MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Saturday, May 27, 2006

Negara, Agama, KTP, dan Salah Kaprah

ILLUSTRATED BY EGLON VAN DER NEER
Senang membaca karya jurnalisme bertitel Negara, Agama dan KTP di Majalah Playboy Indonesia edisi I, April 2006. Meminjam kata-kata almarhum Pak Tino Sidin, “Bagus, bagus, kirim lagi karya-karya yang lain.” Saya baru tahu kalau penghayat ajaran Konghucu, Kejawen, Aliran Mulajadi Nabolon, Purwoduksino, Budi Luhur, Kaharingan, Pahkampetan, Bolim, Basora, Tonaas Walian, dan lain-lain itu punya KTP dengan tanda strip (-) pada kolom agama.

Satu-satunya yang kurang bagus (ini kata saya, bukan Pak Tino), karya itu tidak memiliki cukup kekritisan baik dalam konteks analisis maupun konteks empiris; dua konteks utuh yang menentukan keseriusan karya bertema agama dan politik kekuasaan. Sebaliknya, Agus Sopian, penulisnya, mereduksi pilihan tema tersebut menjadi isu usang: ketidakadilan.

Dari aspek kesejarahan, Kang Agus mengalpakan diskursus serupa di sebagian kelompok intelektual soal pencantuman agama dalam KTP. Jangan lupa, tahun 1990-an di kota-kota terpelajar seperti Jakarta, Yogyakarta dan Semarang, pernah muncul – meski dalam tataran wacana – perlawanan terhadap pencatatan agama seseorang di KTP. Pencantuman golongan darah cukup masuk nalar (make sense), lantaran diperlukan sekiranya saya apes keserempet truk gandeng dan harus dioperasi dengan tambahan darah PMI. Tapi, apa urusannya agama seseorang dicantumkan di KTP? Bukahkah agama, kepercayaan atau tidak bergama pun merupakan urusan privat-spiritual masing-masing individu? Kelompok ini sudah lama mengenali, mencurigai bahwa pencantuman agama dalam KTP sebagai salah satu penyebab politik diskriminasi. Bahkan ada lelucon, jangan-jangan pencantuman agama di KTP Indonesia nanti jadi begini: Islam NU atau Islam Muhammadiyah; Katolik Roma atau Katolik Ortodoks. Protestan metodis atau Protestan fundamentalis. Dan seterusnya.

Kalau Anda tanyakan ini ke Menteri Agama, paling-paling ia bilang, “Karena negara ini bukan negara sekuler.” Tapi kalau Anda tanyakan ke FPI, paling banter mereka bilang, pencantuman agama di KTP diperlukan sekiranya seseorang meninggal, jauh dari tempat tinggal serta kerabat dekat dan mesti lekas dikubur sesuai tradisi agama pemeluknya. Memangnya énté mau dikubur dengan diurug tanah begitu saja?

Konsep “langage” dari pemikir Islam Ulil Abshar-Abdalla untuk merumuskan bentuk dan wujud iman, sebetulnya entry point yang tepat sebelum mengeksplorasi tema – sebagaimana tercermin lewat judul tulisan – agama dan politik kekuasaan. Sayangnya, di sekujur tulisan tak ada penjelasan antropologis yang menguatkan alasan-alasan politis negara atau kerajaan di masa silam “mendikte” agama rakyatnya. Suatu zaman yang disebut-sebut sebagai sistem sosial prademokrasi, menurut saya, tidak akurat letak historisnya karena agama atau kepercayaan di masa-masa itu cukup beragam. Pelbagai kepercayaan yang menyandarkan keilahian alam dan agnostik – yang direduksi maknanya sebagai animisme dan ateis – lebih banyak daripada agama formal Hindu atau Budha waktu itu. Bahkan ketika agama langit seperti Islam diikuti Kristen Barat masuk, pluralisme di masa itu justru menjadi sesuatu yang jamak. Negara dan raja tak berselera mencampuri kepercayaan rakyatnya terlampau jauh. Yang mengagumkan, di tengah keberagaman kepercayaan itu mereka tak berkelahi memperebutkan truth claims sebagaimana pertempuran hidup-mati pada agama monoteis: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Alih-alih ingin mengampanyekan pluralisme, Mutjaba Hamdi, seorang aktivis lintas agama dari Jakarta yang juga salah seorang sumber tulisan, malah memicu salah kaprah. Sebab, Injil yang dipahami Hamdi samasekali berbeda dari terminologi umum Kristianitas sendiri. Padahal, Injil hanyalah salah satu bagian kecil dari kitab suci Kristianitas yang disebut Alkitab. Jadi, posisi sentral kitab suci Kristianitas berupa Alkitab hanya dapat disepadankan dengan Al-Qur’an dalam Islam. Alkitab tak lain kumpulan kitab, semacam “perpustakaan portabel” yang memuat kesaksian tentang sabda Allah, ditulis oleh berbagai pengarang dalam kurun 2.000 tahun. Alkitab terbagi atas dua bagian besar: Perjanjian Lama (45 kitab) – yang sudah ada sebelum kelahiran Yesus – dan Perjanjian Baru (27 kitab). Perjanjian Lama terdiri dari lima bagian kecil: lima kitab Pentateukh (5 gulungan kitab atau hukum Musa), 15 kitab sejarah (dengan catatan kitab Ezra dan Nehemia dijadikan satu), tujuh kitab puitis dan hikmat (kebajikan dan mazmur), dan 18 kitab para nabi. Sedangkan Perjanjian Baru berisikan: empat Injil, satu kisah para murid Yesus, 14 surat Paulus, tujuh surat Kristianitas, dan satu kitab Wahyu.

Tak ada risalah teologis yang menyatakan Injil adalah sabda Yesus, seperti pengertian Mutjaba Hamdi yang dikutip Agus Sopian. Asal-usul kata “Injil” yang ditulis oleh Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes merupakan turunan bahasa Aramaik – dulu dipergunakan Yesus dan dipentaskan dalam film The Passion of the Christ besutan Mel Gibson (2003) – yang berarti kabar gembira. Bahasa lain menyebutnya Gospel yang berarti ajaran Yesus. Kata Gospel berasal dari Anglo-Saxon, God-Spell, yang artinya “Good Story” (Cerita Baik). Kemudian dari bahasa Latin, Evangelium, yang artinya “Good News,” yaitu Kabar Baik.

Substansi Injil berisikan riwayat kehidupan dan kematian Yesus. Di dalamnya memang tersebar informasi bagaimana perilaku dan ajaran baik Yesus. Meski begitu, saya belum pernah mendengar ada orang Katolik atau Protestan yang menganggap Injil sabda Yesus. Keyakinan bahwa Yesus anak Allah tak berarti Yesus “diizinkan” untuk bersabda. Di Injil sendiri, ditulis dengan “Yesus berkata” atau “kata Yesus.”

Benar jika Injil dapat disepadankan dengan Hadits dalam Islam yang memuat perkataan dan keteladanan Nabi Muhammad, yang diriwayatkan para sahabatnya sebagai rujukan pelengkap Al-Qur’an. Namun, pengertian Injil di sini bukanlah Alkitab atau Kitab Suci Kristianitas yang dikira Hamdi. Dengan demikian, klaim yang menyatakan terdapat bias Islam terhadap posisi sentral kitab suci dan nabi di antara Kristinitas dan Islam tidak benar. Yang ada sekadar salah kaprahnya sendiri soal Injil dan Alkitab.
Cimanggis, 2 Mei 2006

Friday, May 26, 2006

Karena Waktu adalah Uang (3)

ILLUSTRATED BY MICHAEL POTT
NUR HIDAYAT menyorongkan sepiring kecil singkong rebus, menarik asbak ke samping, menggeser kursinya ke luar meja.
Dinyalakannya pemantik api di bawah ujung rokok, mengisap senikmat ia bisa merasakannya, untuk kemudian melepaskan kepulan asapnya ke langit-langit. Ia merasa harus segera menyelesaikan mandat yang dititipkan padanya, dengan menyadari bahwa Kusmayanto, atasannya, lebih suka pada rekomendasi yang melibatkan sisi-sisi negatif. Bukan rekomendasi berisikan sisi positif melulu – meski itu kenyataannya – sebagaimana disampaikan Nur pada dua kali rapat pimpinan di KMNRT.

Akhir Januari silam, bersama timnya ia menggelar lokakarya terbatas dengan mengundang beberapa kalangan ilmuwan sosial termasuk pejabat Bank Indonesia. Di luar dugaan, Imam B. Prasodjo menyatakan, “Orang-orang Indonesia kebanyakan nggak mikir waktu. Mereka malah nggak punya arloji. Jadi, nggak peduli dengan perubahan wilayah waktu.” Orang yang dimaksud Imam adalah kalangan yang selalu mengacu pada waktu sejati matahari seperti petani dan pelaku ibadah sholat.

“Kami membayangkan, dia akan berpendapat negatif, eee ... malah positif, mendukung. Ha ha ha ...” kenang Nur kepada saya.

Sejauh ini, tim sembilan telah sampai pada tahap sosialisasi usulan nama baru: Waktu Kesatuan Indonesia (WKI) yang mengacu WITa atau GMT+8. Ini akan tercatat sebagai keputusan politik strategis pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono awal 2007 mendatang. Tidak saja rakyat dari Sabang sampai Merauke bisa meniup terompet tahun baru bersama, tapi juga akan menghindarkan time lag terhadap pusat pemerintahan dan ekonomi regional yang selama ini satu jam lebih awal.

WKI tidak mensyaratkan jam mulai sekolah dan kerja pegawai negeri sipil di seluruh Tanah Air berlaku sama. Sesuai otonomi daerah, masing-masing Pemda dapat menentukannya dengan mengacu pada tinggi matahari dan kondisi spesifik setempat. Bisa saja dimulai dengan jam tengahan semisal 06:30, 07:30. Kebijakan semacam ini akan dapat mengakomodasi aktivitas di pusat pertumbuhan seperti Banyuwangi dan Bali yang saat ini terpecah kaku menjadi dua zona waktu.

Kebijakan waktu menjadi faktor yang turut menentukan kualitas kehidupan masyarakat di kota-kota besar padat penduduk. Daerah berlalu-lintas ramai harus mengatur kembali waktu aktivitas, supaya pada jam-jam dan tempat-tempat tertentu arus kendaraan/orang tidak menumpuk jadi satu. “Jika tambahan moda transportasi massal di Jakarta tanpa diikuti oleh pengaturan waktu aktivitas, tahun 2014 begitu ke luar halaman rumah Anda sudah bertemu kemacetan,” ujar Nur serius.

WKI kelak mengubah pola perjalanan, menyebabkan sedikit gegar beberapa hari pada pengguna jalan antarprovinsi, mungkin mengubah pula pola aktivitas seksual. Oh, tidak. Jam berapa “burung” para lelaki di WIB biasa bangun? Katakanlah pukul 04:30 WIB. Lalu, jam berapa si burung tetap dalam kondisi terbaiknya ketika pemiliknya berada di Papua? Apakah tetap pukul 04:30, tapi otomatis menyesuaikan wilayah waktu setempat (06.30 WIT)?

Hal pertama yang Mohamad Nur Hidayat lakukan setelah mendengar pertanyaan tadi adalah terkekeh. “Saya khawatir burung itu bangun di Papua pada waktu dan tempat yang salah,” kata Nur, “misalnya pada jam kerja.” Dengan senyum dikulum, ia beranjak dari kursinya.

“Itu pertanyaan menarik,” cetusnya seraya meraih personal digital assistant-nya, mencatat nomor kontak. “Terima kasih. Besok akan saya undang Dokter Boyke ke sini.” Diajaknya saya ke luar ruangan yang mulai pengap. Pendingin ruangan telah dipadamkan oleh pengatur waktu otomatis sejak 16:00 WIB tadi.

Berjalan sepanjang koridor yang berliku-liku ia membalas selamat malam beberapa pegawai, Satpam, dan petugas pembersih. Ia mengenal baik nama-nama mereka. Malam masih muda ketika Staf Ahli Meneg Ristek Bidang Hak atas Kekayaan Intelektual itu turun melewati elevator.

Cimanggis, 30 April 2006

Thursday, May 25, 2006

Karena Waktu adalah Uang (2)

ILLUSTRATED BY VERNA BICE
KEMBALI ke awal abad 20 ketika Hindia Belanda mulai mengenal waktu mintakad (zona waktu). Memenuhi permintaan Staats Sporwegen (semacam jawatan kereta api), Gouvernments Besluits mengeluarkan aturan pertama pada 6 Januari 1908 dan diberlakukan mulai 1 Mei 1908. Pada era kekuasaan kolonial terpusat di Jawa, Waktu Jawa Tengah ditentukan sebagai waktu mintakad (GMT+7:12). Waktu Menengah Batavia berselisih 12 menit dari waktu mintakad. Di luar Jawa dan Madura, waktu mintakad sama sekali tidak diatur. Baru pada 22 Februari 1918 keluar beleid yang menentukan Waktu Padang 39 menit terlambat dari Waktu Jawa Tengah. Balikpapan dipergunakan +8:20 lebih dahulu dari GMT.

Aturan yang menggantikannya pada 1 Januari 1924, tak banyak berubah. Dengan bujur tolok 110°, Waktu Jawa Tengah diubah menjadi GMT+7:20. Waktu mintakad lainnya diatur oleh Hoofden van Gewestelijk Bestuur in de Buitengewesten (penguasa daerah). Semisal, Karesidenan Bali dan Lombok menggunakan Waktu Bali, 22 menit maju dari Waktu Jawa Tengah. Meskipun Gouverment Celebes on Onderhorgheden tidak menentukan waktu mintakad, di Ibukota Makassar dipergunakan Waktu Jawa Tengah ditambah 38 menit. Penguasa di Tapanuli tinggal mengurangi 45 menit dan Padang tujuh menit dari Waktu Jawa Tengah.

Perubahan besar berlangsung sejak 11 November 1932, berdasarkan Bij Gouvernment Besluit van 27 Juli 1932 No. 26 Staatsblad No. 412. Hindia Belanda kala itu dibagi menjadi enam zona waktu dengan selisih 30 menit (lihat gambar). Pemerintah kolonial mempertimbangkan selisih antara waktu tolok dengan waktu menengah setempat diambil sekecil mungkin, agar rakyat yang terbiasa pada jam tidak dirugikan.

Waktu mintakad berubah total selama pendudukan Jepang. Demi efektivitas operasi militer dan upaya “menjepangkan” wilayah koloni, waktu Indonesia ditentukan mengikuti waktu Tokyo (GMT+9). Waktu Jawa dimajukan 1:30 (GMT+7:30) dari waktu tolok tersebut.

Pemerintah kolonial Belanda kembali memutuskan mengubahnya menyusul pergolakan di banyak daerah. Pada 10 Desember 1947, waktu mintakad Indonesia dibagi tiga: +7 (bujur tolok 105°), +8 (120°), dan +9 (135°). Terlambat. Rakyat di Jawa dan Sumatera telanjur menyukai waktu mintakad lama. Atas dasar itu, usai penyerahan kedaulatan, pada 1 Mei 1950 Presiden Republik Indonesia Serikat Soekarno memberlakukan waktu mintakad yang sesuai dengan keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 27 Juli 1932 sebelumnya (enam zona waktu).
Belanda yang keras kepala, mencuri waktu 30 menit (GMT+9:30) untuk Papua Barat sejak ia menyabot wilayah itu. Padahal, Gubernur Jenderal Belanda terdahulu menetapkan +9. Setelah Papua Barat berhasil direbut kembali, keluarlah Keputusan Presiden RI Nomor 243 tahun 1963 yang membagi Indonesia tiga zona waktu, sama dengan waktu mintakad pada 10 Desember 1947.

Pertama kali dalam sejarah pembagian zona waktu Indonesia, pariwisata mulai diperhitungkan. Masyarakat tradisional Bali mungkin tak peduli dengan WIB atau WITa, tapi wisatawan yang berduyun-duyun ke pulau itu adalah orang-orang yang berhitung soal waktu. Perbedaan waktu dua jam menyebabkan para wisatawan Jepang dan Australia – tercatat paling banyak – terpaksa lekas pulang dari Bali agar tidak terlalu larut malam di negara mereka. Dua puluh lima tahun sejak 1963, turun Keputusan Presiden RI Nomor 41/1987 yang mengubah sedikit garis zona waktu sebelumnya.

Implikasinya, jumlah wisatawan melonjak karena mereka merasa tidak membuang banyak waktu pergi ke Bali. Tapi sebetulnya, merelakan Bali ke WITa dari WIB sejak 1 Januari 1988 merupakan sikap keterpaksaan daripada pilihan sadar pemerintah. Karena pada saat yang sama, dua dari empat provinsi di Kalimantan – Barat dan Tengah – yang sebelumnya berada di WITa, ditarik ke WIB.

Kepulauan Riau termasuk Batam, satu dekade ini meratapi nasibnya berada dalam garis bujur dan lintang yang relatif sama dengan Singapura tapi terpisah oleh perbedaan waktu. Setiap tahun sekitar US$70 juta milik 1,2 juta warga Singapura dan Malaysia dihabiskan di pusat-pusat kebutuhan malam di Batam dan sekitarnya. Ini belum seberapa jika para “wisatawan akhir pekan” tersebut tak bergegas pulang karena perbedaan waktu.

Perbedaan waktu antarpusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia sendiri memberi pengaruh besar terhadap perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di Indonesia Barat seperti Jakarta, namun beroperasi di Indonesia Timur. Pada saat jam kerja di Indonesia Timur dimulai, kantor-kantor di Indonesia Barat belum apa-apa. Kesenjangan aktivitas yang terjadi pula pada akhir jam kerja di dua zona tersebut, secara akumulatif menyia-nyiakan empat jam kerja komunikasi dalam sehari.

Bertahun-tahun lamanya, tak ada pikiran “segila” pemimpin Cina atau Bush untuk menyatukan tiga zona waktu Indonesia. Tapi setelah ACT digagas dan dikaji manfaat mudaratnya sejak 1995, sebagian kalangan di Indonesia diam-diam menjajaki pikiran yang pasti akan membuat guru geografi murung.

Tahun 2001 di Surabaya, PT. PLN (Persero) mulai mempresentasikan hasil kajiannya tentang korelasi antara aktivitas kehidupan masyarakat dan konsumsi energi listrik. Program efisiensi energi listrik untuk mengantisipasi krisis bahan bakar minyak, menurut peneliti PLN, akan berdampak besar apabila WIB diubah mengikuti WITa. Pandangan ini berbeda dari kelompok kerja ACT dari Indonesia yang merekomendasikan GMT+7 (WIB) sebagai waktu bersama.
Sistem kelistrikan nasional masih didominasi oleh Jamali (Jawa-Madura-Bali). Data Juni 2004 menunjukkan, 68% pelanggan dan 80% kontribusi pendapatan PLN berasal dari Jamali.

Pemakaian energi listrik pada waktu beban puncak (18:00-21:00) akan berkurang jika pelanggan lebih cepat berhenti beraktivitas dan istirahat. Dengan mengubah WIB mengikuti WITa (19:00-22:00), rentang waktu beban puncak secara tak langsung berkurang karena masyarakat lebih cepat tidur. Beban penggunaan listrik di pagi hari (waktu baru 05:00-06:00) juga berkurang, karena pelanggan terbesar PLN dari golongan tarif R-1 ini lebih cepat bangun untuk beraktivitas di luar rumah.

Studi tadi sejalan dengan Daylight Saving Time (DST) atau acuan waktu yang diterapkan di 95 negara empat musim. DST membuat “matahari tenggelam satu jam terlambat.” Dengan menggeser pengukur waktu mundur satu jam di musim panas, dapat dihemat konsumsi listrik yang cukup besar. Di California, AS, pengurangan konsumsi energi 1% setara 600 ribu barel minyak. Di Selandia Baru, bisa mencapai 3,5%.

PT. Merpati Nusantara Airlines sudah membayangkan pertumbuhan 10% pada jasa penerbangan. Selama ini jadwal rute penerbangan dari WIB ke WIT memaksa pesawat mengangkasa lebih pagi. Jika pesawat berangkat dari Jakarta ETD 05:00 WIB, maka ETA 14:00 WIT di Jayapura. Terjadi market lost opportunity karena pasar untuk penerbangan ke arah barat relatif sedikit. Pesawat dan awaknya mau tak mau harus menginap (remain overnight). Utilisasi pesawat tidak maksimal.

Waktu tunggal membuat kalangan perbankan semakin diminati oleh nasabah. Cara transaksi seperti cek, giro, RTGS (real-time gross system) yang memerlukan konfirmasi, akan lekas diproses.

Prime time televisi yang selama ini mengacu WIB, 17:30-22:30, kelak tidak terlalu “menyengsarakan” pemirsa di WIT. Sebab, sinetron berbintang idaman dapat dinikmati sampai habis tanpa mengorbankan waktu tidur.

Oleh karena tak ada lagi time lag pada informasi, nilai tukar uang di pasar modal pun akan stabil dan bergairah.

Kebijakan time band pada SLJJ (sambungan langsung jarak jauh) berikut potongan tarif kian terasa manfaatnya oleh penelepon, karena jendela waktu berkomunikasi bertambah.

Satu zona waktu mempercepat arus informasi dan waktu tanggap (response time) jika negara dalam keadaan bahaya. Disparitas informasi di bidang pertahanan dan keamanan dapat ditiadakan.

Manfaat penyatuan zona waktu Indonesia meluncur lewat kanal demi kanal, begitu lambatnya, memerlukan empat tahun sejak 2001 dari Surabaya untuk diseminarkan secara nasional pada 8 Juni 2005 di Jakarta, sebelum diusulkan secara resmi kepada Pemerintah melalui Kantor Menteri Negara Riset & Teknologi (KMNRT). Dan, orang yang membuka seminar, mewakili Meneg Ristek Kusmayanto Kadiman, membacakan sambutan tertulis – yang meraih penghargaan Wirakarya Pembangunan dari Pemerintah RI pada 18 Agustus 2005 – dan memimpin delapan anggota tim pengkaji kebijakan zona waktu, itu sekarang meletakkan gagang telepon dari genggamannya.
Cimanggis, 30 April 2006

Wednesday, May 24, 2006

Karena Waktu adalah Uang (1)

PHOTO BY JAY S. WILLIS
Bukan ilmuwan, tapi politisi dan pebisnis yang menentukan zona waktu.

DARI balik jendela kantornya di lantai 23 Gedung II Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Mohamad Nur Hidayat memandang keluar. Jelas tak ada yang menarik di ruas protokol Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, kecuali bagi fotografer gurem. Hanya ada gedung-gedung jangkung yang dingin dan sekelompok polisi lalu lintas yang letih. Tapi dari sini, ia bisa mengamati kendaraan bermotor bergerak perlahan yang tampak seperti mainan.

Dengan satu tangan masuk ke dalam saku celana dan sebatang rokok di tangan yang lain, ia embuskan asap “O” ke kaca. Matanya menerawang melewati asap, menembus jauh hingga batas langit Jakarta di ambang malam. Matahari masih menyisakan sinar jingganya di ufuk barat, berpendar memenuhi awan kumulus, menerbitkan dé ja vu.

Benda langit itu terasa nyata baginya – bahkan lebih akrab, mengingat latar pendidikan magisternya di bidang geofisika – ketimbang sesuatu yang abstrak tapi terkait erat dengan matahari, yang kini menjadi lamunan petangnya: waktu. Jam berapa sekarang? Jam berapa kita meeting? Jam berapa bursa saham Hong Kong ditutup? Jam berapa bom diledakkan? Ini adalah sebagian kenyataan, tempat orang-orang mengandalkan waktu dalam urusan tetek bengek kehidupan.

Sementara masyarakat modern menganggap waktu sebagai pusat kenyataan, suku-suku primitif atau orang-orang fanatik justru mengabaikannya dalam urusan tertentu mereka. Lihat, misalnya, bagaimana orang Bugis tradisional merasa perlu ke luar rumah sejenak pada jam-jam begini selama bulan Ramadhan. Bila bulu tangannya tak terlihat mata sendiri dalam jarak pandang normal, maka itulah saatnya mengakhiri puasa seharian. Bagi mereka, matahari lebih nyata dan mutlak.

Di masyarakat kontemporer, kodrat waktu telah berubah selama bertahun-tahun. Hingga awal abad ke 20, seperti halnya Aristoteles dan Newton orang-orang yakin bahwa waktu itu mutlak. Artinya, tiap peristiwa dapat diberi label berupa bilangan yang disebut “waktu” dengan cara yang unik, dan semua jam yang baik akan cocok dalam mengukur selang waktu antara dua peristiwa. Waktu terpisah dari ruang dan tidak bergantung pada ruang.

Teori relativitas Einstein menyudahi gagasan yang menyatakan waktu itu mutlak. Waktu merupakan suatu konsep yang lebih pribadi, relatif terhadap pengamat yang mengukurnya. Setiap pengamat memiliki ukuran waktunya sendiri-sendiri; jam yang dibawa oleh pengamat yang berlainan pun tidak perlu cocok. Manusia menerima cara pandang baru bahwa waktu sama sekali tidak terpisah dari dan tidak bergantung pada ruang, melainkan digabung dengan ruang untuk membentuk suatu obyek yang disebut ruang-waktu.

Bukan cuma orang per orang, suatu negara bahkan bebas mengatur kembali zona waktunya, sebuah ranah strategis yang dulu dianggap garis nasib yang tak bisa diubah. Batas-batas geografis tak lagi direken sebagai faktor penentu zona waktu. GMT yang diperkenalkan sejak 1675 di pinggiran kota London, tak lebih dari sekadar monumen standar waktu Greenwich untuk konsumsi para turis lanjut usia.

Dan seiring abad baru yang menyingsing, globalisasi telah melupakan nama Sir Standford Fleming (1827-1915), seorang Kanada yang merumuskan pembagian zona waktu dunia pada 1878. Berdasarkan fakta astronomis bahwa bumi menyelesaikan rotasinya setiap 24 jam, bagai membelah jeruk Fleming membagi 360° bola dunia menjadi 24 zona waktu. Itu berarti, setiap wilayah selebar bujur 15° sama dengan satu jam. Dengan asumsi bahwa Greenwich berada di garis bujur 0°, belahan dunia di sebelah barat memiliki zona waktu –1 sampai –12. Sedangkan belahan dunia di sebelah timur memiliki zona waktu +1 sampai +12. Pembagian zona waktu memungkinkan posisi matahari pada pukul 12 siang di suatu wilayah terlihat tidak jauh dari titik puncak (zenith). Zona waktu Fleming berhasil mengompromikan waktu matahari berbagai negeri (waktu setempat) yang dulu membingungkan para pelancong, pengelola kereta api transnasional, dan pelaut.

Mengikuti aturan Fleming, Rusia yang selebar 165° memiliki paling banyak yaitu 11 zona waktu, mencakup Kaliningrad di Laut Baltik. Amerika Serikat terbagi dalam sembilan zona waktu; enam di negara bagian dan tiga di teritori lainnya. Kanada punya enam.

Di belahan bumi lain, sejumlah negara sengaja mengesampingkan aturan. Republik Rakyat Cina selebar 65° yang semestinya terbagi dalam lima zona waktu, mengadopsi satu (single time, GMT+8); “menyesuaikan” New York, Chicago, Denver, dan Los Angeles (GMT-8). India merupakan negara besar kedua yang menganut satu zona waktu (GMT+5:30).

Penerapan satu zona waktu di Cina menciptakan “keajaiban dunia” kedua setelah Tembok Cina. Di ujung barat Cina, matahari di atas kepala akan terlihat pada pukul 15:00 dan pukul 11:00 di ujung timur. Perbedaan ekstrem terasa ketika berada di perbatasan Cina dan Afganistan. Dalam jarak hanya 76 km, kedua negara tersebut berselisih waktu tiga jam 30 menit! Sepanjang tahun 1912-1949, Xinjiang dan Tibet memilih GMT+6. Menyusul Partai Komunis Cina berkuasa sejak 1949, pemerintah mengubahnya menjadi GMT+8. Kalau kebetulan berbisnis di Xinjiang atau berlibur di Tibet, biasakan melihat warga setempat melakukan urusan mereka dua jam lebih telat dari biasanya. Makan siang mulai pukul 14:00, jam pulang kerja pukul 19:00.

Demi uang, kota-kota bisnis seperti Kunming, Chengdu dan Chongqing rela “berbohong” dengan menyatakan mereka berada di GMT+8 (semestinya +7) agar sama dengan Hong Kong. Secara geografis, Seoul di Korea Selatan berada di zona +8. Ketika Jepang menganeksasi Semenanjung Korea pada 1910, zona waktu Seoul bergeser ke +9 atau sama dengan Tokyo hingga sekarang.

Ketidakwajaran zona waktu Cina justru mengilhami ketidakwajaran baru. Melalui Perserikatan Bangsa-bangsa, pada 20 Mei 2003 Presiden George Walker Bush telah mengajukan proposal penyatuan zona waktu dunia yang disebut Single Universal Time Zone. “Tidak adil bagi AS apabila negara-negara lain lebih dulu memasuki hari esok, sementara AS tertahan pada hari ini. Jika sekarang 09:00 malam di Washington D.C., pada saat yang sama sudah merupakan hari esok di London atau Paris. That patently unfair,” kata Bush di Markas Besar PBB, New York, sebagaimana dilansir http://www.bbspot.com/.

Pemerintah Inggris serta-merta mendukung. “If it means sleeping in broad daylight then we’ll stick with our allies,” ucap Perdana Menteri Tony Blair, “Of course there’s never broad daylight in the UK, so it’s not much of an issue.”

Prancis menanggapi proposal Bush terlalu Anglosentris. “Rencana itu tidak berpengaruh banyak, karena para pekerja di sini pasti menghentikan aktivitasnya pada tengah hari,” timpal Presiden Jaques Chirac.

Sejumlah ahli biologi AS mengingatkan, perubahan waktu kelak mengganggu ritme normal jam tubuh manusia yang selama ini bergantung pada penunjuk waktu. Bagaimana pun, pukul 09:00 malam di DC (GMT-7) dan London (GMT) akan tetap berbeda meski penunjuk waktu di dua kota itu disamakan. Pada jam tersebut DC masih gelap, London sudah terang benderang.

Kenyataannya, siang-malam yang dalam pengertian tradisional laksana saklar on-off, tak lagi relevan bagi “dunia 24 jam sehari.” Boderless world bukanlah sekadar konsep dunia tanpa batas yang memungkinkan syaraf kehidupan warganya terhubung satu sama lain; ia berarti pula real time dalam arti harfiah. Di era globalisasi, warga global di setiap negara semestinya dapat beraktivitas tak peduli siang atau pun malam, saling berkomunikasi antarnegara tanpa perasaan khawatir mengganggu waktu tidur.

GMT yang dikenal pula sebagai Eastern Time, menurut Bush, turut menyebabkan produktivitas warga AS tidak optimal ketika berhubungan dengan mitra kerjanya di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di belahan dunia lain. Selain dirasakan sebagai biang jet lag, zona waktu ditengarai menurunkan setengah persen gross domestic product (GDP) AS setiap tahun. Bush berharap, rencana itu bisa dijalankan setidaknya di seantero AS. “Saya bingung setiap tiba di ranch dari DC. Saya tak pernah ingat jam berapa sekarang. Jam sepuluh? Jam sebelas? Tapi, di bawah rencana saya setiap orang dapat menyaksikan The West Wing pada jam yang sama, dan penduduk malas California bisa bangun tidur pada jam yang pantas seperti kita kebanyakan,” kata Bush.

Di Asia Tenggara, kelompok negara berbendera Association of South East Nations (ASEAN), sejak Desember 1995 bahkan terlebih dahulu terobsesi menyatukan zona waktu seluruh ibukota negara anggota yang disebut ASEAN Common Time (ACT).

Sembilan bulan berselang, sidang kelompok kerja ASEAN bertemu di Jakarta dengan tidak menghasilkan apa-apa soal ACT. Mereka hanya setuju untuk mengembalikan proposal ACT ke SEOM (Senior Economic Official Meetings). Juli 2001, Thailand mengumumkan telah memundurkan jamnya satu jam, menyamai waktu Singapura dan Malaysia; lebih penting lagi menyamai Cina daratan dan Hong Kong. Pada Mei 2004 di Yogyakarta, para pemimpin 10 negara ASEAN bersepakat mengadopsi zona waktu Cina, Taiwan, dan Hong Kong. September 2005, sewaktu pertemuan tingkat Menteri Ekonomi digelar, kesepakatan mentah oleh ketidaksiapan Myanmar.

Semua ibukota negara ASEAN berada di empat zona waktu: +6, 7, 8, 9. Mayoritas di antaranya berada di zona +7 dan +8; satu di +6. Cuma Rangoon di Myanmar (GMT+6:30) yang paling mendekati zona waktu seharusnya. Singapura dan Malaysia merupakan dua contoh negara di zona waktu barat yang bergeser ke timur. Bayangkan, Singapura yang terletak lebih barat daripada Pulau Jawa (waktu Indonesia barat/WIB), sejak 1982 malah memilih zona +8 atau sama dengan waktu Indonesia tengah (WITa). Ini yang menjelaskan mengapa matahari terbit di Singapura (07:00 SST/Singapore Standard Time) terlihat kesiangan daripada di Jakarta (05:35 WIB). Matahari di Singapura seolah-olah terbenam satu jam lebih lambat (19:03 SST) daripada di Jakarta (18:04 WIB). Di balik itu, Singapura sebetulnya sedang mengoptimalkan manfaat sinar matahari bagi aktivitas kehidupan warganya.

Perubahan zona waktu mengisyaratkan perlunya kestabilan politik. Sementara Myanmar enggan mereformasi sistem politiknya, regionalisasi di Asia menyeret setiap negara di dalamnya, cepat atau lambat, ke pusat timur baru. Mana lagi kalau bukan Cina. ACT menegaskan semangat kebersamaan antarnegara ASEAN di satu sisi dan respons terhadap Abad Cina di sisi lain. Kebangsaan dalam konteks tersebut merupakan kepentingan kelompok dengan pasar bebas sebagai katalisatornya. Uang adalah satu-satunya paspor yang berlaku. Jadi, ACT bukan sekadar isu penyatuan zona waktu atau geografi yang menjemukan. Seberapa sulit sih menyetel ulang jam? Semestinya tidak sulit, semudah mengangkat alis mata.

Nyatanya, ACT gagal diwujudkan. Ahli geografi mana pun akan menyatakan, bujur seluruh negara ASEAN (90°30’-141°) terlalu lebar (51°), sehingga mustahil mengadopsi hanya satu tolok waktu (tapi di Cina kemustahilan ini dikecualikan). Namun di SEOM, kemustahilan disederhanakan menjadi dua pilihan: GMT+7 atau GMT+8.

Tepat pukul 18:00 WIB, telepon berdering. Nur Hidayat terhenyak. Dengan tangan kiri dilumatkannya rokok keduanya ke dalam asbak, tangan yang lain meraih gagang telepon.
Cimanggis, 30 April 2006

8Karena Waktu adalah Uang (2)

Tuesday, May 16, 2006

Inspirasi dari Bung Karno

PHOTO BY WIKIPEDIA
Ia mungkin bukan kepala keluarga yang bijak. Bukan pula suami yang adil bagi istri-istrinya. Namun, tak ada keraguan bahwa Soekarno adalah figur ayah yang baik bagi anak-anaknya.

Anakku, simpan segala yang kau tahu. Jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada rakyat. Biarkan aku menjadi korban, asal Indonesia tetap bersatu. Ini aku lakukan demi kesatuan, persatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa.

Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekali pun, ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng, hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

BAHKAN menjelang ajalnya, ia masih memikirkan masa depan bangsanya. Seorang pecundang takkan pernah melakukan hal itu. Tapi, ia juga bukan pemenang dalam arti sesungguhnya. Ia hanyalah seorang lelaki sukses dari masa lalu yang sekarat di bawah terik politik. Jadi, sekali seumur hidup ia bukanlah siapa-siapa; ia hanya seorang ayah yang menyampaikan pesan terakhir kepada putri tertuanya, Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri.

Soekarno, sang ayah itu, meninggal dunia pada 21 Juni 1970 atau 15 hari setelah ulang tahunnya yang ke 69. Secara medis, ia takluk pada penyakit batu ginjal. Tapi secara psikis, kesendirianlah yang membunuhnya setelah bertahun-tahun Pemerintah Orde Baru mengisolasi BK dari “dunia luar”.

Sebagai lelaki normal sikapnya sulit diteladani oleh spesies mana pun yang setia pada pasangannya. Meski begitu, poligami bukan semata-mata hasrat overdosis lelaki macam BK; ia juga merupakan kompleksitas perempuan sendiri. Misalnya, mengapa seorang perempuan sudi menikah dengan lelaki beristri?

Bagaimana BK sebagai ayah? Tak mudah menjadi ayah sekaligus pemimpin bangsa dalam kemelut sejarah. Tak jarang, BK membesarkan anak-anaknya di tengah pusaran revolusi. Suatu kondisi yang jauh dari normal untuk hidup berkeluarga. Ketika Megawati lahir, bersama anak istrinya ia beberapa kali mengungsi dari ancaman teror. Sebegitu beratnya beban seorang ayah, terlukis saat kelahiran putra sulungnya (1944), Mohamad Guntur Soekarnoputra. Katanya, “Apa pun jadinya ia kelak, semoga tidak menjadi presiden. Kehidupan itu sungguh berat.”

Inspirasi 1 – Keakraban di meja makan
Jika ada tamsil yang menyatakan, demokrasi bermula dari meja makan, sudah lama BK menerapkannya. Pada masa itu, makan sambil ngobrol sebagaimana dilakukan oleh Bung Karno bersama anak-anaknya bukan kebiasaan yang jamak. Bukan saja dari etiket, tapi juga kesempatan yang dimiliki orang sesibuk presiden. Namun bagi keluarga BK, meja makan adalah forum keakraban sejati.

Tak pelak, prinsip mempersatukan elite politik gaya BK adalah alle leden van de familie een eet-tafel (seluruh anggota keluarga duduk bersama di satu meja makan). Terlihat dalam susunan kabinet, di antaranya ada nama J. Leimena (suku Ambon) dan Oei Tjoe Tat (etnis Tionghoa).

Sikap tersebut sulit dimengerti mengingat BK lahir dan dibesarkan oleh keluarga priyayi. Ia hidup berlatar belakang zaman dan masyarakat kolonial Hindia Belanda dengan status quo yang karatan dan gila hormat. Pendidikan BK di ELS (Europese Lagere School/Sekolah Mengengah Belanda), menempatkannya dalam kalangan atas masyarakat Indonesia kala itu. Saat ia mengawali karier politik pada 1927, tak lebih dari 78 orang Indonesia yang mengantungi ijazah HBS (Hogere Burger School/setingkat SMU). Lebih sedikit lagi jumlah orang Indonesia tamatan universitas. BK lulus dari Technische Hoge School atau Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang tahun 1926.

Meski turunan priyayi, BK menentang penggunaan bahasa kromo dan ngoko untuk membedakan kelas sosial. Ia sendiri menggunakan bahasa ngoko yang digunakan rakyat jelata di Jawa.

Dalam santap bersama itulah, selain berdiskusi BK membagi banyak hal kepada putra-putrinya. Mulai soal memilih pacar, pandangannya tentang kolonialisme dan imperialisme (termasuk isme-isme lain) yang ditentangnya, hingga sejumlah rahasia negara.

Kedekatan dengan mereka memang terkesan melebihi keintiman hubungan ibu dan anak-anaknya. Tanpa banyak pertimbangan, BK mau mengunjungi bazar sekolah Guntur. Ini yang membikin pasukan pengawal kepresidenan tak punya cukup waktu mengamankan wilayah kunjungannya.

Benar saja. Selagi asyik mengamat-amati aneka gerai di bazar, serangkaian granat meledak. Insiden yang melukai sejumlah pengunjung, itu kemudian dikenal sebagai Peristiwa Cikini 1957. Ketulusan hati BK agaknya yang meloloskan dirinya dari percobaan pembunuhan.

Inspirasi 2 – Memarahi tanpa menyakiti hati anak
BK paling tahu menyenangkan hati anak-anak. Tahun 1956, tatkala berkunjung ke Amerika Serikat, BK membawa Guntur menemui Roy Rogers. King of Cowboys ini diidolakan oleh anak lelaki pada masa itu. Bukan cuma ketangkasan menarik pistol dari sarungnya di televisi, tapi kemahirannya memainkan gitar.

Semasa bocah (1957-1958), Guntur suka bermain perang-perangan di halaman Istana Merdeka. Para anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) asal kesatuan Brigade Mobil (Brimob) yang sering meladeninya. Dalam permainan ini, Mas Tok – begitu ia dipanggil – dijuluki Jendral Bledèk.

Suatu kali, saat “perang memanas”, komandan jaga istana berlari ke arahnya. Sang komandan meminta “gencatan senjata”. Sebab, permainan tersebut sempat disalahpahami oleh patroli KMKB (seperti Kodam) yang melintas di depan istana. Mereka melihat pasukan pengawal istana tengah mengambil posisi tempur.

Pulang dari Bogor, BK memanggil Mas Tok. “Hei Tok, aku dapat laporan kau bikin geger petugas keamanan Jakarta, ya? Keadaan gawat begini ndak usah main perang-perangan dulu. Nanti kalau sudah normal saja. Kau jadi jendral, ya? Ini, Bapak punya buku bagus tentang jendral. Bacalah. Dia adalah salah satu jendral favorit Bapak,” tutur BK, seraya menyodorkan buku biografi mantan Gubernur Georgia, AS, Jendral Kavaleri William Sherman.

Begitu pula lain waktu, menjelang kelulusan SMA (1962), Mas Tok ngambek pada ayahnya. Kendati permintaan Mas Tok sangat simpel, toh tetap tak diberi. Ia hanya ingin tidak lagi dikawal. Di mata Mas Tok dan adik-adiknya, pengawalan membuat mereka risih dan merasa dimata-matai. Maka, untuk kesekian kali, ia memberanikan diri menghadap ayahnya.

“Kan Bapak sudah bilang, itu tidak bisa. Peraturan protokuler negara ndak mengizinkan. Eh, kenalkan Bapak sama pacarmu. Aku ingin tahu. Cantik, ndak? Kenapa, dia minta putus? Kalian masih cinta monyet. Kenapa kau tidak cium dia? Ho ho, kau terlalu. Kau jangan bikin malu aku.”

“Ya ... Pak. Tapi gimana aku mau cium dia di depan pengawal?”

“Ya memang saru (tak sopan) ciuman ditonton orang. Ya sudah, begini saja. Bapak kasih kau hadiah lulus ujian, bulan depan kau boleh ngeluyur tanpa pengawal.”

“Terima kasih, Pak,” sahut Mas Tok berseri, bergegas ke luar kamar.

“Hei! Bulan depan, lapor soal ciuman tadi.”

“Ya, Pak.”

Inspirasi 3 – Welas asih terhadap makhluk ciptaanNya
Sikap humanisme BK tak terduga. Secara umum, ia dikenal membenci penjajahan dan penindasan. Faktanya, banyak sikap welas asih BK terhadap hewan dan tanaman dapat dicontoh. Sebagaimana kesaksian H. Mangil Martowidjojo, mantan Komandan DKP, dikisahkan BK sedang melakukan inspeksi mendadak ke asrama DKP. Melihat ada seorang pengawal yang memelihara burung, BK menegurnya.

“Kasihan burung itu. Biarkan dia mencari makan di alam bebas. Kamu orang belum mengalami bagaimana susahnya orang ditahan, dipenjarakan tanpa ada kesalahan. Maka, jangan ada pengawal saya memenjarakan burung dalam sangkar, sekali pun sangkarnya dari emas,” pesan BK.

Kegusarannya yang lain terlihat saat BK menonton film di istana. Di situ terdapat adegan seekor induk kijang kesakitan, ditembak seorang pemburu. Beberapa penonton cekikikan. Menurut mereka, adegan tersebut lucu. Tak disangka-sangka, BK menghardik, “Diam! Kamu orang itu tidak tahu rasa kasihan.”

Masih urusan kijang, BK pernah sangat marah sebelumnya. Waktu itu ia baru mengungsi di sekitar Kandangan, Jawa Timur, ketika Yogyakarta diserang Belanda pada 21 Juli 1947. Tahu bahwa hidangan dendeng daging adalah hasil buruan, BK lantas mengumpulkan semua pengawalnya.

“Kamu orang ini betul-betul tidak punya rasa kasihan kepada sesama hidup. Apa salahnya kijang itu kamu tembak? Bagaimana kalau kijang yang kamu tembak itu masih punya anak kecil yang masih pertolongan induknya? Apakah kamu di sini kekurangan makan?!”

Inspirasi 4 – Untuk para orangtua yang merasa dirinya berkuasa
Di puncak kekuasaannya, banyak gelar yang diselempangkan orang-orang ke pundak BK. Selain julukan Putra Sang Fajar – mengingat waktu lahir bertepatan dengan matahari terbit – dari ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, sederet alias disandang BK. Mulai Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Amirul Amri, hingga Panglima Tertinggi. Namun, lihatlah ketika BK di ujung kekuasaannya. Terutama saat opini publik – dibangun oleh orang-orang baru yang tengah berkuasa – menudingnya ikut bertanggung jawab atas Peristiwa G30S. Tiba-tiba, semua gelar itu dicopot, jasa dan peranannya dienyahkan. Maka, ini pun bukan persoalan BK semata. Atau, “siapakah BK?” Persoalannya ialah, “siapa kita sekarang?”
Cimanggis, 15 Mei 2006