MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Sunday, September 12, 2004

Peta Petaka

ILLUSTRATED BY E.W POWELL
DI JAKARTA, kini ada Peta Lokasi Rawan Kejahatan. Beberapa saat menjelang Pemilu 2004, beredar Peta Konflik Antarpendukung Partai. Identik dengan Peta Tawuran Pelajar, peta-peta tersebut merupakan identifikasi modus potensi gangguan sosial yang tersebar di suatu wilayah.

Sebentar lagi, akan ada Peta ABG Malam Mangkal. Anak gaul yang tinggal di Jakarta Selatan, pasti tahu petanya. Seiring dengan maraknya kembali kupon berhadiah alias Togel, bakal ada Peta Lokasi Perjudian. Akibat liberalisasi berserikat-pendapat, niscaya ada Peta Jalur Demo dan Macet. Akumulasi krisis, akan menginspirasi munculnya Peta Wilayah Krisis Pangan dan Gizi. Kumpulan black spot map itu kalau ditambah lagi dengan Peta Daerah Banjir, Peta Peredaran Narkoba, Peta Tawuran Antarwarga, dan Peta Lokasi Peledakan Bom, akan menjadi Peta Petaka.

Gagasan Peta Petaka memang nggak lucu. Bukankah staf Kedubes asing, ekspatriat, dan turis-turis bisa langsung check out membacanya? Bagaimana dengan orang-orang kita? Jangan menghina, hotel dan apartemen di Singapura selalu fully booked oleh WNI setiap muncul pergolakan di Tanah Air.

Apa boleh buat. Di mata internasional kita sudah dipetakan sebagai sebuah negara yang unpredictable. Suatu keadaan chaotic dan instabilitas yang ditandai oleh runtuhnya hak-hak sipil warga negara.

Kewarganegaraan sendiri memiliki sejarah budaya yang panjang. Saat terbaiknya ketika abad ke 18 di Eropa berlangsung Abad Pencerahan. Pada masa itu, individu muncul dari partikularisme hirarkis status kolektif yang mengabdi kepada kebebasan dalam kontrak sipil (TH Marshall, 1965).

Salah satu prinsip yang terkenal pada masa itu – quid quid est in territorio est de territorio – merupakan warisan tersisa yang diterapkan oleh negara-negara modern. Dengan prinsip tersebut, suatu negara cenderung melindungi warga negaranya di luar batas wilayahnya (teritori). Tentu saja melalui perjanjian timbal balik, supaya mereka tetap tunduk pada hukum negaranya.

Di penghujung abad 18, deklarasi hak-hak manusia mengalami titik balik dalam sejarah. Sumber hukum sejak itu bertumpu pada manusia. Bukan pada Tuhan atau adat-istiadat. Terlepas dari privelese historis, deklarasi ini menegaskan adanya emansipasi manusia di seluruh faksi masyakarat dan memproklamasikan bahwa sejak itu manusia sudah dewasa.

Indonesia – yang belum cukup memiliki akar sejarah kewarganegaraan – di abad 21 ini tertatih-tatih menginternasionalisasi fase tersebut. Meski Konstituante RI – badan pembuat UUD –berhasil mengadopsi pasal-pasal tentang HAM dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi ala PBB tahun 1948, kenyataannya pemerintah rezim mana pun gagal menginternalisasi amanat tersebut dalam struktur kekuasaannya.

Centang-perenang peristiwa pada tahun-tahun itu dan masa sekarang, memperlihatkan pola yang sama. Pemerintah tak berdaya menghadapi ulah partai politik dan anggota parlemen. Tak adanya partai bersuara mayoritas di parlemen, menyebabkan pemerintah harus dibangun lewat koalisi, yang celakanya tak pernah solid. Geliat Indonesia mutakhir yang terpotret lewat Peta Petaka diatas mengindikasikannya.

Ada dua ironi di bawah rezim orde baru dan sekarang. Ironi pertama, di era orba kita mengalami pelanggaran berat di sektor hak-hak politik dan sipil. Larangan terhadap pernyataan pendapat, berkumpul, penggalangan massa untuk memrotes suatu kebijakan dan berorganisasi, merupakan beberapa contoh pelanggaran hak-hak politik.

Pelanggaran tersebut kemudian menimbulkan efek terhadap hak-hak sipil. Misalnya, penangkapan, penculikan, dan penyiksaan warga sipil. Demikian pula antara lain pemberangusan hak-hak atas tanah yang menjadi pusat investasi.

Memasuki kepemimpinan Gus Dur, coraknya terbalik – sebut saja ironi kedua. Kini, kita menikmati kebebasan politik. Siapa saja boleh mendirikan orsospol, boleh menyatakan pendapat sepanjang tak berakibat tindak pidana. Ruang publik menjadi sangat variatif dan hidup. Namun sebaliknya, hak-hak sipil – dalam pengertian hak untuk hidup – tak dapat dijamin.

Kita melihat, masa mulai Habibie hingga Megawati, nyawa orang begitu mudah hilang. Entah itu kasus pembantaian di Banyuwangi, pertikaian antaretnis di Kalimantan Barat, konflik berdarah di Maluku, atau Aceh. Tanpa disadari kita mengalami proses genosida (genocide).

Pada saat yang sama, kemampuan negara untuk memproteksi hak-hak sipil warganya amat rendah. Hal itu diperlihatkan oleh adanya tingkat kematian bayi dan malnutrisi yang mencemaskan. Pendek kata, secara substansial negara belum memberi suatu proteksi yang bermakna terhadap hak-hak sipil.

Dalam situasi unpredictable seperti sekarang – sebagian masyarakat sudah muak – mulai merindukan kembali masa-masa Presiden Soeharto memimpin. Mereka yang pragmatis mengantungi pembenaran: apa gunanya demokrasi, kalau rakyat lapar dan tidak aman? Bertrand Russell punya amsal yang tepat. Kata dia: jika seseorang menawarkan pilihan, demokrasi atau sekantum gandum, pada tingkat kelaparan seperti apakah Anda lebih menyukai gandum daripada pemilihan umum?

Apa yang terpetakan dewasa ini, sesungguhnya bukan konsekuensi logis dari harapan demokratisasi. Yang terjadi ialah bahwa pemerintahan transisi – baik Habibie, Gus Dur, maupun Megawati – memang tidak didukung oleh kemampuan kelembagaan memadai. Karena kelembagaan yang ada itu memasuki masa transisi pula. Alat-alat negara – seperti kepolisian, kejaksaan, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja – yang seharusnya memroteksi, belum bisa bekerja optimal. Selain bercokol muka-muka lama, pola kerjanya pun tak sanggup menyerap aspirasi baru. Usia sistem itu sendiri telah melapuk bahkan memfosil. Ibarat mesin, komponen birokrasi tersebut telah usang dan aus.

Jakarta, Juli 2004