MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Sunday, October 29, 2000

Abad Cina

ILLUSTRATED BY BERNARD S
Quand la Chine sêvelera, le monde tremblera.” - Napoleon Bonaparte, 1817 (Ketika Cina bangkit, dunia pun bergetar).

BANYAK orang percaya, abad 21 adalah abad Cina. Sejumlah risalah dapat ditelusuri. Ambil contoh Naisbitt lewat bukunya yang terkenal, Megatrends Asia 2000: The Global Paradox atau William Overholt dalam risetnya The Rise of China. Para futurolog secara empirik sulit menerangkan, yang pasti tanda-tanda kebenarannya mulai tampak.

Jepang – oleh sementara kalangan masih diyakini sebagai “pemimpin Asia” – sudah sampai pada puncak keemasannya tujuh tahun sebelum abad 20 berakhir. Posisi market leader produk industrinya terancam oleh negara-negara yang dulu dianggap Negara Ketiga. Negeri “matahari terbit” itu telah redup sinarnya. Ia tak punya lagi fighting spirit yang cukup karena terlalu letih.

AS sedang menuju abad senjanya. Karena abad dunia mulai menyingsing. Ia memang masih nomor satu dalam banyak hal, tapi menjadi kian sulit untuk memonopoli kekuatan. Silicon valley mungkin masih merupakan pusat teknologi tinggi yang unggul. Namun silicon bog di Irlandia, silicon jungles di India dan Singapura sedang mengejar.

Uni Eropa (UE) tak lebih dari reaksi sesaat atas ketakberdayaannya menginternalisasi angin kesejagatan yang menyapu segala penjuru. Ia lebih rapuh dari yang mereka kira setelah menyatu. Karena “musuh” yang dihadapi bukan kekuatan ekonomi negara lain, tetapi loyalitas pada semangat kebersamaan umat dunia. UE hanya mengesankan upaya esklusi atau pengasingan. Alhasil, di abad 21 ini UE tak memainkan peran yang berarti.

Indonesia, tempat lahir beta, baru saja mengawali terbitnya matahari di awal milenium ketiga dengan berbagai niat. Antara lain, tekad pemerintah pusat melakukan redistribusi aset. Namun, bahwa akhirnya pemerintah pusat berlayar mengikuti angin desentralisasi dengan perahu otonomi daerah, lebih banyak merupakan ungkapan ketakberdayaan daripada pilihan sadar. Meminjam istilah akuntan publik, corak Indonesia di abad 21 kita sebut saja disclaimer.

Mata dunia sekarang berpaling ke sebuah negeri yang penuh mitologi Asia. Seperti halnya Eropa yang telah mengalami renaissance di abad 15, negeri ini sempat berantakan akibat revolusi kebudayaan di awal abad 20. Tapi kini, di tengah pergolakan dunia menata ulang batas-batas geopolitiknya, “sang naga” mulai menggeliat dari pertapaannya.

Hal ini diindikasi oleh pertumbuhan ekonomi rata-rata 10 persen selama 20 tahun berturut-turut. Produk Domestik Bruto (GNP) tahun 1998 tercatat 928,9 miliar dolar AS. Dengan pendapatan per kapita sebesar 750 dolar AS dan angkatan kerja 623,9 juta orang, neraca perdagangannya memperlihatkan surplus setiap tahun.

Sebagaimana Lee Kuan Yew dengan Singapuranya, Deng Xiaoping merupakan orang bertangan dingin di belakang sukses Cina. Terutama ketika dia menelurkan kebijakan pintu terbuka pada 1978, Cina telah mengintegrasikan dengan kapitalisme global. Bagi mendiang Deng, “menjadi kaya itu mulia” dan “harus ada sekelompok orang yang menjadi kaya terlebih dahulu.” Oleh sebab itu, kapitalisme bukanlah sesuatu yang haram.

Berbeda dari Uni Soviet yang terbukti gagal memilih kapitalisme sebagai jalan menyelamatkan ekonomi, Cina justru membuktikan sebaliknya. Ia memeluk komunisme dalam sistem politik, tapi pada saat yang sama merangkul semangat kapitalisme dalam pembangunan ekonomi. Cina sekarang tidak sama dengan negara komunis yang dibayangkan orang. Jika Korea Utara disebut-sebut sebagai museum komunisme yang masih hidup, komunisme di Kuba mungkin ambruk bersama kematian Fidel Castro yang memimpin selama 43 tahun.

Tapi, coba lihatlah Cina. Presiden Jiang Zemin yang berumur 76 tahun digantikan oleh Hu Jiantao (59 tahun). Demikian pula Perdana Menteri Zhu Rongji dan Ketua Parlemen Li Peng – keduanya berusia 74 tahun – rela mundur dari kepemimpinan partai. Bagi Cina sendiri, peristiwa bersejarah yang terjadi pekan kedua November 2003 merupakan suksesi kepemimpinan yang paling mulus sejak Partai Komunis Cina berkuasa sejak 1949.

Deng dkk berhasil merancang ekonomi Cina berdasarkan pengamatan yang cermat terhadap negara-negara industri baru (NIB). Mengikuti contoh dari NIB Asia Timur, pembaruan ekonomi memberikan prioritas pertama pada sektor yang pertumbuhan pesatnya dapat muncul tanpa investasi besar dari pemerintah.

Pembaruan ekonomi pertama dilakukan pada sektor pertanian. Deng mengubah status kepemilikan tanah, dari sistem komune menjadi sistem keluarga. Hasilnya, pertumbuhan produktivitas, volume produksi, dan pendapatan para petani meningkat tajam. Langkah ini mengganjar Deng berupa dukungan dari golongan masyarakat RRC terbesar, yaitu 800 juta petani.

Langkah berikutnya, membuka arus penanaman modal asing (PMA). Deng tidak pelit menawarkan insentif progresif kepada investor asing yang bersedia membangun infrastruktur penting di kantung-kantung pantai bagian selatan. Seperti di banyak provinsi Guangdong, Fujian, dan Shanghai. Wilayah tersebut dikembangkan melalui Special Economic Zones (SEZs), selagi negara lain masih mikir-mikir perihal perkembangan ekonomi regionalnya. SEZs – diterapkan sejak 20 tahun lampau – menjamin setiap wilayah memperoleh otonomi yang luas, untuk mempermudah pengelolaan PMA.

Di bidang industri, Cina memroteksi lima sektor sejak 1994. Yaitu mesin, elektronik, petrokimia, konstruksi, dan rancang bangun (engineering). Pada sektor ini, kebijakan PMA dijalankan bersyarat modal agar lebih lekas dalam alih teknologi dan berorientasi ekspor.

Ambil contoh industri otomotif. Tahun 2000, Cina hanya mengizinkan satu pabrik mobil asing beroperasi. Terpilihlah General Motor (GM), perusahaan otomotif terbesar di dunia yang menyisihkan Ford. GM terpaksa membuka lima lembaga Litbang di Cina untuk melatih para insinyur setempat. Barulah GM boleh membuka pabrik mobil di kawasan Shanghai.
Setiap perusahaan PMA berkewajiban menyusun target ekspor. Sony yang membuka pabrik televisi, misalnya, harus mengekspor 70 persen dari total produknya. Maka, agar mampu bersaing, ia menggunakan bahan baku lokal. Dengan cara itu, bidang industri yang diharapkan menjadi penyumbang devisa terbesar Cina bisa terwujud.

Karena negara ini sadar betul bahwa ketersediaan bahan baku yang melimpah, tenaga kerja yang murah, dan punya etos kerja yang tinggi (ingat ajaran Konfusianisme), Cina mendorong setiap industri lokal mampu mengekspor. Bahkan, konon, pengusaha sana dikenai beleid keras, “Kalau you tidak bisa ekspor itu barang, owe bisa cabut you punya izin impor bahan baku.” Begitulah, kira-kira.

Beleid diambil bukan tanpa alasan. Di satu sisi, berpenduduk 1,3 miliar memang merupakan potensi pasar yang merangsang bagi investor. Di lain sisi, pemerintah mesti bertanggungjawab memberi makan seluruh rakyatnya. Maka, tak heran dari kacamata luar, sikap tersebut lebih merefleksikan Cina di ambang keputusasaannya. Karena banyak produk industri Cina membanjiri negara-negara lain, tanpa mengindahkan regulasi dan etika perdagangan internasional. Itu sebabnya, semula Cina enggan bahkan skeptis – belakangan setuju – dengan gagasan WTO.

Apa pun orang kata, Cina tetaplah sebuah negeri yang selalu diperhitungkan sepanjang masa. Dari zaman prasejarah, hingga sekarang.


Jakarta, Mei 2000
Nota:
Tahun 2005, ekonomi Cina tumbuh 9,8 persen. Angka ini menempatkan Cina di urutan keenam di dunia, menggusur posisi Italia. Pertumbuhan besar terjadi di sektor jasa seperti turisme, perbankan, dan asuransi. Sejak 2004, produksi domestik bruto (PDB) Cina tercatat meningkat 16,8 persen dibandingkan tahun 2003. Nilainya mencapai hampir 16 triliun yuan atau setara dengan 2 triliun dolar AS.

Kekuatan ekonomi terbesar dunia masih dipegang oleh AS, diikuti oleh Jepang, Jerman, Inggris, dan Prancis. Dengan investasi yang terus mengalir, bukan mustahil Cina akan menggusur Inggris dan Prancis dalam waktu dekat.