MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Wednesday, July 21, 2004

Sumber Anonim dalam Berita

ILLUSTRATED BY EDSTEIN
DALAM setiap persidangan kasus pencemaran nama (libel) oleh pers, hampir selalu melibatkan isu sumber anonim. Dalam banyak kasus, isu tersebut bahkan merupakan ihwal munculnya gugatan terhadap pers. Dengan kata lain, sumber anonim dalam berita acapkali menjadikan posisi pers sasaran gugatan.

Sumber anonim – sumber berita yang dirahasiakan identitasnya oleh wartawan – secara ideal bertujuan melindungi sumber dari ancaman yang membahayakan dirinya. Semacam kesepakatan: sumber memberikan informasi rahasia yang dibutuhkan wartawan, wartawan memberikan proteksi dengan tak menyebut identitas sumbernya. Wartawan sendiri, karena amanat dari warga (citizen) sebagai pemantau kekuasaan, bersedia melakukannya demi kepentingan publik. Berdasarkan kesepakatan itu, media mengambilalih posisi sumber atas konsekuensi hukum.

Setiap negara umumnya menjamin perlindungan kepada sumber anonim. Di Swedia, misalnya, proteksi begitu tegas. Dalam bab 3 pasal 1, Freedom of the Press Act meyatakan, pengungkapan sumber hanya diperbolehkan dengan beberapa pembatasan. Seorang wartawan yang mengungkapkan kerahasiaan sumbernya tanpa ijin sumber bersangkutan, dapat dikenai hukuman pidana.

Ketika menghadapi gugatan yuridis, dalam posisi sebagai saksi atau memberi keterangan, wartawan memiliki apa yang disebut hak tolak. Di Indonesia, hak tolak dalam UU Pers No. 40/1999 didefinisikan sebagai, “Hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya (pasal 1 ayat 10).” Disebut juga, “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak (pasal 4 ayat 4).” Ini masih diperkuat oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8/1981, pasal 170.
Meski dijamin oleh “klausul perisai,” namun pengadilan tak selalu memihak UU tersebut, terutama saat pihak yang merasa dicemarkan namanya membutuhkan peradilan yang fair.
Hakim, grand jury, Mahkamah Agung berwenang mewajibkan wartawan mengungkapkan identitas sumber berita. Apa akibatnya bila wartawan tetap menolak? Sejak 1958 di AS banyak sekali wartawan terpaksa menginap di “hotel prodeo” sebagai harga yang harus dibayar. Marie Torre, kolumnis untuk harian New York Herald Tribune, tercatat sebagai wartawan pertama AS yang tersandung isu sumber anonim.

Dalam kolomnya, Torre menyebut artis Judy Garland terlalu gemuk sehingga ditolak mengisi sebuah acara. Informasi ini didapat Torre dari sumber anonim di jaringan teve Columbia Broadcasting System (CBS). Garland lantas menuntut CBS atas pencemaran nama. Dalam kasus tersebut identitas sang sumber sangat menentukan. Pengadilan minta Torre mengungkapkan identitas sumbernya. Namun, Torre menolak. Akibatnya, Torre dihukum 10 hari penjara dengan tuduhan menghina pengadilan.

Penyembunyian identitas sumber dalam jurnalisme disebut deep throat. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Carl Bernstein dan Bob Woodward, dua wartawan harian The Washington Post yang mengungkap skandal Watergate presiden AS, Richard Nixon, tahun 1973. Deep throat merupakan identifikasi sumber rahasia untuk menguatkan informasi yang mereka peroleh dari sumber lain di luar Gedung Putih.

Pada praktiknya, sumber anonim sering merupakan hasil interpretasi atau spekulasi wartawan. Majalah Time bisa dijadikan pelajaran, tatkala ia digugat dan dituntut ganti rugi 50 juta dolar AS oleh Ariel Sharon, tahun 1983. Perdana Menteri Israel itu menuduh Time telah melakukan blood libel (pencemaran berdarah) terhadap dirinya.

Kasus gugatan bermula dari laporan utama Time edisi Februari 1983. Di situ, Time melaporkan lika-liku Komisi Kahan, semacam task force bentukan pemerintah Israel yang bertugas menyelidiki pembunuhan massal terhadap warga Palestina pada 16 September 1982 di Beirut Barat. Peristiwa itu terkait dengan pembunuhan oleh orang-orang tak dikenal terhadap presiden terpilih Lebanon, Bashir Gemayel, pada 14 September 1982 – menyusul invasi militer Israel ke Lebanon sejak 6 Juni 1982. Secara kronologis, Sharon diberitakan mengunjungi keluarga Gemayel untuk menyampaikan duka citanya pada 15 September. Pada 16 September, Sharon mengijinkan sekitar 150 orang pendukung setia Gemayel dari kubu Phalangis Kristen memasuki kamp pengungsi Sabra dan Shatila di Beirut Barat. Tujuannya, mencari gerilyawan Palestina yang diduga bersembunyi di situ. Namun, misi damai tersebut tiba-tiba berubah menjadi pembantaian. Tak kurang dari 300 pengungsi yang tidak bersenjata, perempuan, dan anak-anak dibunuh seketika. Dan, itu dilakukan persis di depan mata tentara Israel.

Tak pelak, tragedi Sabra-Shatila menempatkan Israel dan PM Sharon sebagai sasaran kutukan dunia internasional. Israel dianggap provokator di balik peristiwa itu. Pemerintah Israel lalu membentuk komisi penyelidik yang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung Israel, Yitzak Kahan. Komisi ini kemudian dikenal sebagai Komisi Kahan.

Time pada dasarnya membeberkan cuplikan penting dari laporan Komisi Kahan. Misalnya, berdasarkan hasil penyelidikan di lapangan, komisi ini menilai Sharon semestinya telah mengetahui rencana kelompok Phalangis yang sejak awal berniat membunuh warga Palestina. Ini berarti, demikian laporan Kahan yang dilansir Time, Sharon memunyai andil sehingga pantas dimintai pertanggungjawaban atas tragedi tersebut.

Berita tadi sebetulnya “tidak ada apa-apanya.” Karena rekomendasi Kahan satu itu telah beredar di khalayak ramai. Bahkan sebelumnya – pada edisi 4 Oktober 1982 – Time telah memberitakan Sharon telah berbulan-bulan berencana memanfaatkan Kelompok Phalangis untuk mengadakan “pembersihan” di kamp Sabra dan Shatila. Time juga menulis bahwa Sharon sempat berdiskusi tentang rencana “pembersihan” dengan Gemayel pada 12 September atau dua hari sebelum pemimpin Phalangis itu terbunuh. Namun, ada bagian dari laporan yang tak diungkapkan kepada publik (bersifat top secret), dibeberkan Time yang kemudian menyulut kemarahan Sharon. Laporan ini tentang Lampiran B yang memuat beberapa nama agen rahasia Mossad. Lampiran B juga menyebut bahwa pada hari presiden Lebanon terbunuh, Sharon berjanji kepada keluarga Gemayel akan memindahkan pasukan Israel ke Beirut Barat. Mereka membicarakan rencana balas dendam atas kematian Gemayel.

Dalam laporannya, Time menulis telah memperoleh Lampiran B dari sumber learned (tertentu), tanpa penjelasan identitas atau asal-usulnya. Di pengadilan, Time menyatakan informasi diperoleh dari korespondennya di Yerusalem, David Halevy. Di pengadilan, Halevy pun bersaksi. Bahwa dia memperoleh Lampiran B dari “sumber C” yang mengungkapkan nama agen rahasia Mossad serta siapa saja yang hadir dalam pertemuan Sharon dan keluarga Gemayel. Dalam pengakuannya, Halevy tidak pernah menanyakan kepada “sumber C” tentang kebenaran rencana balas dendam itu. Atau, “sumber C” sesungguhnya tak pernah membenarkan kecurigaan Halevy. Maka, sumber learned yang disebut Time dalam laporannya dipastikan kesimpulan Halevy sepihak.

Singkat cerita, pengadilan memutuskan Time bersalah. Di lain pihak, kecerobohan Time dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Sharon untuk mengangkat kembali citranya. Bukan saja kawan tapi juga lawan-lawan Sharon bersimpati; sebaliknya ikut membenci Time. Salah seorang seteru politiknya, mantan PM Menachem Begin mengirim ucapan selamat. Pers Israel yang dikenal kritis terhadap sepak terjang Sharon mengelu-elukannya bak seorang almasih.

Kasus gugatan yuridis yang berdimensi politik seperti itu yang sebetulnya sangat dikhawatirkan oleh pelaku pers konservatif – tak mau terlibat sebagai partisan atau pemain dalam percaturan kekuasaan – yang berutang loyalitas pada publik. Ini lebih berbahaya ketimbang gugatan yuridis yang berdimensi ekonomi atau menghadapi tuntutan ganti rugi. Karena ada kecenderungan sebagian publik di sana yang memanfaatkan kasus gugatannya terhadap pers lewat pengadilan demi “mencuci tangan” dari keruwetan suatu blunder masa lalunya.

Di Indonesia, contoh serupa dapat dilihat pada kasus Sriwijaya Post menghadapi gugatan pencemaran nama ZA Maulani. Pada edisi 25 Agustus 1999, melalui sumber anonimnya Sriwijaya memberitakan Kepala Bakin itu telah menerima Rp 400 miliar untuk melempangkan jalan Habibie kembali sebagai presiden. Kutipannya (alinea 2), “Saya sudah mendengar sebulan lalu, Maulani menerima Rp 400 miliar itu untuk melakukan gerilya politik dalam upaya mendukung Habibie menjadi presiden lagi,” ujar sumber Sriwijaya Post, yang wanti-wanti agar tidak disebut namanya itu. Di pengadilan, Sriwijaya menolak untuk menyebut identitas sumbernya. Alhasil, ia didenda membayar Rp 200 juta kepada Maulani karena dianggap fitnah.

Sebelum menjadi perdebatan hukum, dari perspektif jurnalisme sumber anonim memang merepotkan. Dengan menjaga kerahasiaan identitas sumber, wartawan dimungkinkan untuk menyajikan gambaran yang lebih akurat tentang berita-berita penting. Diperlukan keberanian untuk menolak mengungkapkan identitas sumber. Paralel dengan itu, diperlukan keberanian pula untuk menolak informasi yang disampaikan secara rahasia. Betapa pun pers harus mencegah kemungkinan dirinya dipakai oleh sumber untuk “lempar batu sembunyi tangan.”

Menyangkut martabat wartawan, kode etik – melindungi sumber anonim – memang lebih diutamakan ketimbang konsekuensi hukum. Namun, bila setiap saat harus digugat karena informasi anonim beraroma desas-desus, tentu akan membahayakan kredibilitas wartawan dan pers itu sendiri. Bila wartawan merasa bahwa tak ada sesuatu yang ditutup-tutupi merupakan layanan terbaik bagi publik, setidaknya ia harus mengetahui terlebih dahulu sejauh mana identifikasi sumber boleh diungkapkan, dan kriteria apa saja yang harus dipenuhi sebelum sumber diberi status anonim. Ini penting mengingat sumber anonim cenderung tidak bertanggungjawab daripada sumber yang jelas identitasnya.

Lewat bukunya, Warp Speed: America in the Age of Mixed Media (1999) dalam bab The Rise of Anonymous Sourcing (h. 33-42), duet wartawan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menawarkan tujuh kriteria. Pertama, sumber berada di lingkaran pertama peristiwa. Ia menyaksikan sendiri atau terlibat langsung; bisa pelaku, korban atau saksi mata; bukan orang yang mendengar dari orang lain; bukan pihak ketiga yang menganalisis persitiwa itu.

Kedua, pertimbangan keselamatan sumber dapat diterima akal sehat warga. Apakah nyawa dia atau anggota keluarganya (anak, istri/suami, orangtua, saudara kandung) benar-benar terancam bila identitasnya dipaparkan? Jika sekadar hubungan sosial (pertemanan) tidak termasuk faktor pertimbangan. Demikian juga bila dianggap mengancam kelangsungan pekerjaan, perlu diperdebatkan, benarkah dia akan kehilangan pekerjaan? Apakah dia akan sulit memperoleh pekerjaan baru?

Ketiga, motivasi sumber anonim murni demi kepentingan publik. Banyak kasus, si sumber memberikan informasi dan minta status anonim untuk menghantam lawan atau pihak yang tak disukainya.

Keempat, integritas sumber teruji. Seorang “pengarang cerita,” terbukti berbohong atau pernah menyalahgunakan status anonim, tidak layak diberi kesempatan lagi.

Kelima, harus sepengetahuan, seizin redaktur dan pemimpin redaksi. Bagaimana pun juga, mereka mengemban tanggungjawab bila gugatan datang.

Keenam, minimal dua sumber anonim untuk informasi yang sama agar bisa diverifikasi kebenarannya.

Ketujuh, jelaskan kepada calon sumber anonim bahwa perjanjian keanoniman akan batal dan identitasnya dapat dibuka ke publik, bila kelak terbukti si sumber berbohong atau sengaja menyesatkan dengan informasinya.

Jelas bahwa pencantuman sumber anonim dalam berita tidak semudah mengangkat alis mata. Para redaktur yang berpikiran panjang kian enggan untuk menggunakan sumber anonim. Apa boleh buat. Para redaktur dan wartawan dewasa ini tidak dapat bersikap seyakin para seniornya dulu. Abad baru membawa bentuk tanggungjawab baru. Karena hanya tanggungjawab pers sendirilah yang akan mengamankan kebebasannya.

Jakarta, Juli 2004