis-teoritis. Sains tidak lagi mencerminkan realitas, tapi memproduksi dan mengoperasikan realitas. Tak heran, matematika begitu penting pada fase ketiga. Obyek-obyek ilmiah tak ubahnya konstruksi-konstruksi matematis atau relasi-kombinasi yang dirumuskan secara matematis.

Sejarah sains yang terpetakan lewat tiga fase tadi menyiratkan adanya diskontinuitas atau evolusi yang tidak kontinu. Teori relativitas Einstein, misalnya, tak mungkin diturunkan dari mekanika Newton. Terdapat suatu keretakan epistemologis (rupture épistémologique) antara fisika Einstein dan fisika Newton, yang justru merupakan prasyarat untuk mencapai kemajuan sains.

Pandangan ini memungkinkan kita memberi suatu peranan positif kepada kesalahan-kesalahan dalam sains. Bila kritik merupakan sikap dasar sains modern, maka kemajuan diperoleh dengan mengingkari pandangan dan teori lama. Namun, tidak selamanya teori baru harus membetulkan kesalahan teori lama. Sains modern maju melalui approximations, yaitu selalu lebih dekat dengan kebenaran tanpa pernah mencapai kebenaran itu sepenuhnya dan definitif. Dalam sains modern tidak ada metode-metode induktif dan deduktif belaka, tidak ada verifikasi; yang ada hanyalah dialektika. Konsep-konsep ilmiah inilah yang harus didialektisasi, kata Bachelard.

Sejarah sains memang mengalami periode-periode mandul dan stagnan akibat hambatan epistemologis. Hambatan yang dimaksud bukanlah halangan lahiriah seperti rumitnya materi yang diteliti atau kesukaran menangkap fenomen-fenomen tertentu. Bukan pula soal kelemahan indra manusia atau keterbatasan pemikiran manusiawi. Suatu hambatan epistemologis terjadi, jika manusia “buta” terhadap kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan yang secara obyektif telah tersedia bagi sains.

Cimanggis, 12 April 2006

Sunday, April 02, 2006

Kado Cinta

ILLUSTRATED BY HENRYK FANTAZOS
TIBALAH waktunya aku mengisahkan urusan tersulit dalam perkawinan: memilih kado untuk seseorang yang disebut istri. Ini adalah wilayah di mana banyak lelaki – lebih-lebih yang budget oriented seperti diriku – tak punya ide. Untuk alasan berbeda, para lelaki ini tak menyukai Hari Valentin; namun tak punya alasan cukup untuk tidak merayakan – betapa pun sederhananya – hari ulang tahun perkawinan mereka.

Kado apa yang tepat diberikan suami kepada istrinya di hari jadi perkawinan mereka? Baiklah, berlian. Untuk memastikannya, kulirik jari tangan istriku. Tak ada yang berkilauan di sana. Berlian mungkin abadi, tapi cincin emas polosnya tidak terlalu buruk.

Liburan di kapal pesiar, berdansa di atas dek di bawah bintang-bintang? Hmm ... boleh juga. Tapi sayang, istriku tak bisa berdansa dan aku mabuk laut.

Aku memikirkan hotel yang punya kolam jacuzzi di dalam kamar, bunga dan buah segar, sampanye dingin yang meletup saat tutup botolnya dibuka. Ups, aku lupa tidak suka sampanye.

Bagaimana dengan makan malam di restoran Chinese food, yang berada di lantai puncak sebuah gedung dengan panorama kota Jakarta? Ah, istriku yang memang Chinese, jago menumis.

Di sebuah mal ternama di Jakarta Selatan, aku sedang mempertimbangkan parfum. Lupakan merknya. Kata-kata di labelnya begitu seksi: l’essence de nooquie eau de parfum de cologne de toilette de belle; begitulah kira-kira. Namun aromanya, tak lebih baik daripada seiris buah apel.

Setan-setan jahat kartu kredit berkeliaran di dalam kepalaku. Tidak! Lelaki harus menghadiahi istrinya sesuatu yang mencerminkan tanda cinta, komitmen, dan gairahnya! Aturan pertama ialah bahwa hadiah itu harus sesuatu yang berguna dan disukai perempuan. Ralat. Yang benar, hadiah itu sesuatu yang disukai perempuan meskipun tidak berguna. Perhiasan – emas atau batu permata – merupakan kado terbaik, karena benda itu sama sekali tak berguna.

Di gerai busana mutakhir karya perancang nasional, aku membayangkan istriku mengenakan gaun sutra tanpa lengan berwarna hitam. Bagian depan gaunnya menyilang di dada, diikat di pinggangnya yang cukup ramping. Rok yang bermodel lilit menggantung beberapa sentimeter di atas lutut. Mengingat cuaca malam bisa berubah dingin – karena aku merencanakan makan malam di Pantai Anyer – ia menyampirkan pashmina berwarna abu-abu keperakan.

Akan semakin sempurna bila ia melengkapi busana seksinya dengan apa yang dianjurkan oleh banyak majalah wanita sebagai sesuatu yang pasti akan membuat lelaki tergila-gila: sepatu hitam bertumit tinggi. Semua ini bagian dari skenario terbaik untuk merayakan sebelas tahun perkawinan kami. Aku akan menjadi pemeran utama sekaligus sutradara pertunjukan khusus orang dewasa.

Aku tergiur pada gerai pakaian dalam dan lingerie. Semakin banyak renda Victoria dan satin atau sutra tipis yang kulihat, semakin aku yakin bahwa perempuan yang ber-lingerie akan lebih banyak dicintai daripada perempuan dengan pakaian dalam flanel. Istriku jelas masuk grup flanel di malam hari dan rombongan daster di siang hari.

Maka, menyeberanglah aku ke gerai pakaian dalam, bergabung dengan beberapa lelaki yang mengamat-amati semua yang dipajang, berusaha keras membayangkan ukuran kekasihnya. Seorang lelaki separo baya kelihatan tertarik pada celana dalam model “glasnost & perestroika.” Mungkin ia sedang menduga-duga, mengapa di bagian yang seharusnya tertutup itu justru belubang? Aku baru akan menjelaskan ketika seorang pramuniaga mendekat, “Bisa saya bantu?” Ia tampak judes. Rias wajahnya mulai luntur.

Bersama tiga lelaki lain, aku tersipu malu, seakan tertangkap basah saat menyelinap di asrama putri dari balik tabir malam.

“Aku benci harus ke sini,” omel seseorang, persis di sebelah kananku. Mempertimbangkan botaknya, ia pasti beberapa tahun lebih tua daripada aku.

“Hadiah buat istri?” tanya pramuniaga.

“Ya,” sahut kami serempak. Kami beradu pandang. Si pramuniaga tersenyum.

“Ada ide, nggak?” lelaki itu bertanya.

“Mungkin sesuatu yang seksi,” jawabku elegan.

“Ya, tentu saja. Itulah alasan saya ke sini.”

“Apa warna kesukaannya?”

Mm ... merah.”

“Merah?”

Ia menggeleng, “Saya nggak yakin.”

Ia mendesakku ke pinggir. Dengan senyum dipaksakan, ia berujar, “You pasti kira baju dalam ini, apa pun warnanya, kurang pantas untuk perempuan yang menyimpan segulung lemak di perutnya.”

Aku mengangguk netral.

You betul. Tapi, apa salahnya kalau ini bisa membuat mereka merasa seksi?”

“Jadi?”

“Jadi, kalau boleh saran, jangan pikirkan soal ukuran atau warna. Mereka akan kembali ke sini untuk menukarnya besok pagi.”

Kami tertawa serempak, mengusik kewibawaan pramuniaga. “Ada yang bisa dibantu, Pak?”

Cimanggis, 23 Maret 2006